Resensi Buku “Please,
Look After Mom” Ibu Tercinta karya Kyung-sook Shin
Oleh: Rinda Fadila
Judul buku :
Please, Look After Mom
Penulis :
Kyung-sook Shin
Penerbit :
Changbi Publishers (Korea), PT Gramedia Pustaka Utama (Indonesia)
Tahun terbit :
2008 (Korea), 2020 (Indonesia)
Rating : 5/5
Halaman :
296
“Kau
menyadari bahwa biasanya kau teringat pada Ibu kalau kau sedang mendapat
masalah dalam hidupmu, sebab begitu kau berpikir tentang Ibu, seakan-akan
semuanya kembali normal dan semangatmu pulih kembali.”
Please, Look After Mom: Halaman 291
Ibu adalah orang paling hebat dan sosok yang sangat membanggakan bagi setiap anak. Namun, apakah setiap anak benar-benar mengenal perasaan, harapan, dan cita-cita ibunya? Bagaimana jika semua anak-anak baru menyadari begitu pentingnya peran seorang Ibu bagi mereka setelah perempuan tangguh itu hilang tak kunjung ditemukan? Kisah ini diceritakan dalam Novel berjudul “Please, Look After Mom” Ibu Tercinta, karya seorang novelis yang berasal dari Korea Selatan. Buku 293 halaman ini merupakan novel terjemahan yang diterbitkan di Indonesia dan terhitung pada April 2022 telah mengeluarkan cetakan kesepuluh.
Novel ini menceritakan
tentang bagaimana kondisi anak-anaknya, suaminya, dan orang-orang yang
mengenalinya ketika seorang ibu bernama Park So-nyo hilang tidak ditemukan di
Stasiun kereta bawah tanah saat hendak mengunjungi rumah anak-anaknya di kota.
Ternyata banyak hal yang tidak mereka ketahui tentang Ibunya. Setelah seorang
ibu paruh baya ini hilang ditelan ramainya pengunjung stasiun kereta bawah
tanah, barulah anak-anaknya dan suaminya menyadari bahwa mereka sangat tidak
mengenal sosok ibu dan istrinya itu selama ini. Segala kepedihan, perjuangan,
kemiskinan, bahkan harapan-harapan yang dimiliki ibu, tidak mereka ketahui.
Novel ini terdiri dari 5 bab, keseluruhan babnya menjelaskan bagaimana dan apa
perjuangan yang telah dilakukan ibu Park So-nyo selama ini.
Bab pertama, “Tak Ada yang
Tahu” menggunakan sudut pandang orang kedua yang merujuk pada anak perempuan
ibu Park So-Nyo. Dalam bab ini kejadian setelah seminggu Ibu Park So-nyo
menghilang, pihak keluarga termasuk anak-anaknya, suaminya, dan menantunya
merancang selebaran orang hilang, membuat laporan orang hilang, mencari
diberbagai wilayah dan bertanya pada setiap orang apakah pernah melihat
seseorang yang mirip dengan ibu mereka. Ketika merancang selebaran, mereka baru
saja mengetahui tahun kelahiran ibu mereka yang sebenarnya berbeda dengan apa
yang tertera di dokumen resmi. Mereka juga tidak memiliki foto terbaru ibu mereka
untuk dicantumkan pada selebaran orang hilang. Anak-anak bersaudara itu saling
berdebat, mengapa tidak ada yang menjemput orang tua mereka ketika sampai di
Seoul. Semua anaknya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. “Ibu bisa pulang
dengan membaca papan penunjuk.” Mereka tidak menyadari jika ibu mereka buta
huruf dan tidak bisa membaca selama ini.
Bab kedua, “Maafkan Ibu
Hyong-chol“ menggunakan sudut pandang orang kedua merujuk pada Hyong-chol anak
lelaki ibu Park So-nyo. Seseorang melihat ibu Park So-nyo dan mengatakan jika
kakinya terluka dekat ibu jari karena sudah berjalan begitu jauh. Anak-anaknya
terus menyebar selebaran orang hilang, dan tidak sedikit juga mendapatkan perasaan
kecewa ketika ada orang yang meremas dan membuang selebaran itu ke tanah.
Hyong-chol anak lelaki paling tua menyadari selama ia menjalani hidup, sebagian
besar ia lupa tentang ibunya. Ibunya, ingin Hyong-chol menjadi seorang jaksa.
Segala pelayanan terbaik diberikan ibunya agar Hyong-chol rajin belajar dan
menjadi seorang jaksa. Ibu lah yang terus-menerus menjadi pendorong semangatnya
dan meneguhkan tekadnya untuk menjadi seorang laki-laki dan menjadi manusia.
Bab ketiga, “Aku Pulang” menggunakan
sudut pandang orang kedua merujuk pada suami ibu Park So-nyo. Suami ibu Park
So-nyo pulang dari rumah anak-anaknya di kota dan berada di rumah mereka yang
telah lama kosong. Banyak hal yang ia sadari selama istrinya hilang, seseorang
datang mengatakan bahwa istrinya senantiasa mengunjungi panti asuhan untuk
mengurus anak-anak panti. Sebelum istrinya hilang, ia tak pernah memikirkan
istrinya. Ia hanya akan menyuruhnya melakukan sesuatu, menyalahkannya, tidak
mengacuhkannya, memakinya, dan berkata ketus. Dengan perasaan menyesal, suami
ibu Park So-nyo membuka seluruh pintu rumah, mengunjungi setiap ruangan sambil
berkata “Aku Pulang!” berharap istrinya di rumah dan mendengarnya.
Bab keempat, “Perempuan Lain” menggunakan sudut pandang orang kedua merujuk pada Ibu Park So-nyo. Pada bab ini menceritakan keadaan orang-orang setelah ibu Park So-nyo hilang. Ibu Park So-nyo melihat keadaan anak-anaknya, suaminya, dan sahabat sejatinya dan ia mengenang kejadian yang dilaluinya bersama mereka sebelumnya. Keadaan ibu Park So-nyo sangat kotor, sandalnya pada bagian tumit sudah aus, ia bahkan tidak mengenali dirinya sendiri.
Bab kelima, Epilog: “Rosario dari Kayu Merah” menggunakan sudut pandang orang kedua merujuk pada anak perempuan Ibu Park So-nyo. Pada bab terakhir ini menceritakan tentang keadaan orang-orang yang ditinggalkan setelah Sembilan bulan Ibu Park So-nyo hilang. Baik anak dan suami, mereka mengenang betapa berartinya perjuangan dan pengorbanan ibu dan istrinya selama ini. Mereka menyadari bahwasanya mereka sangat tidak mengenal perempuan itu. Mereka bertanya-tanya, mengapa mereka tidak ingin tahu tentang impian-impian ibunya, tentang segala kemiskinan dan kesedihan yang menimpa ibunya, dan mengapa mereka dahulu tidak ingin tahu tentang beban berat apa yang mesti ditanggung ibunya dengan tabah.
Novel ini menyajikan kalimat
dan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca, namun terdapat beberapa kalimat
yang meminta kita untuk berpikir sejenak. Menurut saya, hal tersebut lumrah
terjadi karena buku ini merupakan buku terjemahan. Paparan cerita setiap babnya
mengajak kita untuk berpikir terkait penggunaan alur cerita dan sudut pandang
ceritanya. Pada setiap babnya menggunakan sudut pandang orang kedua yang
merujuk pada tokoh yang dibicarakan pada bab tersebut. Buku ini cocok untuk
kalian yang sedang mencari rekomendasi buku tentang ibu dan hubungan keluarga.
Banyak sekali pesan moral yang disampaikan sehingga dapat dijadikan pelajaran
oleh pembaca. Setelah membaca buku ini, satu pertanyaan yang muncul yaitu
apakah kita benar-benar sudah mengenal segala tentang kesedihan dan harapan ibu
kita? Penyesalan akan dapat dirasakan apabila kita telah benar-benar merasakan
kehilangan.
Komentar
Posting Komentar