Aku
tidak pernah percaya pada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan, sampai akhirnya
cahaya itu mengikutiku.
Awalnya
hanya seberkas sinar keemasan yang melintas cepat, begitu aku menoleh, ia
menghilang. Aku menganggapnya hanya kelelahan mata, atau mungkin efek dari
cahaya lampu neon di ruang kerjaku. Namun kemudian, cahaya itu mulai muncul
lebih sering, setiap kali aku membaca buku, atau menyeduh kopi di pagi hari, ia
berputar perlahan di udara, seperti sesuatu yang terperangkap antara dunia
nyata dan mimpi.
Dua
minggu setelah ayah meninggal, aku memutuskan untuk kembali ke rumah nenek di
pinggiran kota. Rumah itu tampak lebih tua daripada yang aku ingat, dinding
putih kusam yang sudah mulai retak dan jendela-jendela tinggi dengan tirai biru
yang selalu tertutup rapat. Namun, begitu aku melangkah masuk, aku merasakan
perbedaan. Waktu terasa berjalan lebih lambat di sini, seperti dunia di luar
rumah ini tidak berlaku.
"Cahaya
itu mengikutimu kemari," kata Nenek Ratri begitu aku baru saja meletakkan
tas di ruang tamu. Ia duduk di kursi rotan tuanya, menggenggam secangkir teh
yang tidak pernah tampak habis.
"Apa
maksud Nenek?" tanyaku, meskipun entah kenapa aku sudah bisa menebak
jawabannya.
Nenek
tersenyum tipis, tidak menjawab. Ia berdiri dengan gerakan yang lebih gesit
dari yang seharusnya untuk wanita berusia 78 tahun dan berjalan menuju lemari
kayu di sudut ruangan. Dari dalam laci terbawah, ia mengeluarkan sebuah buku
jurnal tua dengan sampul kulit coklat yang sudah pudar.
"Catatan
ayahmu," kata Nenek sambil menyerahkan buku itu padaku. "Dia ingin
kau membacanya ketika waktunya tepat. Kurasa waktu itu adalah sekarang."
Aku
menghabiskan malam itu membaca jurnal ayah. Tulisan tangannya rapi, meskipun
sedikit miring, bercerita tentang hal-hal yang tidak pernah kuketahui, tentang
perjalanannya ke Tibet dan Nepal, pertemuannya dengan seorang biksu tua di
sebuah kuil tersembunyi, dan sebuah tempat yang ia sebut "Titik
Senja," tempat di mana batas antara dunia yang kita kenal dan dunia lain
menjadi kabur.
"Cahaya
itu bukan sekadar fenomena fisik," tulisnya di halaman pertama. "Ia
adalah penghubung, jembatan antara dua realitas. Dan kita, para Penjaga Cahaya,
bertugas menjaga keseimbangan itu."
Di
halaman terakhir yang terisi, ada sebuah diagram lingkaran dengan lima titik
yang dihubungkan oleh garis tipis. Di tengahnya, simbol yang belum pernah
kulihat sebelumnya, seperti matahari dengan spiral di tengahnya. Di bawah
diagram itu tertulis, "Ketika aku pergi, lingkaran akan mencari mata rantai
berikutnya."
Aku
terbangun keesokan paginya dengan jurnal itu terbuka di dadaku dan cahaya
keemasan itu melayang di depan wajahku, tidak lagi tersembunyi, tidak lagi
malu-malu. Ia berputar perlahan, seperti mempelajari wajahku.
"Baiklah,"
bisikku. "Kau ingin menunjukkan sesuatu padaku, bukan?"
Cahaya
itu berkedip sekali, seolah menjawab ya.
Dr.
Widodo selalu terlihat cemas ketika bertemu denganku. Mungkin karena kami
pernah bekerja bersama ayahku bertahun-tahun lalu. Kantornya di lantai tiga
gedung Fakultas Fisika tampak sepi ketika aku masuk.
"Arjuna,"
sapanya, suaranya lebih dingin dari yang kuharapkan. "Sudah lama kita
tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?"
"Saya
perlu bertanya tentang penelitian terakhir ayah saya," kataku langsung.
"Tentang Titik Senja dan para Penjaga Cahaya."
Wajahnya
berubah pucat. Ia bangkit, mengunci pintu kantor, dan menutup tirai jendela.
"Siapa
yang memberitahumu tentang itu?" tanya Dr. Widodo, suaranya gemetar.
"Ayah
sendiri," jawabku, mengangkat jurnal yang kubawa. "Dan cahaya itu
sekarang mengikutiku."
Dr.
Widodo menatapku dalam diam. Ia menghela napas panjang. "Aku sudah menduga
ini akan terjadi. Cahaya selalu memilih keturunan langsung ketika seorang
Penjaga meninggal."
Aku
terdiam, lalu bertanya dengan hati-hati, "Ayah... bukan meninggal karena
serangan jantung, kan?"
"Dia
mengorbankan dirinya untuk menutup celah yang terlalu lebar di Danau
Toba," jawab Dr. Widodo, suaranya rendah, penuh penyesalan. "Celah
yang dibuka paksa oleh seseorang yang ingin mengeksploitasi energi dari sisi
lain."
Aku
terkejut. "Siapa itu?"
"Henrik
Sanjaya," katanya dengan nada serius. "Pengusaha teknologi. Ia
terobsesi dengan energi alternatif dan berhasil melacak salah satu titik celah
dimensional."
Nama
itu tidak asing. Henrik Sanjaya adalah CEO perusahaan teknologi terbesar di
negara ini, dan ia baru-baru ini muncul di media karena proyek energi bersihnya
yang melibatkan Danau Toba.
"Ayahmu
berhasil menutup celah itu, tapi dengan harga yang mahal," lanjut Dr.
Widodo. "Dan sekarang, Henrik berencana membuka celah yang lain. Kali ini
di kota ini."
Senja
mulai turun saat aku tiba di Taman Seribu Cahaya, sebuah taman tua yang
terletak di pusat kota. Taman ini, menurut catatan ayah, adalah salah satu dari
lima Titik Senja yang tersebar di Indonesia. Di tengah taman itu berdiri sebuah
air mancur tua, patung malaikat yang sayapnya patah, dikelilingi pohon-pohon
besar yang rimbun.
Cahaya
keemasan itu mulai berputar-putar lebih liar sekarang, mengelilingi air mancur,
seperti menunjukkan sesuatu. Aku mendekati air mancur dan tiba-tiba melihatnya,
Henrik Sanjaya, bersama tiga orang berjas hitam, berdiri di sisi lain taman,
mengeluarkan peralatan aneh dari dalam koper metal.
Tanpa
berpikir panjang, aku melangkah menghampiri mereka.
"Apa
yang kalian lakukan?" tanyaku, berusaha terdengar tenang meskipun
jantungku berdebar.
Henrik
menoleh, alisnya terangkat. "Ah, Arjuna Pratama. Anak dari almarhum
Profesor Pratama," katanya sambil tersenyum tipis, matanya dingin.
"Tepat waktu. Kau bisa menyaksikan langsung bagaimana terobosan ayahmu
akan mengubah dunia."
"Ayahku
tidak pernah ingin membuka celah dimensional," kataku tegas. "Dia
bertugas menjaganya tetap tertutup."
Henrik
tertawa kecil. "Versi romantis dari sebuah penemuan ilmiah. Ayahmu
menemukan sumber energi tak terbatas, tapi takut untuk memanfaatkannya. Aku
tidak punya keraguan seperti itu."
Salah
satu asistennya menekan sebuah tombol. Mesin mereka mulai berdenging keras.
Udara sekitar air mancur bergetar, seperti gelombang panas di aspal. Cahaya
keemasan milikku terbang lebih cepat, berputar dengan panik mengelilingi air
mancur.
Aku
merasa sesuatu mengalir dalam diriku, sebuah pengetahuan yang datang entah dari
mana. Aku melangkah maju, berdiri di antara mesin Henrik dan air mancur.
"Kau
tidak mengerti apa yang kau lakukan," kataku dengan suara tenang, jauh
lebih tenang daripada yang kubayangkan.
"Minggir,
anak muda. Ini adalah masa depan umat manusia," jawab Henrik dengan suara
tinggi, tetapi ia tampak cemas.
Mesin
itu semakin berdenging keras. Udara sekitar air mancur terbelah, memperlihatkan
kegelapan pekat di baliknya, kegelapan yang anehnya bercahaya.
Cahaya
keemasan itu memasuki tubuhku melalui dada. Sensasi hangat menyebar ke seluruh
tubuhku, dan tanpa sadar, aku mengulurkan tanganku ke arah celah yang
terbentuk.
"Kita
adalah Penjaga Cahaya," bisikku, mengulang kata-kata dalam jurnal ayah.
"Bukan karena kita istimewa, tapi karena kita memahami keseimbangan."
Cahaya
itu memancar dari telapak tanganku, bertemu dengan kegelapan dari celah
dimensional. Bukannya bertentangan, keduanya malah berputar bersama, seperti
yin dan yang, cahaya dalam kegelapan, kegelapan dalam cahaya.
Henrik
dan asistennya mundur ketakutan, mesin mereka mati mendadak, korslet oleh
energi yang tidak mereka pahami.
Perlahan,
celah dimensional menutup kembali, menyisakan udara yang terasa lebih ringan
dan langit senja yang entah mengapa tampak lebih cerah dari biasanya.
Henrik
menatapku dengan mata yang penuh ketakutan dan kekaguman. "Apa... yang
baru saja terjadi?"
"Keseimbangan,"
jawabku singkat. "Sesuatu yang tidak bisa dieksploitasi, hanya bisa
dipahami."
Malam
itu, aku kembali ke rumah nenek dengan perasaan yang sulit dijelaskan, seperti
baru saja mengingat sesuatu yang telah lama terlupakan. Nenek Ratri menungguku
di teras, dua cangkir teh di tangan.
"Kau
telah mengambil tempat ayahmu dalam lingkaran," katanya ketika aku duduk
di sampingnya. "Bagaimana rasanya?"
"Seperti
menemukan kepingan diriku yang hilang," jawabku jujur. "Tapi aku
masih punya banyak pertanyaan."
Nenek
tersenyum tipis. "Para Penjaga Cahaya selalu punya lebih banyak pertanyaan
daripada jawaban. Itulah yang membuat kita terus mencari."
Di
kejauhan, matahari telah sepenuhnya tenggelam, meninggalkan jejak keemasan
tipis di cakrawala, pengingat bahwa bahkan dalam kegelapan paling pekat, cahaya
tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu untuk ditemukan kembali. (*)
*) Aryasuta, karyawan swasta di Kota Kediri, kembali menyelami dunia kepenulisan setelah sekian lama tersesat dalam rapat tanpa akhir dan spreadsheet yang misterius. Pernah menerbitkan buku saat kuliah dan menulis untuk beberapa media, ia sempat berhenti menulis demi mengejar hal-hal yang katanya "lebih realistis"—hingga sadar bahwa realitas butuh sedikit bumbu fiksi. Kini, dengan semangat baru, ia berkomitmen menulis satu plot setiap hari, meski beberapa di antaranya hanya tercatat di notes ponsel sebelum tidur.
Komentar
Posting Komentar