Permukaan
air beriak dalam gelap, memantulkan kilau cahaya bulan yang pucat. Aku menatap
ke bawah, mendapati wajah asing yang membalas tatapanku—kulitnya pucat, tulang
pipi terlalu tajam, dan mata cekung dengan kantung hitam yang dalam. Jemariku
menyentuh pipi, di bawah air, bayangan itu mengikuti.
"Sembilan
puluh dua hari," bisikku dalam keheningan.
Angin
laut mengacak-acak rambutku yang tak lagi kuurus, membawa aroma asin yang
mengisi rumah tepi pantai ini—rumah yang kupilih karena Clara mencintai debur
ombak dan matahari terbenam. Rumah yang kini terasa seperti kerangkeng.
Aku,
Damar Prayoga, dulu fotografer terkenal yang selalu berhasil membuat orang
tersenyum di depan lensa. Kini, aku hanya memotret bayang-bayang.
Dalam
refleksi air, sejenak aku melihat wajah lain di belakangku—bukan wajah Clara,
tapi sesuatu yang lebih tinggi, lebih gelap.
***
Jeritan
alarm ponsel mengoyak keheningan pukul tiga pagi. Jemariku meraih dengan
terburu-buru, menyenggol botol pil yang menggelinding jatuh. Keringat dingin
membuat kausku menempel ke punggung. Mimpi yang sama terus menghantuiku.
Clara
tersenyum di kursi penumpang. Angin meniup rambutnya, beberapa helai menari di
wajahnya yang cerah dengan tawa. Tangannya di atas tanganku, hangat dan nyata. Lalu,
mobil kami menikung tajam hingga ban berdecit dan menabrak pembatas jalan,
berputar seperti gasing yang terlepas. Air laut menyerbu masuk dengan cepat,
memenuhi paru-paru. Aku meronta, berusaha melepaskan sabuk pengaman Clara. Pada
detik terakhir—mata Clara melebar, bukan menatapku, tapi menatap ke belakang. Seolah
ada sesuatu yang mengintai di jok belakang. "Damar," bisiknya. "Jangan
biarkan dia mengambilmu."
Aku
tersentak bangun, meremas selimut. Wajahku kuyup oleh keringat dingin dan air
mata.
Aroma
lavender memenuhi kamar—parfum favorit Clara, seperti hantu yang enggan pergi. Aku
meraih botol pil yang jatuh, mengguncangnya. Hanya satu pil yang tersisa. Aku
menatap label, membaca nama-nama yang terasa asing—quetiapine, risperidone,
dan diazepam—obat-obat yang menjanjikan kewarasan yang tak kunjung
datang.
Lidahku
menyusuri langit-langit mulut, menemukan ruang tersembunyi di belakang geraham
tempat aku menyembunyikan pil-pil lain yang kutelan pura-pura di depan perawat.
Aku belum siap untuk benar-benar waras. Kewarasan berarti menyadari bahwa Clara
tak akan pernah kembali.
***
Pintu
depan terbuka lebar, membawa angin pantai dan tawa Clara. Aku melipat koran
pagi, mengawasi istriku yang masuk dengan wajah berseri-seri, memeluk bungkusan
besar yang dibungkus kain beludru merah tua.
"Tebak
apa yang kutemukan di pasar antik Kemang!" Matanya berkilau seperti anak
kecil yang menemukan harta karun.
"Mmm...
kursi tua lainnya?" Aku menebak, menyesap kopi hitam pekat.
Clara
memutar matanya. "Lebih baik!" Dia meletakkan bungkusan itu dengan
hati-hati di lantai ruang tamu, perlahan membuka kain beludru merah tua. Cahaya
pagi memantul dari permukaan cermin antik dengan bingkai kayu yang diukir
rumit—motif tanaman merambat dan wajah-wajah dengan ekspresi kesakitan yang
terperangkap di antara dedaunan.
"Cermin
lagi?" Aku mengangkat alis, meletakkan cangkir kopi.
"Bukan
sembarang cermin," bisik Clara, jarinya menelusuri ukiran. "Ini
cermin Prancis abad kedelapan belas. Milik Madame Devereaux." Matanya
bertemu dengan mataku, penuh kegembiraan seperti seorang kolektor yang
menemukan artefak langka.
"Dan
siapa Madame siapa itu tadi?"
"Devereaux!
Astaga, Damar, kadang aku ragu kau benar-benar fotografer. Di mana rasa ingin
tahumu?" Clara mengangkat cermin itu, memosisikannya di dinding ruang
tamu. "Dia bangsawan Prancis yang melarikan diri saat Revolusi Prancis.
Katanya dia mempraktikkan... seni tertentu."
"Maksudmu
sihir?" godaku, mengambil posisi di belakangnya, mengagumi betapa sempurna
cermin itu tampak di dinding kami.
Clara
tidak tertawa. Matanya menatap cermin dengan intensitas yang tidak biasa.
"Dalam tradisi banyak budaya, cermin bukan sekadar alat berhias,"
ujarnya pelan. "Cermin adalah ambang—batas tipis antara dunia kita dan
dunia lain yang terletak tepat di belakang pantulan kita sendiri."
Aku
mendekat, memeluk pinggangnya dari belakang. Daguku bersandar di bahunya.
"Kau menakutiku sekarang."
Bayangan
kami terpantul di permukaan cermin—Clara dalam pelukanku. Namun untuk
sepersekian detik, aku bersumpah ada sosok ketiga di belakang kami, tinggi dan
kurus, dengan tangan panjang yang hampir menyentuh lantai.
Clara
menggenggam tanganku, jari-jarinya tiba-tiba dingin. "Kau tahu cerita
tentang Madame Devereaux?" Bisiknya. "Dia kehilangan putra tunggalnya
dalam kecelakaan kereta. Dikatakan dia memanggil sesuatu melalui cermin
ini untuk membawa putranya kembali."
"Dan
apakah berhasil?" tanyaku, entah mengapa suaraku menjadi pelan.
Clara
menatapku melalui pantulan cermin, matanya mendadak kosong. "Putranya
kembali. Tapi dia tidak pernah sama. Dan Madame Devereaux ditemukan gantung
diri tiga minggu kemudian, dengan pesan yang hanya berkata: Itu bukan anakku."
Aku
mundur selangkah, mendadak tidak nyaman. "Cerita yang bagus untuk malam Jumat."
Clara
tidak menjawab. Dia hanya menatap cermin itu, tangan kanannya menelusuri
permukaan kaca yang dingin. "Kadang," bisiknya. "Aku melihat
seseorang yang bukan diriku di sana."
***
Dokter Khairul
mengetuk pensilnya ke notepad. "Kau masih melihat Clara di
cermin?"
Aku
mengangguk, jemariku memainkan ujung kemeja yang sudah tiga hari tidak kuganti.
"Tapi bukan hanya Clara. Ada sesuatu di belakangnya. Sesuatu yang
tinggi."
Dokter
Khairul menulis sesuatu. Aku bisa membayangkan kata-kata itu: halusinasi,
delusi, dan PTSD kompleks. "Kau masih minum obatmu dengan benar?"
"Ya,"
dustaku. Pil-pil itu membuatku terlalu kabur, terlalu tumpul untuk merasakan
Clara. Dan aku membutuhkan Clara, meskipun dia hanya bayangan di cermin atau mungkin
hanya proyeksi dari pikiranku yang rusak.
"Damar…"
Dr. Khairul meletakkan pensilnya. "Apa yang sebenarnya kau lihat di jok
belakang mobil malam itu?"
Kepalaku
tersentak, pandanganku terangkat dari lantai. "A-apa maksudmu?"
"Dalam
laporanmu pada polisi. Kau mengatakan kau kehilangan kendali mobil karena ada sesuatu
yang muncul di jok belakang."
Keringat
dingin mulai membasahi pelipisku. Aku tidak ingat pernah mengatakan itu
pada siapapun. "Aku tidak—"
"Kau
juga mengatakan Clara berteriak tentang dia sebelum mobilmu masuk ke
laut."
Jantungku
berdebar kencang. Itu benar, Clara meneriakkan sesuatu, tapi aku tak
pernah menceritakannya pada siapapun, aku yakin. "Bagaimana kau bisa
tahu—"
Dokter
Khairul menyodorkan selembar kertas padaku. Laporan polisi dengan pernyataan
tertulisku sendiri, tulisan tanganku yang kacau: Ada sosok tinggi di
jok belakang. Clara melihatnya dan berteriak. Aku panik dan kehilangan kendali.
"Aku
tidak ingat menulis ini," bisikku.
"Trauma
bisa menyebabkan amnesia parsial," jawab Dokter Khairul. Namun ada sesuatu
di matanya—ragu? takut?—yang tidak menenangkanku sama sekali.
***
Aku
berdiri diam di depan cermin kamar mandi, menatap refleksiku yang semakin hari
semakin asing. Mataku terlalu dalam, gelap seperti jurang tak berujung. Tulang
rahangku terlalu tajam, kulit terlalu pucat. Apa aku selalu terlihat
seperti ini? Ataukah sesuatu sedang mengubahku, perlahan-lahan?
Jemariku
menggenggam erat pinggiran wastafel sampai buku-buku jariku memutih. Tubuhku
gemetar seperti daun kering ditiup angin. Aku sudah terlalu lama melihat
hal-hal yang tidak ada—atau mungkin... itu yang mereka katakan?
"Kamu
tidak minum obatmu dengan benar."
Suara
itu berbisik tepat di belakang telingaku. Aku menoleh cepat, tapi tidak ada
siapa-siapa di kamar mandi sempit ini. Hanya bayangan yang menari di dinding
keramik yang lembab.
Ketika
aku kembali menatap cermin, refleksiku telah berubah. Mataku sekarang
sepenuhnya hitam, tanpa putih sama sekali. Di belakangku, sosok tinggi itu
berdiri—kurus, dengan tangan yang terlalu panjang dan kepala yang terlalu
besar. Kulitnya seperti kulit mayat yang terendam air laut terlalu
lama—pucat kebiruan, mengelupas. Jarinya bergerak-gerak, mengukir pola di
udara.
"Clara?"
Suaraku pecah, terdengar asing bahkan di telingaku sendiri.
Bibir
sosok itu bergerak, tapi suara yang keluar terdengar seperti gemuruh dari
kedalaman lautan: "Kau masih mengingatku. Bagus."
"Kau
bukan Clara," bisikku, "Clara tidak pernah sebesar itu."
Sosok
itu tersenyum, senyuman yang terlalu lebar, hampir mencapai ujung telinga.
"Aku adalah apa yang kau inginkan."
Dalam
gerakan cepat, sosok itu menekan telapak tangannya ke permukaan cermin—dari
sisi lain. Aku merasakan suhu kamar mandi menurun drastis. Napasku mengembun,
membentuk uap putih di depan wajahku.
"Apa
yang kau inginkan?" tanyaku, berusaha menahan gemetar suaraku.
"Kebebasan,"
bisiknya. "Dan kau akan membantuku mendapatkannya."
***
Ketukan
di pintu membangunkanku dari tidur yang gelisah. Aku menatap jam dinding—pukul
10 pagi. Aku tidak ingat kapan terakhir kali tidur lebih dari tiga jam tanpa
terbangun oleh mimpi buruk yang menggerogoti.
Ketukan
itu datang lagi, lebih keras.
"Damar!
Aku tahu kau di dalam. Buka pintunya!"
Dina,
kakak iparku, satu-satunya keluarga Clara yang masih mengkhawatirkanku setelah
pemakaman. Aku berjalan menuju pintu, menarik napas dalam-dalam, lalu
membukanya.
Dina
berdiri di sana, rambut hitamnya yang rapi kini diikat sembarangan, kantung
mata terlihat jelas di wajahnya yang biasanya sempurna dengan riasan. Dia masuk
tanpa menunggu undangan, hidungnya berkerut mencium bau apak dari rumah yang
jarang kubersihkan.
"Ya
Tuhan, Damar. Tempat ini seperti kuburan," ujarnya, langsung membuka
jendela. Angin laut menyerbu masuk, membawa aroma asin yang sudah lama
familiar.
"Apa
yang kau lakukan di sini, Din?" tanyaku, suaraku serak karena jarang
digunakan.
Dia
berbalik, matanya mengamati penampilanku dari atas hingga bawah. "Aku
mengkhawatirkanmu. Kau tidak menjawab telepon selama dua minggu. Dokter Khairul
meneleponku, kau melewatkan tiga sesi terapi."
Aku
mengangkat bahu, meski aku sendiri tidak yakin. "Aku baik-baik saja."
"Jelas
sekali," balasnya sarkastis, mulai memunguti gelas dan piring kotor yang
berserakan di meja. "Kau makan apa saja belakangan ini? Kau terlihat
seperti mayat hidup."
"Dina…"
Aku menggenggam pergelangan tangannya, menghentikan aktivitasnya. "Aku
sungguh baik-baik saja. Aku hanya butuh waktu sendiri."
Dina
menatapku tajam, matanya dipenuhi kecemasan dan... ketakutan. "Damar,
ada yang ingin kutanyakan."
"Tentang?"
"Tentang
malam kecelakaan." Dina menelan ludah, jelas cemas. "Apa yang
sebenarnya terjadi?"
Aku
mundur selangkah, merasa defensif. "Kau tahu apa yang terjadi. Aku
kehilangan kendali di tikungan tajam. Mobilnya terjun ke laut. Aku selamat,
Clara tidak."
"Bukan
itu yang kau katakan di rumah sakit."
Jantungku
berdegup kencang, rasa cemas merayap di tubuhku. "Apa maksudmu?"
"Saat
kau masih terpengaruh morfin, kau terus menggumamkan tentang sosok di jok
belakang dan bagaimana dia mengambil Clara." Dina menarik napas
panjang. "Dan kemarin malam, aku bermimpi tentang Clara."
Keringat
dingin mengalir di punggungku. "Kita semua bermimpi tentang orang yang
telah pergi, Dina."
"Dalam
mimpiku, Clara berada di balik kaca, menggedor-gedor, berusaha keluar. Ada
sesuatu bersamanya, sesuatu yang tinggi dan gelap." Mata Dina
berkaca-kaca. "Dia berkata, dia tidak akan puas hanya dengan aku. Dia
akan mengambil Damar, kemudian kau, dan akhirnya semua orang."
Ruangan
itu mendadak terasa berputar. Aku harus berpegangan pada dinding untuk tetap
berdiri. "Itu hanya mimpi, Din."
Dina
menatap ke belakangku, ke arah cermin antik Madame Devereaux yang kini
tergantung di ruang tamu. "Cermin itu... tidak ada sebelumnya, kan?"
"Clara
membelinya beberapa bulan sebelum kecelakaan."
Dina
berjalan perlahan ke arah cermin, seperti terhipnotis. "Ada yang aneh
dengan cermin ini."
"Dina,
jangan—"
Terlambat.
Dina sudah berdiri di depan cermin. Tubuhnya mendadak kaku, matanya melebar.
Bibirnya bergetar. "Damar," bisiknya. "Ada seseorang di cermin
ini. Dan itu bukan aku."
***
Aku
berdiri di samping Dina, menatap ke dalam cermin. Refleksi kami berdiri di
sana—tapi ada yang salah. Bayangan Dina terlalu kaku, matanya terlalu gelap. Di
belakang kami, sosok tinggi yang kulihat selama ini kini tampak lebih solid,
lebih nyata.
"Kau
melihatnya?" tanyaku, suaraku gemetar.
Dina
mengangguk perlahan, tangan kirinya meraih tanganku dan menggenggamnya erat.
"Apa itu?"
"Le
Gardien des Miroirs," bisik suara dari dalam cermin—suara yang bukan milik
kami, terdengar seperti kaca yang pecah. "Penjaga Cermin."
Refleksi
Dina di cermin tersenyum—senyum yang tidak dilakukan Dina yang asli.
"Halo, Dina," refleksi itu berkata, dengan suara yang terdengar
seperti Dina, tapi sekaligus bukan. "Clara menitipkan salam."
Dina
menjerit, mundur menjauh dari cermin. "Ya Tuhan, Damar! Apa yang
terjadi?"
Aku
tidak menjawab, terhipnotis oleh pemandangan di cermin. Refleksiku kini
menatapku dengan senyum yang tidak kukenali—terlalu lebar, terlalu... lapar. Di
belakangnya, sosok tinggi itu semakin mendekat.
"Cermin
ini adalah portal, Damar," bisik refleksiku. "Madame Devereaux
membukanya untuk memanggil putranya kembali dari kematian. Tapi yang datang
adalah aku."
"Siapa
kau?" tanyaku, suaraku terdengar seperti bukan milikku.
"Aku
adalah yang memberi, dan aku adalah yang mengambil. Aku memberimu Clara, lalu
aku mengambilnya kembali. Sekarang giliranmu untuk masuk."
Dina
menarik lenganku. "Damar, kita harus pergi dari sini, sekarang!"
Tapi
aku tidak bisa bergerak. Ada kenangan yang mulai bermunculan—kenangan yang
selama ini tersembunyi. Clara membeli cermin itu. Lalu dia mulai berubah. Lebih
pendiam. Lebih dingin. Matanya kadang tampak terlalu gelap. Di malam
kecelakaan, sesuatu muncul di jok belakang—sosok tinggi yang sama yang kini
kulihat di cermin. Dan Clara berteriak, bukan karena takut pada sosok itu, tapi
karena dia mengenalinya.
"Clara
sudah menjadi milikmu sebelum kecelakaan," bisikku, realisasi menghantamku
seperti ombak. "Kau sudah mengambilnya sejak dia membeli cermin ini."
Refleksiku
di cermin tertawa, tawa yang menggema terlalu dalam. "Pintar. Dan
sekarang, aku menginginkanmu. Kau akan menggantikan Clara di sini. Dia sudah...
habis."
Dina
mencengkeram bahuku. "Damar, kau bicara dengan siapa? Tidak ada yang
berbicara di cermin itu!"
Aku
menoleh, menatap Dina. "Kau tidak mendengarnya?"
Dina
menggeleng, air mata mengalir di pipinya. "Yang kulihat hanya kau,
berbicara pada dirimu sendiri di cermin. Dan... ada bayangan di
belakangmu."
Refleksiku
di cermin mengangkat tangan, mengulurkannya. "Kemarilah, Damar. Clara
menunggu di sini."
Aku
mengulurkan tanganku, hampir menyentuh permukaan cermin.
"TIDAK!"
Dina berteriak, mendorongku menjauh. Dia meraih vas bunga dari meja,
melemparkannya ke cermin.
Cermin
Madame Devereaux pecah berkeping-keping. Untuk sedetik, aku
bersumpah melihat ribuan tangan mencoba meraih keluar dari balik
pecahan-pecahan kaca, lalu semuanya menghilang.
Dina
memelukku erat, tubuhnya gemetar. "Kita harus membakar rumah ini,"
bisiknya. "Kita harus menghancurkan semua cermin."
***
Dokter
Andini—psikiater baru yang direkomendasikan Dina—menatapku dengan penuh empati.
"Jadi, menurutmu, entitas supernatural terperangkap di dalam cermin dan
mengambil Clara?"
Aku
mengangguk, menatap lantai. Terdengar gila, bahkan di telingaku sendiri.
"Saya tahu ini terdengar seperti delusi, tapi Dina juga melihatnya."
"Dina
mengatakan dia melihat kau berbicara pada cermin, dan ada bayangan di
belakangmu. Itu bisa saja sugesti."
"Lalu
bagaimana dengan pecahan cermin yang bergerak-gerak setelah dipecahkan? Dina
juga melihatnya."
Dokter
Andini mencatat sesuatu. "Ketika kita mengalami trauma berat, pikiran kita
mencari cara untuk memahaminya. Kadang, kita menciptakan narasi supernatural
untuk menjelaskan sesuatu yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi secara
rasional."
Aku
terdiam, tidak ingin berdebat lagi. Semakin hari, kenangan tentang sosok
di cermin semakin kabur. Mungkin Dina benar—kami membakar rumah tepi pantai
itu, menghancurkan semua cermin. Dan sekarang aku tinggal di
apartemen kecil di kota, jauh dari laut, jauh dari kenangan.
"Satu
hal yang ingin kutanyakan," lanjut Dokter Andini. "Dalam laporan
otopsi Clara, ada bekas luka aneh di pergelangan tangannya, seperti bekas
cengkeraman. Tapi kau bilang tidak sempat menariknya keluar dari mobil. Bisa
jelaskan?"
Keringat
dingin muncul di keningku. "Itu bukan aku."
"Lalu
siapa?"
Aku
memejamkan mata. Kilasan ingatan muncul—sebelum mobil tenggelam
sepenuhnya, aku melihat tangan panjang pucat meraih dari jok belakang,
mencengkeram pergelangan tangan Clara. Clara berteriak, bukan padaku, tapi
pada sesuatu di belakang. "Jangan biarkan dia
mengambilku!"
Dokter
Andini menunggu dengan sabar sementara aku berjuang dengan ingatan yang
menyakitkan. "Damar?"
"Penjaga
Cermin," bisikku. "Dia yang melakukannya."
Dokter
Andini mengangguk, tidak membenarkan atau membantah. "Aku punya satu
pertanyaan lagi. Kau bilang kau menghancurkan semua cermin. Tapi bagaimana kau
bercukur? Bagaimana kau melihat dirimu sendiri?"
Tiba-tiba,
aku menyadari sesuatu yang mengerikan. Sudah berapa lama sejak aku melihat
refleksiku sendiri? Sejak kami menghancurkan cermin-cermin itu, aku tidak
pernah benar-benar melihat diriku sendiri.
Dokter
Andini mengeluarkan cermin kecil dari lacinya. "Maukah kau melihat
refleksimu sekarang, Damar?"
Aku
menatap cermin kecil itu dengan ketakutan yang mencekam. "Saya
tidak—"
"Ini
hanya cermin biasa," ujar Dr. Andini meyakinkan. "Tidak ada
hubungannya dengan cermin antik itu."
Dengan
tangan gemetar, aku menerima cermin itu. Perlahan, aku mengangkatnya, menatap
ke dalam permukaan mengkilap itu.
Yang
menatap balik bukanlah diriku.
"Clara?"
bisikku, hampir tak terdengar.
Wajah
Clara menatapku dari cermin itu, mata cekung, kulit pucat kebiruan, dan bibir
membiru. Di belakangnya, sosok tinggi itu muncul lagi, lebih dekat dari
sebelumnya, salah satu tangannya yang panjang kini berada di bahu Clara.
"Akhirnya
kau melihat lagi," bisik Clara, sebuah senyum mengerikan terbentuk di
bibirnya. "Tidak ada jalan keluar, Damar. Dia selalu menemukan cara untuk
kembali."
Cermin
itu terlepas dari tanganku, jatuh ke lantai. Dokter Andini bergegas
menghampiriku. "Damar? Kau baik-baik saja?"
Aku tak
bisa menjawab. Ketakutan membekukan seluruh tubuhku. Di cermin yang kini
tergeletak di lantai, aku masih bisa melihat—bukan langit-langit ruangan,
tetapi koridor gelap panjang dengan sosok-sosok bergerak di dalamnya.
"Kami
menunggumu di sisi lain, Damar," bisik suara dari pecahan cermin.
"Kau tidak akan pernah bebas."
Dokter
Andini membantuku berdiri, wajahnya penuh kekhawatiran. "Kurasa kita perlu
meningkatkan dosis obatmu."
Aku
mengangguk lemah, meskipun aku tahu obat tidak akan mampu melawan sesuatu yang
bukan dari dunia ini.
***
Dina
mengunjungiku di apartemen baru, membawa buket bunga dan kue untuk memperingati
satu tahun kepergian Clara. Dia tersenyum melihat penampilanku yang jauh lebih
baik.
"Kau
terlihat sehat," komentarnya, meletakkan bunga di meja. "Terapi
berjalan baik?"
Aku
mengangguk, menuangkan teh untuk kami berdua. "Dokter Andini sangat
membantu. Tidak ada lagi... episode."
Dina
tampak lega. "Dan bagaimana dengan..." dia ragu.
"Cermin?"
lanjutku. "Tidak ada lagi halusinasi. Bahkan, aku baru saja memasang
cermin baru di kamar mandi."
"Benarkah?"
Dina tampak terkejut. "Itu kemajuan besar."
Aku
tersenyum, mengarahkannya ke meja makan untuk memotong kue. Aku tidak
memberitahunya bahwa kadang-kadang, di malam-malam tertentu, aku masih melihat
wajah Clara di pantulan jendela, permukaan air, bahkan di sendok yang
mengkilap. Tidak memberitahunya bahwa setiap kali aku melihat bayanganku
sendiri, ada sesuatu yang terasa berbeda, seolah ada yang mengendalikan
gerakanku dengan benang-benang tak terlihat.
"Oh…"
Dina teringat sesuatu. "Aku menemukan ini di antara barang-barang Clara
yang kusimpan." Dia mengeluarkan sebuah buku tua dari tasnya.
"Sepertinya catatan tentang cermin itu. Mungkin kau ingin membacanya? Atau
sebaiknya dibuang?"
Aku
menerima buku itu, merasakan getaran aneh saat menyentuhnya. "Aku akan
membacanya. Mungkin ada sesuatu tentang asal-usulnya yang menarik."
Dina
tampak ragu, tetapi mengangguk. "Baiklah. Tapi jangan biarkan masa lalu
menarikmu kembali, oke?"
Aku
tersenyum meyakinkan. "Tentu tidak."
Malam
itu, setelah Dina pulang, aku membuka buku catatan Clara. Halaman-halaman penuh
dengan tulisan tangan Clara—penelitiannya tentang Madame Devereaux dan cermin
antik itu. Nama-nama aneh, diagram, dan simbol-simbol esoterik memenuhi buku
tersebut.
Di
halaman terakhir, tulisan Clara tampak berbeda—lebih kacau, lebih terburu-buru.
Le
Gardien des Miroirs bukan penghuni cermin. Dia adalah pemilik semua cermin.
Semua refleksi adalah miliknya. Setiap kali kita menatap cermin, kita membuka
pintu untuknya. Tidak ada cara untuk menghindarinya. Dia selalu menemukan jalan
kembali. Semua cermin terhubung ke tempat yang sama—Dunia Cermin. Dan sekarang
dia menginginkan Damar. Maafkan aku, Damar. Aku membuka pintunya. Aku tidak
tahu cara menutupnya.
Di
bawah tulisan itu, ada tambahan dengan tinta berbeda—tulisan yang bukan milik
Clara:
Satu
tahun telah berlalu. Pintu sudah terbuka lagi. Kali ini, tidak ada yang bisa
menghentikanku.
Aku
menutup buku itu dengan tangan gemetar, mendadak merasa dingin. Perlahan aku
berjalan ke kamar mandi, menghadapi cermin baru yang kupasang. Di sana,
bukan refleksiku yang menatap balik—wajah Clara, dengan sosok tinggi Le Gardien
des Miroirs berdiri tepat di belakangnya.
"Akhirnya
kita bersama lagi, Damar," bisik Clara, mengulurkan tangannya. "Dia
menginginkanmu sekarang."
Tanganku
terangkat tanpa perintahku, perlahan bergerak ke arah cermin. Aku ingin
menariknya kembali, tapi tidak bisa—seperti ada kekuatan lain yang
mengendalikanku.
"Tidak
ada jalan keluar," bisik Le Gardien. "Aku selalu menemukan caraku
kembali. Selama manusia menatap cermin, aku akan selalu ada."
Jemariku
menyentuh permukaan cermin—dan kali ini, alih-alih bertemu dengan
permukaan keras dan dingin, tanganku menembus kaca seperti air.
"Clara..."
bisikku, saat setengah tubuhku ditarik ke dalam cermin. "Aku datang."
Di
belakangku, ponsel berdering—Dina menelepon. Namun, sudah terlambat. Cermin
telah menelanku bulat-bulat, meninggalkan kamar mandi kosong.
Dan di
permukaan cermin, refleksi yang tampak seperti Damar tersenyum, mematikan
dering ponsel, dan berbisik dengan suara yang bukan milik Damar, "Sekarang
giliranmu, Dina." (*)
Aryasuta, karyawan swasta di Kota Kediri, kembali
menyelami dunia kepenulisan setelah sekian lama tersesat dalam rapat tanpa
akhir dan spreadsheet yang misterius. Pernah menerbitkan buku saat
kuliah dan menulis untuk beberapa media, ia sempat berhenti menulis demi
mengejar hal-hal yang katanya "lebih realistis"—hingga sadar bahwa
realitas butuh sedikit bumbu fiksi. Kini, dengan semangat baru, ia berkomitmen
menulis satu plot setiap hari, meski beberapa di antaranya hanya tercatat di notes
ponsel sebelum tidur.
Kerennn banget ceritanya, merinding baca nya. Ada foto Penulisnya, cakep sih. Sukses terus
BalasHapus