Tuhanku,
sungguh jiwaku telah lama terasa
gersang. Sebentuk
ladang
mati dengan pohon-pohon meranggas. Sebab kenistaan
diri
bagai api dalam sekam dan menjelma asap hitam pekat
membumbung
ke udara. Apakah yang tersisa usai ditampar badai utara.
Selain
hanya luka terus menganga di bawah perguliran manzilah
bulan
yang mengitari setiap pintu kematian. Bahwa akulah begitu
rindu
datangnya bulan Ramadan dalam simpuh penyesalan
di
depan-Mu. Tak peduli tubuh kurus bagai
kulit bawang mengering
terhuyung
di setiap persimpangan. Sebab aku ingin larut dalam
labirin
jamuan-Mu tiada tara. Yang melebihi harum kasturi, yang
melebihi
manis kurma. Bertandan-tandan kenikmatan tak akan
sanggup
dihitung bila semua daun dijadikan kertas, dan lautan
dijadikan
tinta.
Sebab
Ramadan adalah mata air mengaliri sekujur kelopak jiwa.
Betapa
aku membayangkan diri sebentuk burung kecil yang
terbang
di malam-malam tarawih. Singgah dari satu rumah suci
ke
rumah suci lainnya. Kulihat segala kebaikan bagai kebun ranum,
bagai
sungai deras lagi jernih tempat sekalian makhluk mandi
dengan
bersuka cita.
Akulah
burung kecil yang kini terbang riang dalam jamuan-Mu.
Kugadaikan
bau mulut sembari bertengger pasrah di ranting
tilawah
yang melintasi dinginnya petang. Kutatap mata air penuh
tangisan
seraya kusimak ikan-ikan memohonkan ampun bagi
sekalian
hamba yang berpuasa. Berharap mata air
itu mengalir
panjang,
hingga padamlah api neraka yang semula menyala
dan
tumbuh dalam hitam dan keringnya jiwa.
2025
Komentar
Posting Komentar