Cerpen: SEORANG ANAK YANG MENUNGGU AYAHNYA

 

Mimpinya itu, mimpi yang begitu terang, begitu jelas di bawah tempias matahari timur. Sebuah pagi yang berlari dengan gulungan angin kering. Kala ia berdiri di bawah pohon mahoni, menyambut kedatangan sang ayah dengan seruas senyuman beraroma perjalanan yang jauh. Seorang ayah yang amat ia rindukan itu, benar-benar membawa segala inginnya. Tas sekolah sebagai hadiah ulang tahunnya yang ketujuh, tumpukan buku, dan sedikit buah tangan untuk sang ibu.

Tapi pada keniscayaan pagi itu, memang hanyalah tarian gerimis yang memenuhi jalanan panjang. Tak berselang lama setelah ia terjaga dari tidur yang pulas, ia serta merta berlari ke pinggir jalan, dan duduk termenung menunggu kedatangan sang ayah. Mukanya hanya diciduk sedikit air, dan kerongkongan yang basah oleh segelas teh buatan ibu.  

“Cepat datang ya, Ayah. Ayas kangen. Jangan lupa tas baru untuk Ayas ya, Ayah.”  Ia membatin, sembari wajahnya dibiarkan disiram gerimis dari rangkaian hujan lebat yang melulu merajai cuaca tiga hari belakangan. Tak ada permainan layang-layang yang amat menyenangkan, tak ada gelak tawa bersama kawan-kawannya berlari dengan riang di tanah lapang. Padahal dalam hati kecilnya, ia benar-benar ingin bermain sambil ditemani sang ayah yang amat cekatan membuat layang-layang.

Di bawah pohon mahoni itu, betapa truk yang dikendarai sang ayah amat ia nantikan datang dengan suara mesin yang khas, serta lukisan sepasang kuda di padang savana pada bagian bak belakang. Hanyalah seorang anak tiga tahun yang kembali ia saksikan dengan wajah ceria menyambut kedatangan sang ayah yang merupakan seorang kernet bus antarpropinsi. Bus itu hanya berhenti sebentar. Seorang lelaki yang sepantaran dengan ayahnya, memberikan sejumlah uang untuk seorang perempuan, dan mencium sang anak dengan penuh kasih sayang. Sangat sebentar. Sungguh sangat sebentar saja peristiwa itu. Tak lama berselang, pemandangan itu pun lenyap disapu gerimis, dan lalu lalang kendaraan yang melintas. 

***

Dan nun jauh di sana. Pada dua malam sebelum ia duduk termenung di bawah pohon mahoni dalam tarian germis, hanyalah ayahnya diterpa kelelahan, dan memilih berhenti di sebuah ruas jalan.  Ayahnya melihat langit begitu terang pada malam itu. Bintang-bintang berbagai arah, tampak terang-redup di sela-sela gugusannya. Sesekali mata ayahnya tertuju pada benda aneh yang meluncur cepat bagai roket di kejauhan langit utara yang hitam. Sambil mengubah posisi sandaran, benda itu terus ditatap ayahnya. Ditatap dalam sebuah harap seiring benda itu lenyap di kejauhan. Seperti meledak begitu saja di angkasa. 

“Tuhan, berilah aku sedikit rezki. Semoga hari esok hari yang lebih baik.”

Ayahnya percaya begitu saja tentang benda itu. Selagi tampak masih meluncur, maka berdoalah yang baik-baik untuk keberuntungan diri. Berdoa tentang rezki atau pun tentang jodoh. Ya, tak ada salahnya kalau berdoa pada saat itu. Sebagaimana masa kecil sang ayah dahulu. Melompat-lompat kegirangan saat bermain pada malam hari bersama teman-teman sebaya, saat melihat bintang maupun benda itu. Benda yang sampai sang ayah senantiasa berkawan malam, tak kunjung jelas bagi ayahnya itu tentang wujud sebenarnya. Apakah meteor, kotoran bintang, atau batu pelempar setan, semuanya samar-samar terdengar dari cakap orang-orang yang pernah melintas dalam usia ayahnya.

Ayahnya kemudian bangkit dari sandarannya, sesudah sejenak termenung memikir keberuntungan dari melihat benda itu. Dibuangnya puntung rokok yang kurus selepas isapan terakhir. Ayahnya pun menggeliat hingga bajunya terangkat, dan pusar yang hitam berbulu itu menyembul.

Cret, cret, cret….

Badan ayahnya seketika gemetar saat menyudahi rasa sesak yang ditahannya. Ayahnya pun menjadi lega. Air bewarna kekuningan itu melumuri ban depan yang sebesar belasan kepala balita.

Badan ayahnya memang sangat letih. Setelah beratus kilometer perjalanan dan mengganti ban belakang yang pecah, pada malam yang dingin itu, ayahnya ingin sekali beristirahat merebahkan badannya. Ayahnya tak sanggup lagi mengemudi. Takut nanti akan terjadi tabrakan buruk, seperti yang pernah dialami seorang rekan, yang terjun bebas ke dalam jurang di kedalaman malam.

“Kita gantian,” kata ayahnya pada seorang rekan.

Kemudian ayahnya pun segera naik ke dalam truk dan merebahkan badan gemuknya. Truk kembali melanjutkan perjalanan menembus malam. Di beberapa ruas jalan, sebagian truk tampak sedang parkir berhadapan. 

Dan tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Truk melewati kampung-kampung sunyi, persawangan, dan tikungan-tikungan tajam di perbukitan.

Sementara di sebuah rumah sederhana yang berjarak ratusan kilometer dari truk ayahnya itu, ia dan ibunya terlibat percakapan yang terdengar sendu.

“Ibu tak ada uang untuk beli tas, Nak. Tunggulah ayahmu. Ayahmu tak bakalan ingkar janji dan akan membelikan tas untuk hadiah ulang tahunmu. Yuk berdoa untuk ayahnmu sekarang, Nak.”

Tak lama berselang, lampu kamar itu pun meredup. Ia dan sang ibu memilih untuk segera tidur, dan berharap sang ayah datang pada sebuah pagi yang amat berkesan dalam perayaan ulang tahun kecil-kecilan.

***

Terkadang, panjangnya perjalanan dan rutinitas yang itu-itu saja, membuat ayahnya merasa letih dan jenuh jua. Bertahun-tahun sudah, betapa pelosok-pelosok daerah begitu banyak bersarang dalam kepala ayahnya. Rumah makan, pom bensin, bengkel, pelabuhan, tempat-tempat rawan, bagai bongkahan properti dalam kehidupan lepas ayahnya. Lepas dan jauh dari ranjang rumah, anak, maupun istri.

“Begini teruslah. Ya, begini terus saya dengan dua spion seharian,” keluh ayahnya sambil menggerakkan kedua tangannya, menirukan gerakan memegang stir sebesar kuali pada seorang rekan.

“Sama. Apa bedanya dengan saya. Tangan ini telah ibarat sepasang kekasih dengan stir. Berpuluh tahun sudah. Anak saya empat, dan sebentar lagi saya akan punya cucu.” Balas seorang rekan itu setelah menyeruput kopi hidangan rumah makan langganan.

Ayahnya sadar, pekerjaan itu memang menuntut harus jauh dari sang ibu dan dirinya. Mengemudi truk melewati berbagai kota dan melintas pulau. Sebagaimana halnya dengan paman dari ayahnya dulu, seorang sopir truk yang badannya bertato. Paman ayahnya seorang yang pemberani dan sering kali mengajak ayahnya keluar kota bila musim liburan tiba. Tentu saja, saat diajak itu ayahnya girang sekali. Sang ayah membayangkan diri seolah-olah menjadi kernet pendamping luar kota. Melihat banyak daerah, hutan-hutan, dan keindahan laut, memang kepuasan tersendiri bagi ayahnya. Terlebih melihat berbagai bus antarpropinsi, ayahnya sungguh senang menghapal nama-nama bus tersebut

Sang ayah begitu banyak mendapatkan berbagai hal tentang truk dan perjalanan. Ayahnya mendapatkan pelajaran cara mengendarai mobil yang baik. Termasuk teknis mengendarai truk yang memang bukan perkara main-main. Tak jarang, di jalan raya truk banyak yang menggilas kepala dan menggilas perut manusia. Truk sering masuk jurang karena sopir mengantuk. Truk juga sering terlibat tabrakan beruntun, yang menimbulkan korban jiwa atau korban patah-patah.

Dan bagai tersentak oleh lamunan panjang serta resiko yang akan dihadapi, maka pada malam itu, ayahnya pun sangat mewanti-wanti sang rekan dalam mengendarai truk menyusuri jalanan terjal. Acara sederhana ulang tahunnya telah di depan mata. Sang ayah telah menaruh baik-baik sebuah tas baru yang siapkan untuknya. Lengkap dengan tumpukan buku, alat tulis, makanan, dan sepotong daster untuk sang ibu yang amat dicintainya.  

Namun begitulah. Pada malam sebelum berjumpa dengan pagi yang membuatnya menunggu di bawah pohon mahoni itu, truk yang dikemudikan rekan ayahnya memang melaju dalam kecepatan sedang di sela-sela perbukitan terjal, serta disiram tarian hujan yang membuat jarak pandang terbatas. Perjalanan saat itu memang masih lama, dan masih jauh menuju kota tujuan.

Di daerah perbukitan itu, kendaraan yang lewat dan berpapasan hanya satu-satu. Suasana begitu hening dalam keadaan ayahnya tengah terlelap. Yang terdengar hanya suara deru mesin. Suara deru mesin yang membuat, ah, betapa rekan ayahnya seperti terlena mendengar suara itu. Dan entah mengapa, tiba-tiba rasa kesepian datang melanda. Melanda pikiran rekan ayahnya. Satu wajah, dua wajah, tiga wajah bermunculan dalam angan rekan ayahnya. Antara tersadar atau tak sadar, truk tetap melaju dalam kecepatan sedang. Tapi, dalam sekejap itu juga, tiba-tiba kepala truk dengan begitu tepat menuruni mulut jurang yang curam dan dalam. Suara histeris terdengar. “Arrrrggghh.” Di dasar jurang, kepedihan itu sungguh menyayat hati. Hanya darah merah segar. Darah merah segar itu muncrat dari sela daging yang robek.

Sementara di bawah pohon mahoni itu, ia tentu masih setia menunggu truk yang kepalanya berwarna hijau itu. Kali ini, rasa lapar terpaksa ditanggungnya. Kegelisahannya semakin menjadi-jadi, setelah sekian lama menunggu kedatangan sang ayah yang amat dirindukannya. Pandangannya begitu nanap menatap sebuah tikungan di kejauhan.

Ada sempat lima truk yang datang. Tapi truknya memang benar-benar bukan truk yang ditumpangi sang ayah. Hanya mirip warna dan bak belakang yang sarat muatan. Sang ibunya tak sampai hati melihatnya yang bercita-cita menjadi tentara agar lebih baik nasibnya dari nasib sang ayah. Di beranda, sang ibu terus menyapu, dan bersiap menunggu kedatangan ayahnya dengan berdandan secantik mungkin, serta membuatkan bubur kacang hijau kesukaan ayahnya itu. (*)                       

 

Budi Saputra. Lahir pada 20 April 1990. Sejak tahun 2008 ia menulis di berbagai media massa seperti Padang Ekspres, Lampung Post, Suara Merdeka, Batam Pos, Lombok Post, Rakyat Sultra, Kompas, Koran Tempo. Ia merupakan Penulis Emerging UWRF 2012, serta Penulis Kurasi Sibi Kemdikbud 2024 dengan judul buku “Jalan Tropis Puisi”.

Komentar