Puisi: SEBELUM SUBUH

 

Sebelum Subuh

Kau memang selalu berhasil menimang mataku. Menidurkan segenap pandangan akan fajar yang tiba-tiba saja kembali ke tempatnya bermula, hingga kusadari telah hilang seluruh waktu dan kuakui bahwa diri ini, sudah terlalu sering dibutakan oleh kepalsuan yang melenakan. 

Di batas kata dari ribuan doa, saat perlahan ujung malam hampir terpesona oleh kerling pagi, dinginnya yang semula menusuk, kini menjelma sejuk yang menghapus suntuk. Aku berjanji tak akan tertipu untuk yang ke sekian kali.

“Nona, inilah surga. Di dunia. Biar pejam selalu matamu, hingga mata yang lain memancarkan terik siang yang mewakili api kami. Biarkan habis usiamu, oleh kesia-siaan yang indah.”

Kupastikan bisikmu tuntas hari ini, dan akan habis pula di hari esok. Biar langkahku ringan menuju jendela sejuta perjalanan, biar mampu kusaksikan cantiknya langit Subuh beralih peran ke langit syuruk.

Tasikmalaya, 2025

 

Jiwa, Fana, dan Waktu

Pagi, sebelum menyapa nasi di meja, seekor burung merak terperangkap di pigura. Tanpa suara. Tiba-tiba kau rindu berbicara jujur tentang apa pun, kepada siapa saja.

Detik jatuh satu demi satu, realitas memaksamu terus berlari, berpikir dan percaya segalanya mudah, bisa ditaklukkan hanya dengan satu kata: berani.

Kau merelakan diri terjebak, yakin hanya harus terus berjalan, menjauh, melepas, merasa segalanya akan mudah dan bisa disanggupkan hanya dengan satu cara: terus mencoba.

Satu jam lagi tiba. Di kereta, perjalanan menuju angka-angka. Ramai penumpang telah sempurna dibekap perangkat jemala. Kau berdiri di ambang waktu-waktu yang terus maju, tapi selalu ada yang tak mampu kau sangkal. 

Selalu ada yang tertinggal di belakang.

Keimanan yang terkikis perlahan, atau rasa percaya kepada doa, yang kini nyaris mati dibungkam kefanaan.

Siang, sore, kau terus diserang kehampaan. Tangan, kaki, seakan-akan melayang-layang, mencari tuan, padahal masih bertuan. Mencari pemilik, padahal kau masih yang paling berhak.

Beranjak malam, sunyi dan dingin merangkul. Kau merenung, dan atas izin-Nya, kerinduan itu kembali hadir.

Di antara sepi dan keraguan akan kesenangan yang terasa jauh dari kepastian, kau ditampar angan-angan yang sejatinya tidak tiba-tiba mampu kau rancang. Segala yang dimimpikan, segala yang diupayakan, tak luput dari kehendak-Nya. Sekian lama kau telah melupa dan terbiasa lupa.

Sebelum malam habis, sebelum pagi kembali, kau bersimpuh. Sebelum raga tinggal cerita, sebelum dunia hancur digada, lirih kau berkata, “Kupenuhi panggilan-Mu, Ya Rabb, tiadakanlah resah dan gundah, biarkan diri ini kembali percaya."

Tasikmalaya, 2025

 

Semoga Selamanya

Dalam perjalanan jiwa yang kian murung, kucari-cari penawar dari lain tempat, kucecap manis dari gelap yang menyamar menjadi sinar yang silau. Sempat kuserahkan diri yang semakin rapuh ini kepada yang tak seharusnya, kepada gemerlap dunia yang bisa lenyap kapan saja. 

Semakin lama, semakin tak terarah, sekelebat masa memanggilku kembali kepada ingatan yang hampir terkubur dan hancur. Nyatanya aku terlalu angkuh, hingga melupa siapa yang telah menciptakan segalanya. 

Kini, yang tersisa hanya malu. Kuakui telah pergi terlalu jauh. Aku ingin kembali, menyebut nama-Mu, mendamba tiap jengkal cinta-Mu. Maka, izinkanlah selalu, selamanya. 

Tasikmalaya, 2025

 

Komentar