TANAH AZIMAT
cangkul ini; tulang rusuk kedua
yang menjelma istri di tengah sawah
bercinta di kasur lumpur
dengan ranjang angin berbalur gerimis
diri adalah anak zaman yang berkiblat
keyakinan
menanam butir-butir padi untuk sebuah
mimpi
bayangan batang padi bemakmum arah
matahari
melukis sujud dan rukuk di dalam diri
moyang dari masa silam datang dengan
sebuah pesan
:jangan tukar sawah ini dengan bulan.
Sumenep, 2021
HILANGNYA BURUNG CENDET DARI KAMPUNG KAMI
semasa kanak kami, di senyap ketiak pohon
atau bambu
burung cendet merumahkan hidupnya pada
lingkar sarang
dari untai rumput kering, melawan hening
seraya melanjutkan keturunan; bolehlah
pada tiga butir telur itu
ia membayangkan beranak dan bercucu,
berbulu di segala waktu
pagi cerlang dalam warna padi yang cerah
kicaunya menghibur petani dan pekebun
menyulam hati dengan benang rahasia yang
diantar bunyi
di balik paruh runcing semi pipih, hanyut
dalam ritmenya
hati perawan dari utara, yang mandi di
sungai
berkeramas jeruk dan kemiri, o, kicau
burung apakah
yang menabur mawar ke dalam hati?
“biarkan ia di alamnya sendiri, berkarib
keadaan
dari ranting ke ranting, menyambangi
moyang dalam kegaiban,”
ucap kakek di jeda melinting kelobot,
dengan sisa tatap tak berotot
dalam sengal deru napas dan gerak yang
lemas
dan kini, hanya dua puluh tahun dari masa
itu
tak sehelai bulu pun yang tersisa di sini,
kecuali dalam tutur cerita
burung cendet di masa lalu mengakhiri
suara emasnya
dalam perangkap para pemburu
telur di lingkar sarang, anak-anaknya yang
gemetar di lengan pohonan
tak sanggup melanjutkan kehidupan
kami mengenangnya di sini, di sisi makam
kakek yang sepi
dalam warna kenangan, lintas bayang burung
itu
telah abadi bernisan waktu.
Bungduwak, 2021
TUPAI DAN PEMBURU
damai berhelai bulu kuning dan kelabu
kerabat beratus dahan, melompat di tulang
carang
seperti melompati nasibnya sendiri
antara kini dan nanti
dari pinggang bukit ke kaki lembah
usah asah gigi dan taring
menyempurnakan makan pagi di pohon jambu
monyet
perkenankan kami menumpang hidup
wahai manusia. wahai yang berkulit sutra
berhati alamanda
pemburu datang memanggul senapan
“sekadar untuk hobi ini, tupai itu harus
jatuh hari ini
baik hidup atau mati
barangkali lezat dagingnya, bisa membuat
hidup
lebih lama, lebih berbunga, lebih
berwana,”
mereka tertawa sebelum akhirnya menentukan
bidikan
ketika sebelah mata dipejam dalam tajam
bidikan
dan yakin kepala tupai bersarang dalam
lingkar teropong sanapan
ditariklah pelatuk dengan jari, seolah
memenuhi panggilan hati
“plasssss”
raga tupai itu berpisah dengan nyawanya
pemburu itu tertawa dalam kegilaannya.
Bungduwak, 2021
JINGKAT JARUM JAM
jingkat jarum jam itu menakar waktu
dari dua belas kejadian yang dikenang
penyair
dalam kamar,
penyair yang meyakini puisinya sendiri
sebagai rumah kecil untuk hidup menimbang
banyak rencana dan upaya
jingkat jarum jam itu mengajak siapa pun
tak diam
:berjalan, melangkahi bayang-bayang
sembari merampungkan detak pada ruang
rahasia
yang tak cukup diberi pintu dan jendela
jingkat jarum jam itu merumuskan hidup
bahwa waktu bukan semata pukul berapa
tapi adakah bunga kecil yang bisa dipetik
darinya?
Rumah Filza, 2021
HUTAN WARISAN
ini hutan warisan, dari doa kakek
di antara gemeletuk gigi tunggal yang
nyaris tanggal
juga gegaris keriput yang melaru kulitnya
dengan sedikit peluh dan arsiran debu
“jagalah hutan ini karena ia adalah
tubuhmu sendiri,” suara kakek gemetar
ke pinggang hutan itu, lintang jalan
setapak
terdiri dari lempung dan batu
tapi banjar pohonnya selalu berputing
dan meneteskan susu untuk anak cucu
dahan bercabang hingga ke dada
menjanjikan sebentuk buah
memalingkah tetes getah, meliuk sendiri
dalam sunyi
“biarkan ia hijau menerima hujan
dengan telapak tangan terbuka
dan memeramnya dalam akar
dengan jalar belukar sederhana
demi menjangkau hari depan yang cerah
supaya hujan itu kemudian menjadi sumber
bening
yang memancar di mata anak cucu kita,,”
pinta kakek
selanjutnya.
aku mengangguk pasrah, seperti hujan
menyerah kepada tanah
dan mengikuti sungai ke mana lekuk
mengarah
Sumenep, 2021
--------------------
A. Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah FEMINA, dll. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra. Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018), “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020). Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura.
Komentar
Posting Komentar