Puisi: SEMBAH SEGUNUNG UPETI

 

Sembah Segunung Upeti

 

Di balik gerbang emas, suara-suara merintih

Tanah yang terinjak, darahnya mengering

Kaki-kaki yang lelah menapaki jalan berbatu

Menghadap sang penguasa yang bertakhta di atas uang

Sembah di bawah kilau emas dan perak

Wajah-wajah yang pudar, harapan hilang di kaki langit

Langit tak lagi mampu menampung pilu

Di sana, tak ada hujan, hanya badai debu

Setiap helai rambut yang rontok adalah upeti

Setiap tetes keringat adalah persembahan

Jauh lebih mudah berlari ke negeri asing

Dari pada berpindah dari kota ke kota di negeri sendiri

Sang raja duduk dalam gemerlap yang beku

Menyembah uang, menyembah harta yang tak pernah cukup

Tangan-tangan terulur untuk menadah segala

Menjadi selaput yang menutupi mata yang memandang

Wajah rakyat, dibungkam dengan deru roda-roda

Bukan suara, hanya gelegar geram yang dipendam

Tiada doa yang diucap selain untuk melarikan diri

Hanya api yang meronta, tak ada tempat untuk berlindung

Sebagai sembah yang paling sakral

Di altar itu, tidak ada manusia

Cuma tumpukan emas yang melapisi bumi

 ------------------- 

 

Tiang Bendera Ditukar Ranting

 

Di atas tanah yang terlupakan, langit murung

Bendera tak lagi berkibar, hanya sobekan

Kain pudar terjuntai, tertancap pada ranting keropos

Di sana, tiang perak hilang, tak bersisa

Langkah-langkah sunyi merayap di antara debu

Patriot tak lagi muncul, wajahnya tertutup

Tak ada suara yang berteriak, hanya hening yang membisu

Tanah menjerit, namun tak ada yang mendengar

Bumi menggigil, menelan darahnya sendiri

Ranting keropos berdiri menggantikan tiang

Bendera yang dulu berdiri tegak, kini terkulai lesu

Pahlawan digantikan kepasrahan yang kaku

Keringat dan darah mengalir di jalan setapak

Tak ada yang datang untuk membela

Tiang bendera yang terinjak, kini berakar pada pelupa

Kemerdekaan terperangkap dalam debu sejarah

Tiap langkah tak lagi menggema, hanya hampa

Di bawah langit yang tercabik, tiang tiada

Sobekan bendera berdesir, terbungkus angin

Menghapus segala yang dulu pernah berharga

 ------------------

 

Minyak Urut

 

Bau harum meresap, menembus kulit

Minyak urut membelai sendi yang terhimpit

Mengalir, menyejukkan, menghilangkan rasa sakit

Di dalamnya, ada bisikan bisu

Tangan-tangan yang dulu gemetar, kini terbungkam

Sendi-sendi yang terpelintir, diluruskan tanpa suara

Di bawah pelipisan minyak, nurani mengendur

Mata yang pernah tajam, kini memburam dalam kelam

Minyak urut tak hanya menyembuhkan

Ia menghaluskan jalan bagi para pemangsa

Roti yang diperebutkan, kini dibagi dengan diam

Kebohongan berjalan mulus seperti cairan yang teroleskan

Rasa sakit terhapus, namun luka tetap membekas

Hati yang dulu berteriak, kini terbenam dalam pekat

Minyak urut itu, meredakan segala derita

Tapi jiwa yang tergores, tetap menangis darah

 ----------------- 

 

Pena Kembar

 

Satu pena berkilau, tergeletak di atas meja

Menyusupkan tinta hitam, menulis kata-kata tipu

Satu pena lusuh, terabaikan di sudut sepi

Mencoretkan harapan, terjerat dalam diam

Pena sang raja menggoreskan dunia baru

Kata-kata manis, menyembunyikan darah

Pena rakyat terbuang, menulis dalam derita

Mengangkat suara yang terkubur

Tinta mengalir

Satu untuk menghancurkan, satu untuk bertahan

Satu pena menulis janji-janji yang memudar

Satu pena mengingatkan luka yang tak terlupakan

Pena milik raja terus berdusta dalam senyap

Kata-kata terukir dalam hati, memuluskan segala yang retak

Pena yang lain memuja dusta yang tersembunyi

Laras suara teredam, kesunyian tercipta

Rakyat menulis kisah, namun tak pernah dibaca

Pena kembar

Satu mengukir kekuasaan, satu merajut keadilan

Tinta mereka tak akan pernah bertemu

Hanya selaut sampah kertas

Komentar