Cerpen: PEREMPUAN DI PERSIMPANGAN PUSAKO

 

Pertemuanku dengan kelam, ternyata bukan hanya terjadi saat Uni Ratna pergi bersama gelapnya malam. Bukan saat melihat tubuh Abak tergeletak di halaman Rumah Gadang, dengan keadaan yang tidak lagi utuh karena perburuannya malam itu telah melewati wilayah larangan, lalu Inyiak Balang datang untuk menyerangnya. Setidaknya, dua hal itu menjadi pokok awal dari segala permasalahan dalam hidupku, dan puncak segalanya terjadi saat Amak akhirnya kembali pada pelukan sang pencipta. Ia meninggalkanku sebuah gelar, serta berbagai harta warisan yang kini kuanggap sebagai beban.

    Benar perkataan Amak dulu, Alam takambang jadi guru. Pagi ini aku melihat matahari sebagai simbol harapan, yang terhalang oleh gumpalan kapas hitam, cahayanya tak bisa memberikan pelukan hangat pada bumi. Dari jendela Rumah Gadang ini, Aku bisa melihat bagaimana senyum para petani Lembah Harau perlahan hilang bersamaan dengan datangnya hujan yang merusak lahan. ia juga menghancurkan segala macam khayalan anak kecil yang bersusah payah menahan kantuk demi bermain sipak rago di lapangan.

    Mungkin, jika Mamak masih di sini. ia akan sibuk berceloteh tentang diriku yang akan susah mendapat jodoh, mengeluarkan berbagai pepatah–malu jo sopan adalah mahkota urang awak–serta menyuruhku untuk segera bekerja. Semua ingatan itu membuatku tersenyum tipis. Sebelum akhirnya pudar, ketika sudut mataku melihat mobil Kijang berwarna hitam itu berhenti di halaman rumah. Derasnya hujan, tak menghalangiku untuk mengetahui bahwa Mamak sudah datang.

    “Apa maksud dari suratmu itu, Uti?” pertanyaan itu segera keluar dari mulut Mamak. Aku hanya bisa terdiam, sembari menatap lurus ke luar jendela.

     “Mamak kan sudah tahu, bahwa Uti mendapat surat dari pihak Universitas untuk segera membayar ulang jika serius untuk kuliah di sana.”

    Baru beberapa menit sejak kedatangan Mamak ke rumah gadang. Aku sempat menawarkan ia teh panas untuk sekadar menghangatkan badan, namun segera ditolak oleh Mamak. Rasanya seolah dia berkata: ini akan singkat. Setiap tetes hujan masih setia memukuli atap rumah, sedangkan di bawah sini, entah kenapa hawa terasa panas.

     Pikiranku kini terus berkelana, bergerak cepat layaknya para jawi yang ikut dalam perlombaan rasa syukur para petani atas hasil panen mereka. Mencari alasan yang tepat agar Mamak mau mengunakan harta Pusako tinggi untuk biaya kuliahku. Mamak menatap tajam mendengar jawabanku. Menarik napas pelan, lalu mulai berkata.

        “Boleh digadai pusako tinggi, kalau rumah gadang katirisan, hutang adat ka dibayia, anak kamanakan indak barisi, Pusaka tinggi boleh digadaikan, jika rumah gadang bocor, hutang adat harus dibayar, atau tidak ada lagi anak kemenakan yang menjadi penerus. Bukankah dulu, amak kau pernah bilang demikian. Aku tak bisa memenuhi keinginanmu untuk menjual sawah itu, ada hak kaum bersama dan marwah suku di dalamnya. Maaf Aku tak bisa Uti.”           

Mamak menghela napas, menirukan petatah-petitih lama yang pernah ia dengar dari ninik Mamak.

Mendengar penuturan Mamak, Aku hanya bisa terdiam. Lidahku kelu untuk berkata-kata. Apa yang Mamak katakan benar adanya, Aku tak punya hak untuk menggadaikan harta yang Amak turunkan. Tugasku hanya sebagai pewaris, disini Mamak bertugas sebagai penjaga dan pengelola pusako tinggi. Apa kepentinganku di sini?

       “Sekali lagi maaf, Uti. Aku tak bisa membantumu. Bahkan dengan julukanku sebagai padagang sekalipun tak bisa berbuat banyak. Semenjak salah satu rukoku di pasar Payakumbuh, habis dilahap sang api.” ucap Mamak sembari pergi meninggalkanku, yang tidak bisa berbuat banyak.

      “Tapi… Bagaimana dengan masa depanku Mak? Apakah memang kewajiban bagi seorang perempuan di adat kita untuk menjaga rumah? Kemana hak kami untuk bebas?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari lisanku. Begitu keras. Begitu lantang. Layaknya Rasuna Said, sang perempuan yang tak kenal rasa takut dalam menghadapi para penjajah belanda.

       Gerakan Mamak terhenti. Matanya menatapku tajam. Sebelum akhirnya, ia menarik napas pelan.

     “Seminggu lagi. Di balai adat. Kau bisa bawakan masalahmu di sana, mengutarakan apa yang kau rasakan pada Datuak negeri kita. Aku akan ikut bersamamu. dan kuharap kau tidak mempermalukan Amak dengan melupakan ajarannya tentang kato nan ampek.” ujar Mamak, sebelum akhirnya pergi meninggalkanku sendirian, di dalam Rumah Gadang yang terasa panas.

***

         Malam berganti pagi, pagi menjatuhkan malam. Setiap menit berubah menjadi jam, setiap jam mengukuhkan hari. Bagiku yang kini menunggu. Setiap hari waktu terasa berhenti. Ditambah dengan berbagai kenangan tentang Amak, Abak, dan Uni Ratna yang terus hadir di setiap sudut Rumah Gadang. Aku merasa tersiksa, berharap lusa segera tiba. Agar segala  kenangan yang kini hadir di benakku  bisa hilang, luluh lantah oleh segala kesibukan kuliah dan pencarian kerja.

***

       Kursi-kursi disusun berderet rapi, menyesuaikan dengan para hadirin yang kini tengah sibuk pada pikiran masing-masing. Aku menarik napas pelan, menatap para masyarakat desa yang menyempatkan diri untuk hadir, menatap para Datuak yang duduk bersila di depan sana, menatap Mamak dengan penuh harap. Hari ini akhirnya tiba, setelah malam-malam kelam itu, setelah semua impian yang selama ini coba kutahan. Aku akhirnya berdiri di sini.

       Dua jam yang lalu, warga desa sibuk dengan membahas berbagai hal. Saling memberi pendapat, saling debat, dan akhirnya muncul sebuah solusi terbaik dari berbagai pihak. Setelah menunggu lama, waktuku akhirnya tiba. Keringat mulai keluar dari setiap celah badanku, kembali membasahi baju kurung yang sedari tadi sudah basah karena panas balai desa.

     Hening. Ketika Datuak memukul meja, memberi kesempatan untukku berbicara.

    Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Bukankah perkataan ini menjadi acuan bagi kita semua yang hadir di sini. Namun, kenyataanya pembagian harta warisan pusako tinggi tidak adil untuk para pria. Mereka hanya bertugas sebagai penjaga dan pengelola, bukan pewaris seperti perempuan yang melalui jalur matrilineal. Hal ini menjadi beban tersendiri bagi kaum kami yang didesak sekadar berpangku tangan di rumah, memutuskan segala mimpi yang ada.” ucapku begitu lantang. 

   Tak lama setelah aku berucap, para warga desa segera heboh. Satu dua setuju dengan perkataanku, sebagian lebih memilih diam. Datuak Bandaro menatapku lembut, sembari memberikan jawaban yang sungguh sederhana.

   “Tahukah kau, Uti. Bahwa harta pusako kita terbagi dua, pusako tinggi dan rendah. Pusako tinggi menganut sistem adat yang sekarang kau rasakan, sedangkan pusako rendah berpusat pada hukum Islam. Jadi salah jika kau berkata demikian,” jawab Datuak Bandaro

     Segera jantungku berdetak cepat, bagai talempong yang dimainkan dalam acara Randai. Wajah-wajah sumringah muncul di sekitarku, lebih banyak lagi yang mencemooh merendahkan. Aku menarik napas pelan, berusaha sebisa mungkin untuk menahan gejolak panas yang muncul dari hati.

   “Aku mengakui ketidaktahuanku Datuak. Namun bagaimana dengan masalah, masa depan kaum perempuan yang harus mewarisi pusako tinggi? Mereka harus memutus segala mimpi, demi sebuah tanggung jawab. Bagaimana denganku yang tidak lagi punya orangtua, harus terhalang oleh adat? Aku ingin menjual ladang yang amak wariskan untuk mengejar mimpiku. Bagaimana caraku untuk melakukanya?”

    Balai adat kembali hening. Boleh jadi kini para warga sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Tapi tidak untuk Datuak Bandaro, ia masih menatap lembut mataku. Memberikan senyum terbaiknya, seolah itu merupakan  hal yang sepele.

     “Keras kepalamu, sama seperti Uni Ratna, Uti. Ia yang kabur dari rumah demi mengejar sebuah impian, namun sayang berakhir tragis akibat kecelakaan hebat yang terjadi di malam hari. Atau seperti Abakmu yang keras kepala, setelah diingatkan berkali-kali untuk tidak mendekati wilayah larangan. Namun, kau berbeda.” ujar Datuak Bandaro

      “Kau dengan keras kepalamu, membawa berkah untuk seluruh remaja yang ada di sini. Kau bersuara dengan lantang melihat ketidak adilan, kau berbeda… dan karena itu maka kuputuskan hal yang kini kau anggap masalah dengan sangat sederhana.

Aku menatap antusias pada Datuak Bandaro. Berharap besar bahwa keputusannya yang satu ini akan membawa perubahan besar.

Tak lakang dek paneh, tak lapuak dek hujan, hilang pusako tinggi, hilanglah suku; hilang syarak, runtuhlah iman. Segala pepatah ini penting bagi kita semua. Tak ada satupun yang berani membantah bahkan aku sekalipun. Namun hari ini. Di hadapan seorang perempuan yang kelak jadi pembawa cahaya pada desa ini. Aku memutuskan masalah pelik, yang sebenarnya sungguh sederhana, dengan menyalurkan dana desa kita pada Uti. agar ia bisa segera mengejar mimpi besarnya.”

Sontak seluruh Balai adat heboh oleh tepukan tangan. Hilang sudah wajah cemasku, semua berganti menjadi tangis bahagia, ah, inikah akhirnya. Akhir dari perjalananku. Atau malah…

“Tunggu!! bagaimana dengan rukoku yang terbakar. bukankah Datuak Bandaro sudah berjanji akan menggunakan dana desa pada tokoku?” ucap Mamak dengan lantang. Segera para warga desa terdiam menatap heran Mamak yang berbicara demikian.

“Ah, kau benar. Namun masalah itu bisa diurus nanti-nanti. Saat ini, kau seharusnya senang dengan kemenakanmu ini, karena boleh jadi ia kelakkan menjadi Rasuna Said, Rahmah El Yunusiyyah, dan nama-nama pejuang perempuan besar lainya dari negeri kita ini,” balas Datuak Bandaro singkat.

Mamak yang mendengar itu hanya bisa tersenyum gentir, sembari menatapku dengan tatapan kesal. Aku tak tahu apa yang kini ia pikirkan, namun aku merasa Mamak akan berbuat masalah yang besar di masa depan. Kuharap ia tidak menyimpan dendam.

***

Cerita ini belum berakhir, setidaknya sampai Amak datang untuk menjemputku. Karena para petani yang sebelumnya kehilangan senyum berhasil mendapatkan kembali senyum mereka melalui kerja keras, juga anak kecil, dan para warga desa lainnya. (*)


*) Salman Luthfi Alfayyadh, biasa di sapa salman, punya hobi membaca dan menulis sejak duduk di bangku SMP. Berkeinginan untuk menjadi seorang penulis terkenal seperti Tere Liye, J.S. Khairen, dll. Pernah ikut lomba resensi yang diadakan perpusnas namun gagal, namun tak pernah menyerah dan tetap mengikuti perlombaan yang ada di sekolah ataupun di luar sekolah.

**) Perempuan di Persimpangan Pusako adalah Cerpen Pemenang Harapan 1 Lomba Menulis Cerpen Berbasis Konten Lokal yang diselenggarakan oleh Pustaka Dua-2 dalam Kegiatan Gebyar Sastra Pustaka Dua-2 Tahun 2025

Komentar

Posting Komentar