Puisi: RINDU MATA AIR RAMADAN

 


Tuhanku, sungguh jiwaku  telah lama terasa gersang. Sebentuk

ladang mati dengan pohon-pohon meranggas. Sebab kenistaan

diri bagai api dalam sekam dan menjelma asap hitam pekat

membumbung ke udara. Apakah yang tersisa usai ditampar badai utara.

Selain hanya luka terus menganga di bawah perguliran manzilah

bulan yang mengitari setiap pintu kematian. Bahwa akulah begitu

rindu datangnya bulan Ramadan dalam simpuh penyesalan

di depan-Mu.  Tak peduli tubuh kurus bagai kulit bawang mengering

terhuyung di setiap persimpangan. Sebab aku ingin larut dalam

labirin jamuan-Mu tiada tara. Yang melebihi harum kasturi, yang

melebihi manis kurma. Bertandan-tandan kenikmatan tak akan

sanggup dihitung bila semua daun dijadikan kertas, dan lautan

dijadikan tinta.     

   

Sebab Ramadan adalah mata air mengaliri sekujur kelopak jiwa.

Betapa aku membayangkan diri sebentuk burung kecil yang

terbang di malam-malam tarawih. Singgah dari satu rumah suci

ke rumah suci lainnya. Kulihat segala kebaikan bagai kebun ranum,

bagai sungai deras lagi jernih tempat sekalian makhluk mandi

dengan bersuka cita.

 

Akulah burung kecil yang kini terbang riang dalam jamuan-Mu.

Kugadaikan bau mulut sembari bertengger pasrah di ranting

tilawah yang melintasi dinginnya petang. Kutatap mata air penuh

tangisan seraya kusimak ikan-ikan memohonkan ampun bagi

sekalian hamba yang berpuasa. Berharap  mata air itu mengalir

panjang, hingga padamlah api neraka yang semula menyala

dan tumbuh dalam hitam dan keringnya jiwa. 

 

2025 

 

*) Budi Saputra. Lahir pada 20 April 1990. Sejak tahun 2008 ia menulis di berbagai media massa seperti Padang Ekspres, Lampung Post, Suara Merdeka, Batam Pos, Lombok Post, Rakyat Sultra, Kompas, Koran Tempo. Ia merupakan Penulis Emerging UWRF 2012, serta Penulis Kurasi Sibi Kemdikbud 2024 dengan judul buku “Jalan Tropis Puisi”.

 

 

Komentar