Review Buku: A HANDBOOK FOR FAILURE

 

Review Buku “A Handbook for Failure” karya Ana Widiawati J

Oleh: Rinda Fadila

 

Judul buku    : A Handbook for Failure

Penulis         : Ana Widiawati J

Penerbit        : Penerbit Brilliant

Tahun terbit  : 2021

Rating          : 4,7/5

Halaman       : 134

 

“Fokus pada apa yang kita lakukan. Setiap kegagalan dan kesuksesan kita mengandung kisah dan nilai yang tak bisa disamakan dengan kisah hidup orang lain. Hiraukan saja orang-orang yang menamai kita dengan predikat macam-macam. Omongan mereka yang negatif, cukup didengar saja tanpa dipikirkan berlebihan.”

A Handbook for Failure: Halaman 43

 

          Setiap orang memiliki keresahan, perasaan, dan pencapaian yang berbeda dalam hidup. Namun di luar fakta tersebut, tidak sedikit pula orang-orang yang membandingkan dirinya dengan orang lain. Berusaha untuk memenuhi standar yang diciptakan masyarakat atau bahkan memaksakan diri menempuh jalan yang sama dengan orang lain untuk mendapatkan apresiasi. Padahal ia mengetahui bahwa jalan tersebut sangat bertentangan dengan kemampuannya. Buku karya seorang penulis kelahiran Banyuwangi “Ana Widiawati J” hadir untuk setiap diri yang ingin merubah pola pikir agar percaya bahwa ternyata banyak hal-hal yang lebih mengasyikkan di dunia ini apabila kita melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Terdapat 7 bab yang akan menyadarkan kita bahwasanya hasil yang buruk tidak selamanya buruk.

         

Bab 1, “Hanya Karena Banyak Orang Terjun ke Jurang, Bukan Berarti Kita Harus Mengikutinya.” Di awal buku ini terdapat penjelasan tentang lima tingkatan kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow. Semakin bertambah usia, kebutuhan manusia akan terus bertambah sehingga wajar apabila manusia ingin mendapatkan pengakuan dan memiliki perasaan ingin diterima oleh lingkungan tempatnya hidup. Karena adanya keinginan untuk mendapatkan pengakuan, menjadikan manusia berprilaku sesuai dengan apa yang diterima oleh lingkungannya. Namun, apabila perilakunya tidak sesuai dengan lingkungann ia akan merasa terasingkan dan akan menciptakan masalah yang mengganggu. Dalam buku ini dijelaskan, perasaan keterasingan itu dirasakan oleh mereka yang merasa jalan hidupnya tidak sama dengan orang lain. Padahal tidak ada tuntutan jalan hidup semua orang harus sama. Kita tidak punya keharusan untuk mengikuti keputusan orang lain, ambil keputusan dengan pertimbangan dan jangan menjadikan orang lain sebagai patokan. Hanya karena banyak orang melakukannya, bukan berarti hal tersebut benar.  Perasaan itu sangat berdampak buruk seperti merasa tertekan dan skeptis pada keputusan diri sendiri. Menyatu dengan lingkungan sosial diperbolehkan, tapi jangan sampai kehilangan jati diri.

         

Bab 2, “Berhenti Mengarahkan Cermin pada Orang Lain.” Dalam bab ini memaparkan, saat kita melihat keberhasilan orang lain, kita cenderung cemas dan resah karena merasakan pencapaian kita tidak memiliki progress seperti mereka. Buku ini memberitahu kita, bahwasanya apa yang kita lihat belum tentu hal tersebutlah yang benar-benar terjadi. Keberhasilan yang dinampakkan oleh orang lain, bukan berarti ia tidak pernah menghadapi kesulitan. Meski mereka tidak memperlihatkannya secara terang-terangan, bukan berarti hidup mereka mulus-mulus saja. Kecenderungan menghadapkan cermin kepada orang lain mendatangkan efek negatif yang menyebabkan manusia menjalani hari-hari dengan penuh tekanan sampai merasa gagal bila hidupnya tidak mapan seperti orang lain. Hidup di dunia ini adalah pengalaman pertama bagi semua manusia. Artinya, tidak ada kata terlambat atau tertinggal. Baik kita maupun orang lain memiliki waktunya masing-masing dan sudah sewajarnya waktu tersebut tidak sama.

         

Bab 3, “Terlalu Percaya Diri Sama dengan Bunuh Diri.” Dalam buku ini Lauster menjelaskan percaya diri merupakan sikap atau keyakinan atas kemampuan diri yang membuat seseorang tidak cemas atas tindakan dan keputusan yang ia buat. Memiliki kepercayaan diri merupakan energi yang positif, hal ini menandakan kita percaya akan kemampuan diri kita sendiri. Namun, memiliki kepercayaan diri yang berlebihan tidak selalu baik. Buku ini menjelaskan apabila kita memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi, maka kita akan sulit untuk menerima kemungkinan terburuk terhadap sesuatu yang kita rencanakan. Seseorang yang terlalu percaya diri tidak bisa melihat kenyataan secara realistis. Memiliki tingkat percaya diri yang rendah juga tidak baik, karena kurang percaya diri akan membuat kita takut untuk mengambil risiko atas tindakan yang akan dilakukan.

         

Bab 4, “Kita Memang Kalah dan Gagal.” Bab ini berpesan kepada kita, bahwasanya kita harus menerima diri kita apa adanya, bukan hanya kelebihan. Perlu adanya kesadaran dalam diri kita untuk menerima diri karena kita bukanlah makhluk yang sempurna, kita hanyalah manusia biasa. Buku ini mengajarkan kita untuk menerima kenyataan, faktanya benar bahwa akan selalu ada orang yang lebih baik dibanding diri kita. Untuk kita semua yang sulit untuk percaya kepada diri sendiri, buku ini mengajarkan kita jikalau kita adalah manusia biasa maka tidak apa-apa bila kita gagal, kalah, dan banyak kekurangan.

         

Bab 5, “Kita Bukan Superman! Kita Cuma Manusia Biasa.” Bab ini berpesan agar kita tidak terlalu berekpektasi tinggi pada diri sendiri sehingga kita melupakan suatu fakta bahwa kita adalah manusia. Buku ini menjelaskan, manusia memiliki keterbatasan dan jangan pernah berpikir seolah-olah kita dapat mengendalikan segala hal. Singkatnya seperti ini penjelasan Dobelli, jangan berpikir kita adalah seorang kaisar, boleh jadi kita adalah orang biasa dan hal itu tidak apa. Lebih baik kita bertindak sebaik mungkin sebagai orang biasa karena kita menyadari kemampuan diri kita, dibandingkan bertindak sebagai seorang kaisar atau presiden. Banyak orang yang depresi akibat tidak mengetahui kemampuan dirinya sendiri. Sebaiknya fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan, selebihnya biarkan saja.

         

Bab 6, “Tenang dan Tunggulah.” Pada bab ini kita diberitahu agar menghindari dorongan untuk bertindak cepat karena bisa jadi aksi cepat yang kita lakukan malah berkorelasi dengan tindakan buru-buru yang tidak berasal dari pemikiran matang sehingga hasilnya tak selalu bagus. Banyak orang mengira bahwa aksi cepat adalah suatu perilaku yang positif dan aksi lambat atau menunggu merupakan suatu perilaku yang negatif. Padahal, aksi cepat rentan menciptakan hasil yang kurang tepat dibandingan dengan aksi lambat yang memberi peluang seseorang untuk berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak.


Sumber foto: milik sendiri, buku “A Handbook for Failure” halaman 100

 Bab 7, “Berhenti Jadi Yes Man. Dalam bab ini menjelaskan bahwa orang dengan tipe “Yes Man” atau disebut juga dengan people pleaser, orang ini akan kesulitan atau merasa tidak nyaman apabila melakukan penolakan kepada keputusan orang lain. Buku ini meyakinkan kita, penolakan kita mungkin mengecewakan orang lain dan kita pun merasakan hal yang sama apabila ada orang yang menolak keputusan kita. Namun, di luar itu kita tidak punya kendali atas apa yang dirasakan orang lain. Kita hanya perlu bertanggung jawab pada diri kita sendiri. Berhentilah meng-iyakan segala keputusan orang lain, cintai diri sendiri barulah mencintai orang lain.

Sumber foto: milik sendiri “A Handbook for Failure: Halaman 123 “

 Penggunaan kalimat dan gaya bahasa yang mudah dipahami dan sederhana membuat pembaca tidak merasakan kebingungan ketika menelaah setiap pesan yang disampaikan penulis. Selain teori yang berasal dari penulis, buku ini juga banyak memaparkan berbagai teori dari para peneliti dan psikologi dunia yang banyak memberikan inspirasi. Buku ini sangat direkomendasikan untuk kita yang merasa kehilangan kepercayaan diri dan akan membantu kita untuk mengubah pola pikir yang telah usang. Buku genre self improvement ini meyakinkan kita bahwasanya mengalami kegagalan itu tidaklah hasil yang buruk. Segala kekurangan diri juga perlu diapresiasi dan dimaklumi karena kita hanya manusia biasa. Kekalahan dan kegagalan merupakan hal yang wajar untuk kita alami. (*)

 

 

 

Komentar