Aku masih ingat bau tanah basah malam
itu, ketika pertama kalinya kerambit berada di tanganku. Bukan sekadar besi,
bukan sekadar senjata. Benda kecil seperti cakar harimau itu seperti bernapas,
seolah ia lebih dulu mengenalku sebelum aku mengenalnya.
Namaku Amir, cucu seorang pendekar
tua Minangkabau yang dikenal dengan sebutan Angku Marajo. Sejak kecil, aku
sering mendengar bisikan orang kampung, “Kerambit itu, pusaka yang haus darah.
Hanya bisa diturunkan pada yang sanggup menahan diri.” Aku tidak pernah
benar-benar percaya. Bagiku, itu hanya mitos agar anak-anak kampung tidak
sembarangan memainkan senjata tajam.
Namun ketika usia enam belas, kakek
memanggilku ke dalam rumah gadangnya yang sudah rapuh dimakan waktu. Di bawah
lampu minyak yang temaram, ia membuka peti kayu. Di dalamnya, sepasang kerambit
bersarung kayu berukir daun pakis. Lengkungnya halus, tajamnya memantulkan
cahaya kuning dari lampu.
“Kerambit ini tidak memilih orang
yang gagah,” kata kakek. “Ia memilih orang yang rapuh tapi berani menanggung
rapuhnya.”
Aku hanya mengangguk, meski tak
paham.
***
Latihan dimulai dengan luka. Jemariku
sering tergores oleh lengkungnya sendiri. Kakek tidak pernah menolong, hanya
duduk memandang. “Kerambit itu bukan untuk menyerang, tapi untuk menyatu dengan
tubuhmu. Kau harus siap, ia akan lebih dulu melukaimu sebelum melukai orang
lain.”
Semakin lama aku berlatih, semakin
terasa aneh. Kerambit itu seolah punya kemauan sendiri. Kadang, ketika aku
ragu, tanganku bergerak lebih cepat dari pikiranku. Kadang, saat aku marah,
mata lengkungnya bergetar ringan, seakan ikut merasakan amarahku.
Aku mulai takut. Tapi bersamaan
dengan itu, aku menyukainya.
***
Malam paling panjang datang ketika
kampung kami diguncang kabar, sekelompok perampok bersenjata tajam merampas
hasil panen di pasar nagari. Orang-orang panik. Polisi tak kunjung datang.
Suara-suara meninggi, ketakutan. Lalu semua mata tertuju padaku, cucu Angku
Marajo, pewaris kerambit.
Aku tak pernah merasa siap. Tapi aku
juga tak sanggup menolak. Malam itu, kerambit kakek berada di pinggangku,
terasa berat, seolah menagih janji.
Perampok datang saat bulan pucat.
Mereka tertawa, mengacungkan senjata. Aku gemetar, tapi kakiku maju sendiri.
Kerambit sudah berada di genggamanku sebelum sempat kupikirkan.
Dan entah bagaimana, semuanya terjadi
begitu cepat. Lengkungan kecil itu menari di udara. Jerit demi jerit pecah. Aku
tidak ingat gerakanku, hanya ingat cairan hangat mengalir ke pergelangan
tangan.
Ketika sadar, lima orang tergeletak.
Sunyi. Napasku tersengal. Tangan gemetar memegang kerambit yang kini basah,
berat, seperti kenyang.
Orang-orang kampung bersorak. Mereka
memanggilku pahlawan. Tapi di antara sorak itu, aku melihat kakek berdiri di
ujung kerumunan. Tatapannya tidak bangga, tidak juga marah. Hanya tatapan
kosong, seperti seseorang yang tahu apa yang akan terjadi setelah ini.
***
Sejak malam itu, aku berubah. Tidurku
gelisah. Di setiap mimpi, kerambit itu muncul. Kadang ia bersuara, kadang hanya
berputar-putar mengelilingi tubuhku. Dan setiap kali bangun, tanganku selalu
bergetar, mencari gagangnya.
Suatu malam, aku tak tahan. Aku
bangun, mengambil kerambit dari sarung kayu, menatap lengkung tajamnya. Dan di
sana, aku melihat sesuatu yang tak seharusnya ada, bayangan wajahku, tetapi
lebih tua.
Bayangan itu tersenyum.
***
Keesokan paginya, kakek memanggilku
lagi. Suaranya pelan, nyaris berbisik. “Amir… kau sudah dengar bisikannya,
bukan?”
Aku menahan napas. Jadi kakek tahu.
“Kerambit itu bukan sekadar senjata.
Ia wadah roh yang dulu dikutuk dalam peperangan. Ia butuh darah agar tetap
diam. Jika tidak, ia akan mengambil jiwamu, membuatmu haus hingga kau sendiri
tak bisa lagi membedakan lawan dan kawan.”
Aku tercekat. “Lalu kenapa kakek
berikan padaku?”
“Karena aku tak sanggup lagi
menanggungnya,” jawabnya, datar.
Seakan ada palu yang menghantam
kepalaku. Seluruh tubuhku merinding. Aku hanyalah seseorang yang dikorbankan.
***
Malam itu, aku bermimpi lagi. Hanya
kali ini berbeda. Aku tidak melihat diriku sendiri, tapi melihat kakek, muda,
gagah, dengan kerambit yang sama. Ia berdiri di atas tumpukan mayat, matanya
merah menyala, senyumnya buas.
Aku terbangun dengan keringat dingin.
Dan di samping ranjang, kerambit itu tergeletak, bukan di sarungnya.
***
Esoknya, kakek ditemukan meninggal di
beranda rumah gadang. Tidak ada luka, tidak ada darah. Hanya wajahnya yang
membiru, dan jari-jarinya masih mencengkram udara kosong.
Di pusaranya, orang-orang kampung
berbisik, “Angku Marajo mati wajar. Sudah tua.”
Tapi aku tahu, bukan itu sebabnya.
Aku tahu siapa yang mengambil nyawanya.
Atau lebih tepatnya… apa.
Aku menunduk, memegang kerambit di
balik baju. Hangatnya aneh, seperti jantung yang masih berdetak.
Dan entah kenapa, untuk pertama
kalinya aku merasa—benda ini bukan lagi milikku. Justru akulah yang kini
miliknya.
***
Malam semakin gelap. Di luar, suara
angin bersiul lewat jendela. Aku duduk sendiri di kamar, menatap kerambit yang
berkilau di tangan. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan. Aku tidak
tahu berapa lama sebelum aku benar-benar kehilangan diriku sendiri.
Tapi satu hal yang kupastikan, ketika
waktunya tiba, aku tidak yakin siapa yang akan bangun dengan wajah ini.
Diriku sendiri, atau bayangan yang tersenyum di dalam lengkung kerambit. (*)
*) Adiba Fathiya Kamila, lahir di Payakumbuh 15 tahun yang lalu. Saat ini berstatus sebagai siswa SMA Islam Raudhatul Jannah Payakumbuh. Hobi membaca sejak kecil dan selalu menulis diam-diam telah membawanya meraih medali perunggu dalam ajang OSEBI (Olimpiade Seni dan Bahasa Indonesia) tingkat SMP pada kategori menulis cerpen Tahun 2025 dan Juara 1 Lomba Cerpen Batik Birru SMA 1 Padang Panjang Tahun 2025. Ini adalah antologi keempatnya setelah sebelumnya juga tergabung dalam antologi Hujan, Ellie Tak Suka! (2024), Pupuik Batang Padi pada Nada Malam yang Berbisik (2025), dan Enigma (2025).
**) Lengkung Merah adalah Cerpen peraih Juara 1 Lomba Menulis Cerpen Berbasis Konten Lokal yang diselenggarakan oleh Pustaka Dua-2 dalam Kegiatan Gebyar Sastra Pustaka Dua-2 Tahun 2025.

Komentar
Posting Komentar