PUISI-PUISI A. WARITS ROVI

 

TANAH AZIMAT


cangkul ini; tulang rusuk kedua

yang menjelma istri di tengah sawah

 

bercinta di kasur lumpur

dengan ranjang angin berbalur gerimis

 

diri adalah anak zaman yang berkiblat keyakinan

menanam butir-butir padi untuk sebuah mimpi

 

bayangan batang padi bemakmum arah matahari

melukis sujud dan rukuk di dalam diri

 

moyang dari masa silam datang dengan sebuah pesan

:jangan tukar sawah ini dengan bulan.

 

Sumenep, 2021

 -----------------


HILANGNYA BURUNG CENDET DARI KAMPUNG KAMI


semasa kanak kami, di senyap ketiak pohon atau bambu

burung cendet merumahkan hidupnya pada lingkar sarang

dari untai rumput kering, melawan hening

seraya melanjutkan keturunan; bolehlah pada tiga butir telur itu

ia membayangkan beranak dan bercucu, berbulu di segala waktu

 

pagi cerlang dalam warna padi yang cerah

kicaunya menghibur petani dan pekebun

menyulam hati dengan benang rahasia yang diantar bunyi

di balik paruh runcing semi pipih, hanyut dalam ritmenya

hati perawan dari utara, yang mandi di sungai

berkeramas jeruk dan kemiri, o, kicau burung apakah

yang menabur mawar ke dalam hati?

 

“biarkan ia di alamnya sendiri, berkarib keadaan

dari ranting ke ranting, menyambangi moyang dalam kegaiban,”

ucap kakek di jeda melinting kelobot, dengan sisa tatap tak berotot

dalam sengal deru napas dan gerak yang lemas

 

dan kini, hanya dua puluh tahun dari masa itu

tak sehelai bulu pun yang tersisa di sini, kecuali dalam tutur cerita

burung cendet di masa lalu mengakhiri suara emasnya

dalam perangkap para pemburu

telur di lingkar sarang, anak-anaknya yang gemetar di lengan pohonan

tak sanggup melanjutkan kehidupan

 

kami mengenangnya di sini, di sisi makam kakek yang sepi

dalam warna kenangan, lintas bayang burung itu

telah abadi bernisan waktu.

 

Bungduwak, 2021

 ------------------


TUPAI DAN PEMBURU


damai berhelai bulu kuning dan kelabu

kerabat beratus dahan, melompat di tulang carang

seperti melompati nasibnya sendiri

antara kini dan nanti

 

dari pinggang bukit ke kaki lembah

usah asah gigi dan taring

menyempurnakan makan pagi di pohon jambu monyet

 

perkenankan kami menumpang hidup

wahai manusia. wahai yang berkulit sutra

berhati alamanda

 

pemburu datang memanggul senapan

“sekadar untuk hobi ini, tupai itu harus jatuh hari ini

baik hidup atau mati

barangkali lezat dagingnya, bisa membuat hidup

lebih lama, lebih berbunga, lebih berwana,”

mereka tertawa sebelum akhirnya menentukan bidikan

 

ketika sebelah mata dipejam dalam tajam bidikan

dan yakin kepala tupai bersarang dalam lingkar teropong sanapan

ditariklah pelatuk dengan jari, seolah memenuhi panggilan hati

 

“plasssss”

 

raga tupai itu berpisah dengan nyawanya

pemburu itu tertawa dalam kegilaannya.

 

Bungduwak, 2021

 ------------------


JINGKAT JARUM JAM


jingkat jarum jam itu menakar waktu

dari dua belas kejadian yang dikenang penyair

dalam kamar,

 

penyair yang meyakini puisinya sendiri

sebagai rumah kecil untuk hidup menimbang

banyak rencana dan upaya

 

jingkat jarum jam itu mengajak siapa pun tak diam

:berjalan, melangkahi bayang-bayang

sembari merampungkan detak pada ruang rahasia

yang tak cukup diberi pintu dan jendela

 

jingkat jarum jam itu merumuskan hidup

bahwa waktu bukan semata pukul berapa

tapi adakah bunga kecil yang bisa dipetik darinya?

 

Rumah Filza, 2021

 ------------------


HUTAN WARISAN


ini hutan warisan, dari doa kakek

di antara gemeletuk gigi tunggal yang nyaris tanggal

juga gegaris keriput yang melaru kulitnya

dengan sedikit peluh dan arsiran debu

 

“jagalah hutan ini karena ia adalah

tubuhmu sendiri,” suara kakek gemetar

 

ke pinggang hutan itu, lintang jalan setapak

terdiri dari lempung dan batu

tapi banjar pohonnya selalu berputing

dan meneteskan susu untuk anak cucu

 

dahan bercabang hingga ke dada

menjanjikan sebentuk buah

memalingkah tetes getah, meliuk sendiri

dalam sunyi

 

“biarkan ia hijau menerima hujan

dengan telapak tangan terbuka

dan memeramnya dalam akar

dengan jalar belukar sederhana

demi menjangkau hari depan yang cerah

supaya hujan itu kemudian menjadi sumber bening

yang memancar di mata anak cucu kita,,” pinta kakek

selanjutnya.

 

aku mengangguk pasrah, seperti hujan

menyerah kepada tanah

dan mengikuti sungai ke mana lekuk mengarah

 

Sumenep, 2021

--------------------



A.      Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media  antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah FEMINA, dll. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra.  Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018), “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020). Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura.

 

Komentar