Aku tak tahu kapan
karma asmara ini mulai menari di takdirku. Entah sejak hujan pertama yang mempertemukan kita, atau sejak
namamu bersemayam dalam
relung jiwa yang paling
dalam. Bhakti rasa ini tumbuh tanpa kusadari, laksana
embun yang jatuh
diam-diam di pagi buta.
Hari itu, langit menangis dalam derasnya, menyelimuti dunia dengan tirai air yang menggigilkan. Aku berdiri di antara basah dan sepi, hingga suara itu datang—suaramu, lembut bagai nyanyian Gandharva yang meluruhkan segala kegundahan. Aku menoleh, dan di sanalah engkau berdiri, senyummu merekah laksana kuntum puspa di taman Swargaloka.
Sebuah sapaan sederhana meluncur dari bibirmu, namun bagi hatiku, itu bagai mantra suci yang membuka pintu rasa yang selama ini kukunci rapat. Aku tak membalas dengan kata, hanya membiarkan waktu menyimpan pertemuan ini dalam cakra takdir yang mungkin akan berputar kembali.
Sejak saat itu, aku mencarimu
dalam sunyi, mengagumi dalam hening, seolah
engkau adalah dewa asmara
yang turun ke bumi tanpa
kusadari. Aku takut jika tatapanku terlalu lama, takut jika rahsa cinta ini terbaca oleh
semesta sebelum waktunya tiba.
Namun, semesta selalu punya cara mengukir jejak-jejak rahasia. Aku mendengar suaramu melantunkan ayat-ayat suci, merdu bagai alunan veena dari Devlok, menggema hingga ke dasar jiwa. Aku melihat caramu tersenyum, sederhana namun cukup untuk membuat cakrawala hatiku terang seketika. Engkau adalah pradipa di malam gulita, hadir tanpa kuminta, namun selalu kunanti.
Aku bukan siapa-siapa bagimu, hanya bayang-bayang yang menari dalam maya. Namun, namamu selalu kusematkan dalam mantra bhakti, kuhaturkan pada takdir, kuselipkan dalam setiap harap. Jika semesta berpihak, aku berharap kelak engkau akan melihatku, bukan sebagai angin yang sekadar lewat, tapi sebagai sutra takdir yang terjalin dalam hidupmu.
Namun, jika takdir berkata
lain, biarlah aku tetap mencintaimu dalam diam, karena
rahsa cinta sejati tak selalu
harus memiliki, tetapi merelakan dalam dharma yang suci.
Komentar
Posting Komentar