Puisi: SEBELUM PERGI

 

Sebelum Pergi

 

mungkin seseorang di luar sana

pernah benar-benar bisa berbicara dengan hujan

bertanya atau bertukar kata-kata, selayaknya teman biasa

 

pada hari Rabu yang lalu-lalu, samar-samar memang hujan pernah bersuara

tapi aku pura-pura tak mendengarnya

sampai kemudian, tak pernah bisa kudengar apa-apa lagi darinya

seberapa deras dan kabar tentang badai selalu kudapat dari terjemahan para ahli dan pembawa acara televisi

 

dan setiap kali aku melihat genangan di lubang jalan

aku selalu teringat masa kecil

yang sebenarnya tak ingin kukenang dalam-dalam

 

mungkin karena itu pula aku tak sanggup lagi berbincang dengan hujan, tentang apa pun

sebab aku merasa banyak hal yang terambil tanpa sepenuhnya kuserahkan 

kepada siapa pun,

saat ia terus jatuh ke bumi

saat ia terus jatuh melalui mataku

 

Tasikmalaya, 2025

 -----------------


Sebuah Sore di Kursi Tunggu

 

lorong-lorong di sini dingin sekali

di luar, hujan besar disamarkan jendela tinggi-tinggi

saya melihat ke bawah kursi,

ke jari-jari kaki

menyadari betapa kerdil diri ini

 

pesan dari BMKG masuk

cuaca ekstrem tiga jam ke depan

saya merapatkan jaket

di sudut ruangan dekat penerimaan obat, dua teknisi tampak mondar-mandir

blokade kecil, tidak begitu mengganggu

hujan terlalu bersemangat, bocor tak kenal tempat

 

saya tiba-tiba mengingat buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma

merindukan masa-masa sekolah dasar, ketika saya berani mencari tahu banyak hal

bagaimanapun, saya tidak suka menjadi dewasa

saya menyesali, pernah ingin buru-buru menjalaninya

 

satu demi satu nama dipanggil

saya menyaksikan orang-orang tampak bosan

atau mungkin lapar?

 

saya ingin tidur, tapi tidak mengantuk

sedikit ragu, saya melihat lagi ke luar, seorang anak berlari-lari di tengah hujan,

jujur, saya membenci dingin

tapi saya nyaris selalu gagal menyingkirkannya

 

sekarang, tiba-tiba saya ingin makan mie ayam.

 

Tasikmalaya, 2025

 -----------------

 

Memaafkan Masa Lalu

 

terlalu klise, lebih parahnya palsu?

layaknya di dalam drama atau film-film picisan

kamu berbicara tentang hal-hal yang kadang tak masuk akal

tapi bersama sebentuk bukti, semuanya terlihat memang bisa dipercaya

 

“begitulah akhirnya, Han, langit mati bunuh diri, tujuh lapisnya, semuanya sama-sama dikuburkan.”

 

di mana? 

 

“di suatu tempat yang tidak akan pernah kita ketahui.”

 

aku mengangguk, mungkin sesekali memang harus diiyakan

dan kamu mengambil jeda panjang

setelah aku memberi isyarat, aku percaya

 

“entah mengapa, aku merasa aku adalah langit itu.”

 

mati? bunuh diri? menjadi salah satu lapisannya?

 

“aku merasa menjadi mayat.”

 

aku akan menguburkanmu.

 

pada akhirnya, kamu pasti akan berterima kasih

dan tentu saja, aku akan meminta maaf.

 

Tasikmalaya, 2025

 

 

 

*) Imas Hanifah N. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Beberapa karyanya sudah dimuat di media cetak maupun online. Bisa dihubungi melalui Instagram: @hani_hanifahn atau Facebook: Imas Hanifah N.

 

Komentar