Cerpen: TAKDIR YANG MENANTI

 

Akhirnya, Husna mengambil keputusan: mengajukan cuti dan segera pulang kampung. Panggilan terakhir dari Umi terus mengganggu pikirannya. Seminggu telah berlalu sejak ia menerima telepon dari Umi. Ponselnya berdering, saat ia baru saja menyelesaikan tugasnya membuat perangkat pembelajaran—pekerjaan mulia yang telah ia jalani selama hampir lima tahun sebagai guru di sebuah sekolah menengah atas.

"Assalamualaikum, Na." Suara lembut seorang wanita terdengar dari seberang, Umi. Setelah menanyakan kabar Umi, Husna merasakan ada sesuatu yang beda dengan panggilan Umi kali ini. Biasanya, Umi sangat cerewet kalau meneleponnya, menanyakan segala sesuatu padanya, kesehatannya, makannya, pekerjaannya, murid-muridnya, semuanya. Tapi kali ini, Umi lebih sering diam, hanya suara angin yang berembus pelan.

"Umi? Ada apa?" tanyanya, mencoba memecah keheningan.

Ada jeda beberapa detik sebelum suara Umi terdengar lagi, kali ini terdengar ragu, terbata-bata.

"Apakah... Husna bisa pulang? Kita ceritanya di rumah saja."

Husna terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara Umi yang membuat pikirannya tak tenang.

***

Begitu kabar kepulangannya disampaikan, kedua orang tuanya menyambut dengan bahagia. Tapi Husna masih punya pertanyaan yang menggantung, ada apa sebenarnya?

Sepanjang perjalanan, pikirannya terus dipenuhi berbagai spekulasi tentang sikap aneh kedua orang tuanya. Abi sakit? Atau Umi? Atau jangan-jangan mereka akan...

Husna menghentikan pikirannya sendiri.

Atau ia akan punya adik? Ah, tidak mungkin hal seperti itu harus menyuruhnya pulang. Lagi pula, Umi sudah berusia lanjut. Kegelisahan tetap menggelayuti hatinya hingga akhirnya bus berhenti di kampung halamannya.

Beberapa menit berjalan, rumahnya sudah kelihatan. Dari kejauhan, ia melihat beberapa orang berdiri di halaman rumahnya. Wajah-wajah yang sangat ia kenal. Kerabat dekatnya. Husna semakin tidak tenang. Tapi wajah-wajah itu tersenyum lebar dan melambaikan tangan penuh kebahagiaan. 

Husna menyalami mereka satu per satu. Hingga akhirnya, matanya bertemu dengan Abi dan Umi yang berdiri di balik pintu, tersenyum lembut. Paman dan Bibi pun ada di sana, ikut menyambutnya.

Kehangatan itu... membuat Husna merasa benar-benar pulang.

***

"Hah?"

Rasa terkejut tidak bisa Husna bendung tatkala Umi mengatakan persoalan yang selama seminggu terakhir membuat Husna tidak bisa tidur. Ia telah dilamar dan kedua orang tuanya telah menyetujui.

"Kami memang salah karena tidak meminta persetujuanmu, tapi Una, kami yakin kamu akan setuju.”

Husna terdiam. Ia memang tak muda lagi. Usianya sudah melewati angka tiga puluh. Sebagai wanita normal, ia pernah merasakan jatuh cinta tapi gagal untuk meraihnya. Jatuh cinta lagi dan gagal lagi, sampai ia lupa bagaimana rasa jatuh cinta itu dengan kesibukan yang kian bertambah, sampai ia lupa untuk menemukan belahan jiwa sendiri.

Husna sudah sangat nyaman dengan dunianya, memiliki kesibukan, teman, hingga sampai lupa ada dua orang yang masih dalam tanggung jawab untuk menikahkannya dengan lelaki pilihan mereka sendiri.

Husna tahu kesedihan yang akan dirasakan Abi dan Umi jika ia menolak. Jika itu menyangkut kebahagiaan semua orang, apalagi Abi dan Umi, dia akan mengalah.

“Iya Umi, Husna ikut apa kata Umi dan Abi saja."

***

Jatuh cinta? Bagaimana dengan persoalan itu? Husna mengusap beberapa kali air mata yang mengalir di pipinya. Ia sama sekali tidak mengenal lelaki pilihan orang tuanya.

"Mungkin inilah jalanku," gumamnya pelan. Ia sudah menerima keputusan keluarganya, meski tanpa tahu siapa lelaki yang akan menjadi suaminya. Tak ada foto, tak ada pertemuan, hanya keyakinan bahwa pilihan orang tuanya adalah yang terbaik.

Hari-hari berikutnya, persiapan pernikahan berjalan cepat. Husna menjalani semuanya tanpa banyak bertanya. Hatinya masih ragu, tapi ia berusaha meyakinkan diri bahwa cinta bisa tumbuh seiring waktu.

Hingga akhirnya, hari itu tiba.

"Sah!" Suara para saksi menggema, disusul dengan doa dan ucapan selamat. Husna menunduk, hatinya bergetar. Sekarang, ia bukan lagi seorang gadis yang hanya fokus pada karier. Ia kini seorang istri. Istri seorang lelaki yang sejak tadi bahkan Husna tidak berani menatap matanya. Hingga akhirnya ia mendengar bisikan Umi, “Ayo, cium tangan suamimu.”

Husna kaget. Pelan ia mengangkat muka. Husna menatapnya untuk pertama kali. Dan ia terpana. Lelaki di hadapannya bukan hanya berwajah rupawan, tapi juga memiliki sorot mata teduh yang menenangkan. Ada ketenangan dalam dirinya, seolah dunia tak pernah mampu mengusiknya.

"Assalamualaikum, Husna," sapanya lembut.

Husna menunduk, hatinya berdebar. "Waalaikumsalam," jawabnya lirih. Meraih tangan lelaki itu dan menciumnya.

***

Meski telah berstatus sebagai istri. Tapi Husna belum bisa sepenuhnya bisa menerima lelaki itu.

"Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu, Husna," lelaki itu berkata lembut. "Pernikahan ini, aku tahu bukan kehendakmu. Kau hanya berusaha menjadi anak yang berbakti. Tapi aku akan belajar mencintaimu dengan caraku. Aku harap, kita bisa saling mengenal dan memahami satu sama lain dengan waktu yang Allah berikan."

Hari-hari berlalu, dan Husna mulai mengenal sosok suaminya lebih dalam. Ia bukan hanya seorang lelaki berparas menawan, tapi juga seseorang yang sabar, bijaksana, dan penuh perhatian. Setiap pagi, ia yang membangunkan Husna untuk tahajud, bukan dengan paksaan, tapi dengan ajakan lembut.

"Husna, ayo bangun. Aku sudah buatkan teh hangat." Kadang, ia membantu di dapur, mencuci piring, atau sekadar menemani Husna berbincang setelah seharian bekerja. Pelan tapi pasti, Husna mulai melihat bahwa lelaki ini bukan sekadar suami pilihan keluarganya. Ia adalah anugerah.

"Kenapa kamu mau menikah denganku, padahal kita belum saling mengenal?" suatu malam, beberapa hari setelah pernikahan, Husna bertanya.

Lelaki itu menutup buku yang sedang dibacanya, lalu tersenyum.

"Karena aku yakin, wanita yang dibesarkan dengan kasih sayang dan doa dari orang tua yang baik, pasti juga wanita yang baik," jawabnya.

Husna terdiam. Malam itu, dalam sujud panjangnya, ia menangis. Allah telah memilihkan yang terbaik untuknya. Lelaki itu, adalah takdir yang menantinya selama ini. (*)

 

Komentar

Posting Komentar