Sembah Segunung
Upeti
Di balik gerbang emas, suara-suara merintih
Tanah yang terinjak,
darahnya mengering
Kaki-kaki yang lelah menapaki
jalan berbatu
Menghadap sang penguasa yang bertakhta di atas uang
Sembah di bawah kilau
emas dan perak
Wajah-wajah yang pudar, harapan
hilang di kaki langit
Langit tak lagi mampu
menampung pilu
Di sana, tak ada hujan,
hanya badai debu
Setiap helai
rambut yang rontok
adalah upeti
Setiap tetes keringat
adalah persembahan
Jauh lebih mudah
berlari ke negeri asing
Dari pada berpindah dari kota ke kota di negeri
sendiri
Sang raja duduk dalam
gemerlap yang beku
Menyembah uang, menyembah harta yang tak pernah cukup
Tangan-tangan terulur
untuk menadah segala
Menjadi selaput
yang menutupi mata yang memandang
Wajah rakyat, dibungkam
dengan deru roda-roda
Bukan suara, hanya
gelegar geram yang dipendam
Tiada doa yang diucap
selain untuk melarikan diri
Hanya api yang meronta,
tak ada tempat untuk berlindung
Sebagai sembah yang
paling sakral
Di altar itu, tidak ada manusia
Cuma tumpukan
emas yang melapisi
bumi
Tiang Bendera
Ditukar Ranting
Di atas tanah yang terlupakan, langit murung
Bendera tak lagi berkibar, hanya sobekan
Kain pudar
terjuntai, tertancap pada ranting keropos
Di sana, tiang perak
hilang, tak bersisa
Langkah-langkah sunyi merayap di antara debu
Patriot tak lagi
muncul, wajahnya tertutup
Tak ada suara yang berteriak, hanya hening yang membisu
Tanah menjerit, namun
tak ada yang mendengar
Bumi menggigil, menelan
darahnya sendiri
Ranting keropos berdiri
menggantikan tiang
Bendera yang dulu berdiri
tegak, kini terkulai
lesu
Pahlawan digantikan
kepasrahan yang kaku
Keringat dan darah
mengalir di jalan setapak
Tak ada yang datang untuk membela
Tiang bendera
yang terinjak, kini berakar pada pelupa
Kemerdekaan
terperangkap dalam debu sejarah
Tiap langkah
tak lagi menggema, hanya hampa
Di bawah langit yang
tercabik, tiang tiada
Sobekan bendera
berdesir, terbungkus angin
Menghapus segala yang
dulu pernah berharga
Minyak Urut
Bau harum meresap,
menembus kulit
Minyak urut membelai sendi yang terhimpit
Mengalir, menyejukkan, menghilangkan rasa sakit
Di dalamnya, ada
bisikan bisu
Tangan-tangan yang dulu gemetar,
kini terbungkam
Sendi-sendi yang
terpelintir, diluruskan tanpa suara
Di bawah pelipisan
minyak, nurani mengendur
Mata yang pernah tajam,
kini memburam dalam kelam
Minyak urut tak hanya
menyembuhkan
Ia menghaluskan jalan bagi para
pemangsa
Roti yang diperebutkan,
kini dibagi dengan diam
Kebohongan berjalan
mulus seperti cairan yang teroleskan
Rasa sakit terhapus,
namun luka tetap membekas
Hati yang dulu berteriak, kini terbenam dalam
pekat
Minyak urut itu,
meredakan segala derita
Tapi jiwa yang tergores, tetap menangis
darah
Pena Kembar
Satu pena berkilau,
tergeletak di atas meja
Menyusupkan tinta hitam, menulis
kata-kata tipu
Satu pena lusuh,
terabaikan di sudut sepi
Mencoretkan harapan,
terjerat dalam diam
Pena sang raja
menggoreskan dunia baru
Kata-kata manis,
menyembunyikan darah
Pena rakyat terbuang, menulis
dalam derita
Mengangkat suara yang
terkubur
Tinta mengalir
Satu untuk menghancurkan, satu untuk bertahan
Satu pena menulis
janji-janji yang memudar
Satu pena mengingatkan luka yang tak terlupakan
Pena milik raja terus
berdusta dalam senyap
Kata-kata terukir
dalam hati, memuluskan segala yang retak
Pena yang lain memuja
dusta yang tersembunyi
Laras suara teredam, kesunyian tercipta
Rakyat menulis kisah,
namun tak pernah dibaca
Pena kembar
Satu mengukir
kekuasaan, satu merajut
keadilan
Tinta mereka tak akan
pernah bertemu
Hanya selaut sampah kertas
Komentar
Posting Komentar