Langit sore itu menggantung abu-abu, seperti lukisan tua yang kehabisan warna. Angin laut membawa bau garam dan besi tua dari pelabuhan yang tidak lagi sibuk. Deretan bangunan lama yang tampak lusuh dan tidak terurus, menyaksikan langkah kaki seorang pria muda yang baru saja turun dari bus yang dinaikinya.
Namanya Rayhan. Dia tidak tahu apa yang membawanya ke Kota Tua ini. Sebuah dorongan aneh, seperti suara samar dari mimpi-mimpinya yang mengajaknya kembali. Sudah sembilan tahun dia meninggalkan kota ini, dan lebih dari itu sejak dia melupakan apa yang terjadi pada hari ibunya yang menghilang.
Kota tua tidak berubah banyak. Bangunan-bangunan berderit, bayangan panjang dari tiang-tiang lampu yang tidak menyala, dan suara langkah kaki yang bergema keras. Tapi ada sesuatu yang ganjil pada saat itu. Udara terasa lebih berat, dan dinding-dinding seperti memperhatikan.
Rayhan berhenti di sebuah rumah kecil, cat putihnya yang telah mengelupas, namun ukiran di pintu kayunya masih tetap utuh. Ia merogoh saku dan mengeluarkan kunci kuningan tua. Ia tidak tahu mengapa ia membawanya, tapi entah bagaimana, kunci itu cocok.
Pintu terbuka, aroma kayu yang lapuk serta bunga melati kering menyambutnya.
Ruangan itu penuh debu, namun tertata rapi. Di dinding tergantung sebuah cermin besar dengan bingkai kayu jati yang diukir tangan. Rayhan mendekat melihat cermin tersebut, saat menatap bayangannya sendiri, ada sesuatu yang salah. Bayangannya bergerak setengah detik lebih lambat dari geraknya.
Dia mundur.
Namun sebelum sempat berpikir lebih jauh, cermin itu memudar, memperlihatkan lorong panjang dengan lampu kuning yang samar-samar. Itu bukan bayangannya, melainkan sebuah portal. Ia penasaran, dan terus melangkah maju memasuki portal itu.
Rayhan kini berada di sebuah lorong yang yang gelap, lembap, dan sempit. Langkahnya bergema jauh. Dinding-dinding dipenuhi lukisan-lukisan tua, semuanya wajah yang familiar.
Wajah
ibunya, tapi masing-masing dengan ekspresi berbeda: marah, menangis, tertawa,
mematung.
Rayhan
menyusuri lorong itu, jantungnya berdetak semakin kencang. Ada suara samar
memanggil dari kejauhan.
“Temukan
aku sebelum bayanganmu menelanmu “
Lorong
itu bercabang, dan di setiap cabang ada sebuah pintu dengan simbol yang
berbeda. Sebuah suara di dalam kepala Rayhan berbisik, “Hanya satu jalan menuju
kebenaran, sisanya adalah pantulan.”
Rayhan
membuka pintu pertama. Ia masuk ke ruang kelas SD, dengan dirinya yang masih
kecil duduk di pojok, sendirian. Ibu Rayhan berdiri di depan kelas sebagai guru
pengganti pada saat itu, tersenyum, namun tampak lelah. Rayhan kecil menunduk,
tak memedulikan ibunya.
Tiba-tiba
semua membeku, dan suara bayangan itu kembali, kali ini dari dinding:
“Kenapa
kamu tidak pernah benar-benar melihat dia?”
Ia
berlari keluar.
Pintu
kedua memperlihatkan malam terakhir bersama ibunya. Ia remaja, sibuk mengobrol
dengan teman lewat ponsel, menolak mendengar cerita ibunya tentang
mimpi-mimpinya. Malam itu ibunya pergi dan tidak pernah kembali.
Rayhan
menangis. “Aku bahkan tidak bilang selamat tinggal… “
Pintu
ketiga lebih aneh. Ia memasuki sebuah ruangan seperti labirin cermin. Di setiap
pantulan, ia melihat versi dirinya: yang penuh amarah, yang sombong, yang
pengecut, yang putus asa.
Satu
bayangan berdiri sendiri, tak ikut bergerak. Ia mendekat.
Bayangan
itu berkata, “Aku adalah bagian yang kamu sembunyikan. Penyesalanmu, egomu,
semua yang membuatmu lari.”
“Aku
tidak ingin menjadi kamu!” teriak Rayhan.
“Tapi
kau sudah,” jawab bayangan itu, sebelum menghilang dalam semburat hitam dan
mengubah seluruh ruangan menjadi gelap total.
Dalam
gelap, Rayhan mendengar suara ibunya, pelan dan lembut, “Jangan takut melihat
ke dalam dirimu. Bahkan bayangan pun berasal dari cahaya.”
Rayhan
terus berjalan, menembus lorong-lorong yang berubah menjadi jalanan kota tua.
Tapi sekarang, semua kosong. Tidak ada orang, tidak ada suara. Hanya
bayang-bayang panjang dari tiang lampu yang kini menyala.
Ia
menyadari sesuatu, bayangan-bayangan itu bukan milik tiang atau bangunan.
Mereka miliknya.
Ia
berlari, namun setiap langkah menciptakan bayangan baru yang bergerak lebih
cepat dari dirinya. Mereka mulai mengepung, berbisik, “Kau tidak akan pernah
bisa menebusnya. Kau lari terlalu lama. Kau lupa terlalu banyak.”
Tiba-tiba,
di tengah alun alun tua, ia melihat sosok perempuan berdiri membelakanginya.
Ibunya.
Ia menghampiri, gemetar. “Ibu?”
Sosok
itu berbalik, dan tersenyum. “Kau akhirnya kembali.”
Rayhan
menangis. “Aku… aku salah. Aku terlalu sibuk menyalahkan dunia.”
Ibunya
menyentuh pipinya. “Aku tidak pernah pergi. Aku hanya ada di tempat yang kau
tolak, lihat dalam dirimu sendiri.”
Saat
ibunya menghilang dalam cahaya lembut, semua bayangan runtuh, seperti kabut
yang diembus angin pagi. Kota tua kembali seperti semula, hangat dan penuh
warna, meski tetap tua.
Rayhan
berdiri di tengah alun-alun, napasnya lega. Labirin itu bukan tempat, itu
adalah dirinya sendiri. Kota tua adalah ruang jiwa yang telah lama ia kunci
rapat-rapat karena takut menghadapi penyesalan dan luka.
Kini ia tahu,
Untuk melangkah ke masa depan, seseorang harus berdamai dengan bayangannya sendiri. (*)
*) Shazia Nadhifa Irawan lahir pada 23 Desember 2012 dan saat ini merupakan siswi SMP Negeri 4 Payakumbuh. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketertarikan terhadap dunia literasi, terutama dalam menulis cerita. Shazia gemar menuliskan kisah yang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari, imajinasi, maupun pengalaman pribadi. Menulis menjadi cara baginya untuk mengekspresikan perasaan dan menyampaikan pesan kepada pembaca. Di sela waktu belajar, ia terus mengasah keterampilan menulis melalui berbagai media. Shazia bercita-cita ingin menjadi penulis yang karyanya mampu menginspirasi dan memberi warna bagi banyak orang.
**) Labirin Bayang di Kota Tua adalah Cerpen Pemenang Harapan 2 pada Lomba Menulis Berbasis Konten Lokal yang diselenggarakan oleh Pustaka Dua-2 dalam Kegiatan Gebyar Sastra Pustaka Dua-2.

Komentar
Posting Komentar