Subuh di Payakumbuh selalu berbeda.
Bukan sekadar pagi yang dingin, tapi ada sesuatu yang menyusup ke kulit,
seperti rasa sejuk yang ingin menetap di tulang. Kabut tipis menutupi
perbukitan Bukit Barisan, menyapu lembut atap rumah gadang dan pepohonan di
pinggiran nagari. Jalan setapak menuju sekolah masih licin oleh embun, membuat
siapa pun harus melangkah pelan-pelan.
Di dalam sebuah kamar sempit di lantai
dua rumah kayu, seorang remaja bernama Raka masih terbaring. Mata setengah
terbuka, wajah kusut, rambut acak acakan. Jam dinding sudah menunjuk pukul
04.50. Ia mengerjapkan mata, lalu meraih ponsel. Notification TikTok menumpuk.
Hatinya berdebar, tapi tubuhnya malas. Semalam ia tidur lewat tengah malam,
sibuk mengedit konten yang tidak pernah selesai.
Di meja belajar, sebuah kamera kecil
tergeletak, lensa menghadap ke jendela yang berembun. Tripod lipat tersandar di
kursi, setia menunggu. Raka menatap benda-benda itu. Antara rasa lelah dan
semangat, ia akhirnya duduk. “Ayo, bangun. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?”
gumamnya.
Tanpa sarapan, ia menggantung kamera di
leher, memanggul tripod, lalu keluar rumah. Udara dingin langsung menusuk
wajah. Jalanan sunyi, hanya beberapa pedagang yang sudah mulai menata sayuran,
menyalakan lampu minyak kecil yang berwarna kuning. Bagi sebagian orang, subuh
adalah awal kerja keras. Bagi Raka, subuh adalah jam emas untuk menangkap
kehidupan.
***
Sekolahnya sedang mengadakan lomba
konten kreator, tema bebas. Teman-temannya heboh, ada yang membuat vlog parodi,
ada yang mengatur pencahayaan dengan ring light, bahkan ada yang rela
menyewa costume cosplay.
Di kelas, suasana riuh. Laptop terbuka
di setiap meja, suara musik keluar dari speaker kecil, Guru berdiri di depan,
menjelaskan aturan lomba, tapi suara beliau tenggelam dalam hiruk pikuk
kreativitas remaja.
Raka duduk di pojok, menatap keluar
jendela. Dari jauh, Bukit Barisan terlihat samar, diselimuti kabut yang naik
perlahan. Hatinya berkata, aku tidak
ingin sekadar membuat video lomba. Aku ingin menangkap sesuatu yang nyata.
Dika, sahabat yang selalu mendukung,
menepuk lengannya. “Kamu serius banget ya, bikin konten tiap subuh?”
Raka tersenyum tipis. “Seru aja. Aku
ingin orang lain lihat Payakumbuh dari mataku.”
Fadli, si cerewet, langsung ikut
nimbrung. “Kadang hal-hal yang kamu pikir biasa, justru bikin orang kagum.
Jangan remehkan yang sederhana.”
Iwan, teman yang biasanya meremehkan
digital content, hanya menatap Raka dengan penasaran. “Menurutku sih biasa aja…
tapi kalau kamu serius, ya terserah. Kita lihat saja hasilnya.”
Ucapan itu menusuk hati Raka. Ia tahu,
membuat content bukan hanya menekan tombol rekam. Ada cerita, ada tantangan,
ada perjuangan. Dan ia siap menghadapinya.
Keesokan subuh, langit tampak mendung.
Raka tetap semangat, gerimis mulai turun. Kamera ia lindungi dengan plastik
seadanya. Di pasar kecil dekat rumah, pedagang sibuk menata sayur di bawah
terpal. Lampu jalanan menggantung, memantulkan cahaya dingin di genangan air.
Raka menyorot seorang ibu yang sedang
menimbang ikan, seorang bapak yang menyalakan kompor kecil untuk merebus
lontong, dan bocah yang berlari lari sambil membawa payung kebesaran. Namun
hasilnya mengecewakan. Cahaya redup membuat video buram. Suara hujan menutupi
percakapan. Tripodnya pun sempat tergelincir, nyaris jatuh ke kubangan.
Saat pulang, ia membuka file di laptop.
Hasilnya tidak seperti yang ia harapkan. Semua blur, noise di mana-mana. Saat
diunggah, viewers sepi, Komentar pun sepi.
Raka menunduk. “Kenapa ya, sulit
sekali?”gumamnya.
Namun, ingatan pada kata-kata Fadli
membuatnya bertahan, hal-hal sederhana
bisa membuat orang lain kagum. Ia menarik napas panjang. “Aku tidak
boleh menyerah.”
Hari Minggu, Raka berangkat ke pasar Ibuah Payakumbuh, suasana kacau
tapi hidup. Bau ikan asin, cabai, dan daun pisang bercampur jadi satu. Suara
pedagang berteriak, tawar menawar dalam bahasa Minang yang khas.
Raka menyorot wajah-wajah lelah tapi
penuh semangat, ibu-ibu menawar harga cabai, pedagang memegang timbangan
gantung, tukang kue menawarkan lamang tapai. Kamera bergerak lincah, merekam
lorong-lorong pasar yang padat.
Di sinilah jantung Payakumbuh berdetak.
Pasar bukan hanya tempat jual beli, tapi tempat cerita bertemu. Dari sini,
kehidupan nagari mengalir.
Cahaya di pasar tidak bersahabat, remang
dan berbayang. Tapi Raka belajar mengatur ISO camera dan exposure
manual. Tangannya gemetar, tapi hasilnya membaik. Saat diunggah, viewers
naik sedikit, komentar masuk.
“Asli, kangen suasana pasa Ibuah!”
“Kontennya bikin lapar, wkwk.”
“Mantap, lokal vibes banget.”
Beberapa minggu kemudian, Raka mendengar
kabar ada pacu jawi. Balapan
sapi khas Minang yang digelar di sawah berlumpur. Bersama Dika, Fadli, dan
Iwan, ia berangkat.
Lapangan sawah sudah penuh. Ribuan orang
berdesakan, sebagian naik ke batang pohon untuk melihat lebih jelas. Sapi-sapi
berlari, joki berdiri di belakang dengan tangan menggenggam ekor sapi. Lumpur
muncrat ke segala arah.
Raka mengatur tripod di tepi sawah.
Hatinya berdegup kencang. Kamera kecilnya terasa begitu rapuh di tengah
kerumunan. Saat sapi pertama dilepas, suara gemuruh penonton memenuhi udara.
Lumpur menyembur, nyaris mengenai lensanya.
Drone yang diterbangkan Dika menangkap
adegan dari atas, kerbau berlari, joki terjatuh, penonton bersorak. Raka
gemetar, tapi berhasil merekam momen dramatis, seorang joki terpelanting,
lumpur memercik ke wajahnya, namun ia bangkit dengan senyum.
Namun, masalah muncul. Baterai kamera
habis, sebagian file rusak karena terkena lumpur. Raka menahan napas, hampir
menangis.
“Kenapa ya selalu ada aja masalah?”
keluhnya.
Fadli menepuk bahunya. “Justru itu
seninya. Kalau gampang, semua orang bisa. Kontenmu jadi beda karena
perjuangan.”
Malam itu, mereka bergadang di rumah
Raka. Fadli menambahkan musik remix Minang, Dika mengedit footage drone, Iwan
membantu mengatur cahaya. Potongan pasar, pacu jawi, kabut subuh, dan interaksi
nagari berpadu.
Hari lomba tiba. Video teman-teman lain
penuh effect, akan tetapi video Raka sederhana. Pasar, kabut, pacu jawi, dengan
narasi ringan.
Beberapa hari kemudian, pengumuman
ditempel. Nama Raka tidak ada di daftar pemenang.
Dika menepuk bahunya. “Tidak apa-apa,
Rak. Kontenmu tetap keren.”
Raka menunduk, kecewa. Namun hatinya
berbisik, aku tidak membuat video
untuk menang, aku membuatnya untuk bercerita.
Ia tetap rutin merekam subuh, mengunggah
tanpa peduli lomba.
Beberapa minggu kemudian, tanpa
sepengetahuan Raka, Dika mengunggah salah satu videonya ke akun resmi sekolah.
Tak disangka, videonya viral.
Komentar berdatangan.“Gila, Payakumbuh
hidup banget!”
“Serasa ikut pacu jawi langsung.”
“Konten lokal fresh, ini baru keren.”
Raka terkejut, lalu tertawa. Ia sadar,
kegagalan lomba hanyalah permulaan.
Pameran karya siswa tiba. Video Raka
ditampilkan di layar besar. Guru, teman, bahkan orang tua menonton dengan
kagum. Raka duduk di pojok, wajahnya memerah. Beberapa hari kemudian, seorang
local creator terkenal Payakumbuh menghubungi guru. Ia ingin Raka membuat
serial konten tentang budaya nagari, melibatkan sekolah-sekolah lain. Raka
tercengang. Ia yang awalnya hanya iseng, kini diundang untuk proyek besar.
“Gila, aku cuma iseng,” katanya.
Dika tertawa. “Hal yang kecil bisa jadi besar kalau kamu
tekuni.”
Subuh berikutnya, Raka kembali merekam,
burung berkicau, kabut menebal, pasar ramai. Dika dengan drone, Fadli dengan
musik, Iwan dengan pencahayaan. Mereka tertawa bersama. Tiba-tiba, sekolah
mengumumkan kabar mengejutkan, lomba content creator tingkat provinsi akan
digelar, dan salah satu peserta yang diundang adalah Raka bersama timnya.
Mereka saling berpandangan, terkejut
sekaligus bangga.
“Siapa sangka, subuh-subuh bikin konten
iseng bisa membawa kita sejauh ini,” ujar Raka.
“Kadang yang kecil justru paling besar
pengaruhnya,” balas Dika.
Iwan menatap Raka dengan mata berbinar.
“Aku bangga jadi anak Payakumbuh.”
Raka tersenyum, menatap kamera, lalu
berkata dalam hati
“Hidup memang lucu. Hal hal kecil yang
kita anggap sepele justru bisa membuat dunia kita lebih hidup.”
Kabut kembali menebal, pasar riuh, dan
Raka tahu satu hal, konten yang ia buat bukan sekadar untuk viral, tapi untuk
mengenang, merasakan, dan menjaga Payakumbuh tetap dekat di hati generasi muda.
(*)

Bagus
BalasHapus