Lengkap
sudah petang di peraduan, tetapi rindu di hati Nurlela tidak juga berujung.
Senja memang tak berjanji. Ia hanya merona, kemudian menghilang, menyisakan
gelap dan dingin yang perlahan menyusup, menggaruk relung paling sunyi.
Nurlela, tiga puluh tahun, masih tak juga bersuami. Tubuhnya tambun, kulitnya
gelap, bagai tanah di musim kemarau, tak elok dipandang, apalagi hendak
dipinang.
Di
kampungnya, perempuan itu ibarat tiang, sementara lelaki ibarat atap. Tiang
yang tak berdiri tegak, takkan bisa menopang atap yang kian lapuk. Ia merasa
bagai tiang rapuh, menunggu roboh. Gunjingan tak pernah padam, bagai api yang
disiram minyak tanah. Tidak sudi rasanya telinga ini mendengar, tetapi
kata-kata itu menari-nari di udara, menusuk telinga.
“Lihatlah
Uni Nurlela itu,” bisik tetangga,
“sudah tua, belum juga laku. Kalau bukan karena tak elok perangainya, apalagi?”
“Anak
gadis zaman sekarang, sudahlah tak pandai menata rumah, tak pandai pula menata
diri. Elok dicarikan jodoh dari jin saja, barangkali ada yang mau,” yang lain
menimpali, tawanya bagai pecahan kaca.
Nurlela
mendengarkan, meski tak sudi. Ungkapan itu bagai badai yang datang tak
diundang, menghantam karang, mengikis sisa-sisa keyakinan diri. Galok di nan tarang, ibo di nan sanang—begitulah
hati Nurlela.
Lalu,
matanya jatuh pada Amrul. Pemuda dua puluh enam tahun, gagah laksana kuda
padati, pandai bicara, lagi pula rajin bekerja. Amrul datang tak sekehendak
hatinya, tetapi sebagai pembawa kabar. Ia akan membangunkan surau lama di ujung
nagari, dan meminta bantuan seisi
kampung untuk bergotong-royong. Nurlela memandangnya dari jendela. Amrul tak
tahu. Tak tahu bahwa ia sudah jatuh hati, luluh oleh tutur katanya yang
menggetarkan. Jantungnya berdebar, bagai genderang perang yang ditabuh
bertalu-talu. Ingin sekali ia mendekat, berbincang, tetapi ia hanya diam,
bersembunyi di balik tirai.
***
Sudah
sepekan Nurlela bergelut dengan perasaannya. Ia memutuskan untuk meminta tolong
pada ayahnya. Dalam adat, anak daro jan
sampai bakuduang. Tak elok jika ia langsung menemui Amrul. Tak elok pula
jika ia mengutarakan perasaannya.
“Ayah,”
panggil Nurlela, suaranya pelan, seperti bisikan angin di malam sunyi.
Ayahnya yang tengah menganyam,
mendongak. “Ada apa, Lela?”
“Nur
ingin meminta tolong pada Ayah. Nur tertarik pada Amrul,” ucapnya, tak berani
menatap wajah sang ayah.
Ayahnya
terdiam sejenak. Sorot matanya sulit dimaknai, bagai lautan dalam yang
menyembunyikan rahasia. "Jan
maambiak laki urang, pado kamanakan disasok buruang, elok manampuah jalannyo,"
bisiknya, seperti hendak memberi nasihat namun teramat pelan. "Nur, Amrul
bukan untukmu. Dia anak baik-baik. Dia ingin meminang Harmila, adikmu."
Sontak,
seluruh dunia Nurlela runtuh. Laksana kaca yang terlempar ke lantai, hancur
menjadi serpihan-serpihan kecil. Ia terkejut, marah, dan entah rasa mana yang
bergemuruh di dada, bagai gelombang pasang yang menghantam karang dengan
segenap kekuatannya. Harmila? Adiknya yang baru berumur dua puluh enam tahun,
cantik laksana bunga di taman, pandai pula berbuat. Mengapa harus Harmila?
“Ayah
tak bergurau, kan?” tanyanya, suaranya tercekat.
“Tidak,
Nur. Ayah sudah bicara dengan orang tuanya. Ini berita yang sudah menyebar di
kampung. Orang-orang sudah banyak yang tahu.”
Hatinya
bagai disayat sembilu. Sakit, pedih, dan perih. Ia lari, tak peduli pada
tatapan mata sang ayah yang penuh rasa iba. Air mata Nurlela menumpuk di
pelupuk. Ia tak ingin menangis, tetapi tak bisa menahan.
Ia
tak ingin lagi melihat Amrul. Tak ingin lagi mendengar namanya. Ia mengunci
diri di kamar. Biarlah ia menelan sendiri pahitnya kenyataan. Ia memilih
menyerah. Ia tak akan mencintai Amrul lagi. Ia merelakan Amrul pada adiknya,
Harmila. Biarlah ia menjadi tiang yang tak berguna, teronggok sepi di sudut
nagari, tak berdaya.
***
Malam
bergelung dalam kabut pekat. Bulan tertutup awan, tak berani menampakkan diri.
Udara terasa dingin, menusuk hingga ke tulang sumsum. Di sebuah ladang kosong,
jauh dari keramaian kampung, Amrul duduk bersila menghadap sebuah gasing hitam.
Di sampingnya, seorang Dukun dengan rambut putih panjang, matanya tajam dan
suaranya berat, laksana suara petir.
“Sudah
siapkah engkau, anak muda?” bisik Dukun.
Amrul
mengangguk. Matanya dingin, bagai danau di musim dingin. Tak ada lagi
jejak-jejak lelaki santun yang datang membawa kabar baik. Yang ada hanyalah
dendam yang menusuk. "Adaik dipakai,
limbago dituang, lah tadorong mangko tajajak," bisik Amrul. Ia membawa
sehelai sapu tangan Nurlela yang pernah ia pungut. Bau harumnya sudah pudar,
tetapi ia tahu, sapu tangan itu adalah media paling kuat untuk mantra ini.
Dukun
mulai membakar kemenyan. Asapnya mengepul, melingkar, seolah-olah memanggil
sesuatu dari alam lain. Ia mengambil saluang
sirompak dan mulai meniupnya. Melodinya renggang, melankolis, membius
suasana malam. Sementara itu, Amrul dengan cekatan memutar gasing hitam itu.
Tali gasing disangkutkan pada ibu jari kakinya, dan dengan sekali sentakan,
gasing tengkorak itu melesat berputar. Lengkingan suaranya memecah keheningan,
menusuk ke langit, dan menukik tajam ke arah kampung.
Dukun
melantunkan mantra, suaranya berkuai, bagai jeritan dari dasar bumi.
"Angin lalu tolong diimbau,
Awan lalu tolong dikabari,
Pai ka rimbo tolong dicari,
Hinggok di dahan tolong dibari."
Tak
lagi setelahnya benar-benar sama.
"Anak angin, si rajo angin,
Nan hinggok di kayu mati, oh adiak
oi.
Bangunkanlah adiak yang saat ini
tengah lelap,
Pesan ini hanya sekali saja."
Gasing
kian meninggi, putarannya kian kencang. Lengkingnya merompak kampung, menembus
gunung-gunung, menembus hutan-hutan, mencari-cari sang pemilik. Ia seperti
hendak mencari mangsa, lalu melesat, dan menuju rumah Nurlela. Nurlela yang
tadinya terlelap dalam kegelisahan, pelan-pelan mulai bernyanyi dan menari.
Jendela yang terbuka sebelah, angin masuk menyusup. Bau kembang tengah malam
mulai tercium, menggelitik indra penciumannya.
“Siapa
gerangan yang mengirim aroma kembang tengah malam?” batinnya, tak sadar.
Di
bilik seberang, Harmila terlelap dalam mimpi indah. Ia bermimpi menikah dengan
Amrul, memiliki anak yang teramat lucu, dan hidup bahagia. Ia tak tahu, bahwa
ada sesuatu yang sedang mengintai di luar sana.
Gasing
itu kemudian berhenti, putus! Tunggulah orang-orang terbangun mendengar lintas
langkah gegas, mengintip bilik-bilik perempuan.
Di
kamar Nurlela, pintu terbuka. Gasing itu masuk, terbang, dan mendarat di atas
ranjang. Ia tak menyentuh Nurlela, tetapi gasing itu seperti mencium aroma,
aroma yang hanya ia tahu. Aroma yang membuatnya semakin liar, semakin ingin
memiliki. Ia tiba-tiba berdiri, jantungnya berdegup tak karuan, dan ia merasa
dorongan kuat untuk keluar. [*]
**) Sirompak Taeh adalah Cerpen peraih Juara 2 dalam Lomba Menulis Cerpen Berbasis Konten Lokal yang diselenggarakan oleh Pustaka Dua-2 dalam Kegiatan Gebyar Sastra Pustaka Dua-2 Tahun 2025

Komentar
Posting Komentar