Dari labirin badai perang atau kobar neraka di hamparan
Trang Bang, maka terajah namanya seperti sekuntum krisan
yang menabur semerbak wangi dalam lintasan
abad yang berlari.
Dengan pakaian terbakar di sekujur tubuh dan kulit
terkelupas, hanyalah Kim Phuc, hanyalah anak napalm
bagai merobek bentangan langit raya dengan teriakan.
“Nong qua, nong qua.”
Meski hari-hari diserang demam parah berkepanjangan.
Ketika Saigon berada dalam sekam api membara.
Ketika anak-anak menjerit dari semburan herbisida agen
oranye yang turut membuat hutan-hutan gundul
bagai lahan berhantu tak bertuan.
Hitam tangis
bagai tuberkolosis akut dibawa angin kering.
Disusul manusia perahu mengarungi lautan terjal disiram
matahari tropis dalam persilangan musim
yang melelahkan.
Di Galang,
betapa jejak perkebunan nenas Mantrust
menjelma Kamp Sinam yang berkesan. Seorang negarawan
berkaca mata hitam, sempat meninjau pembangunan
barak disambut kibar bendera, senyuman,
dan riuh nyanyian.
Meski
peristiwa bom napalm telah lama berlalu bagai
gumpalan kain buruk yang dibuang, hanyalah Kim Phuc
yang kemudian namanya masyhur dengan nurani
anti perang yang seputih porselin dan sejernih mata air.
Nurani yang selaksa menghidupkan kebun-kebun mati
yang suatu hari diguyur hujan yang berlari seperti hewan
tunggangan. Di mana setelah itu, benih-benih mekar
dari tanah kering tembikar. Serupa hamparan ladang
gandum menguning, atau serupa tangkai-tangkai anggur
yang riang disinari fajar pagi yang merekah.
Dari labirin badai perang atau kobar neraka di hamparan
Trang Bang, hanyalah namanya terajah seperti sekuntum
krisan yang menabur semerbak wangi dalam lintasan
abad yang berlari.
Sebuah jalan
terang terbentang bagi anak-anak korban perang.
Sebuah labirin kedamaian ia ciptakan penuh doa-doa
menghambur ke angkasa bagai balon udara.
Penghargaan Dresden
Prize adalah merah luka bertukar
wajah sebentuk kesederhanaan dan keindahan lembayung
senja.
Kesederhanaan
yang menghadap hari-hari penuh warna,
selaksa sebuah meja makan dengan secangkir teh,
sepotong roti, serta leleh mentega tersuguh penuh makna
dalam riak usia.
Pekanbaru, Juni 2023
Trang Bang, maka terajah namanya seperti sekuntum krisan
yang menabur semerbak wangi dalam lintasan
abad yang berlari.
terkelupas, hanyalah Kim Phuc, hanyalah anak napalm
bagai merobek bentangan langit raya dengan teriakan.
“Nong qua, nong qua.”
Meski hari-hari diserang demam parah berkepanjangan.
Ketika Saigon berada dalam sekam api membara.
Ketika anak-anak menjerit dari semburan herbisida agen
oranye yang turut membuat hutan-hutan gundul
bagai lahan berhantu tak bertuan.
Disusul manusia perahu mengarungi lautan terjal disiram
matahari tropis dalam persilangan musim
yang melelahkan.
menjelma Kamp Sinam yang berkesan. Seorang negarawan
berkaca mata hitam, sempat meninjau pembangunan
barak disambut kibar bendera, senyuman,
gumpalan kain buruk yang dibuang, hanyalah Kim Phuc
yang kemudian namanya masyhur dengan nurani
anti perang yang seputih porselin dan sejernih mata air.
Nurani yang selaksa menghidupkan kebun-kebun mati
yang suatu hari diguyur hujan yang berlari seperti hewan
tunggangan. Di mana setelah itu, benih-benih mekar
dari tanah kering tembikar. Serupa hamparan ladang
gandum menguning, atau serupa tangkai-tangkai anggur
yang riang disinari fajar pagi yang merekah.
Trang Bang, hanyalah namanya terajah seperti sekuntum
krisan yang menabur semerbak wangi dalam lintasan
abad yang berlari.
Sebuah labirin kedamaian ia ciptakan penuh doa-doa
menghambur ke angkasa bagai balon udara.
wajah sebentuk kesederhanaan dan keindahan lembayung
senja.
selaksa sebuah meja makan dengan secangkir teh,
sepotong roti, serta leleh mentega tersuguh penuh makna
dalam riak usia.
---------------------------
Seruas pagi kembali tumbuh dalam pancaran
langit kirmizi. Sebening embun yang membasahi
dedaunan mahoni. Setenang pucuk anggur
merapal tarian matahari. Seriang burung-burung
berwarna lada hitam terbang membelah
tirai musim yang nisbi.
Apa yang hendak kita rayakan untuk mereguk
kebahagiaan ini. Perulangan hari baik menamakan
dirinya bagai sehamparan ladang yang mekar.
Bertahun-tahun kita menanam benih dan merawatnya,
lalu melupakan kehilangan yang bagai kuda
putih kemiri patah kaki yang gagal menuju
padang sabana penuh warna di bawah
lengkung bianglala.
Barangkali dalam Jumat yang putih, dalam hari
raya mengurai bersama doa para yatim, leleh margarin,
dan paha kambing yang dibagi-bagi, kita larut
dalam sebabak makna. Bahwa meski telah
jauh menyusuri rel yang panjang, kita tak pernah
lupa muasal dan pahit hidup yang mengalir
di jazirah usia.
Seperti mendaki sebuah tursina, memang masih
jauh puncak cahaya. Tapi kita tanam lagi benih
demi benih. Kita rawat lagi pohon demi pohon
dalam hujan pagi yang tempias
dari leher cuaca.
Sebab untuk menjadi manusia seutuhnya di hadapan
Tuhan, kita hendaknya menjadi tanah baik yang
menumbuhkan segala yang memberi manfaat
untuk semesta.
Bila kelak pagar melingkar di ladang ini rapuh
bagai manik-manik terurai, ada anak-anak kita
berlari tanpa pamrih. Merentangkan tangan
dan keikhlasan hatinya, untuk memapah segala
kealpaan diri kita.
2025
*) Budi Saputra. Lahir di Padang, 20 April 1990. Ia menulis di berbagai media massa seperti Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Haluan Riau, Majalah Sabili, Jurnal Bogor, Lampung Post, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Jurnal Nasional, Indo Pos, Batam Pos, Lombok Post, Tanjung Pinang Pos, Riausastra.com, Magrib.id, Marewai.com, Rakyat Sultra, Kompas, Kompas.id (digital), Koran Tempo. Ia merupakan Penulis Emerging UWRF 2012 serta Penulis terpilih Kurasi Sibi Kemdikbud 2024 dengan judul buku “Jalan Tropis Puisi”.
langit kirmizi. Sebening embun yang membasahi
dedaunan mahoni. Setenang pucuk anggur
merapal tarian matahari. Seriang burung-burung
berwarna lada hitam terbang membelah
tirai musim yang nisbi.
Apa yang hendak kita rayakan untuk mereguk
kebahagiaan ini. Perulangan hari baik menamakan
dirinya bagai sehamparan ladang yang mekar.
Bertahun-tahun kita menanam benih dan merawatnya,
lalu melupakan kehilangan yang bagai kuda
putih kemiri patah kaki yang gagal menuju
padang sabana penuh warna di bawah
lengkung bianglala.
Barangkali dalam Jumat yang putih, dalam hari
raya mengurai bersama doa para yatim, leleh margarin,
dan paha kambing yang dibagi-bagi, kita larut
dalam sebabak makna. Bahwa meski telah
jauh menyusuri rel yang panjang, kita tak pernah
lupa muasal dan pahit hidup yang mengalir
di jazirah usia.
Seperti mendaki sebuah tursina, memang masih
jauh puncak cahaya. Tapi kita tanam lagi benih
demi benih. Kita rawat lagi pohon demi pohon
dalam hujan pagi yang tempias
dari leher cuaca.
Sebab untuk menjadi manusia seutuhnya di hadapan
Tuhan, kita hendaknya menjadi tanah baik yang
menumbuhkan segala yang memberi manfaat
untuk semesta.
Bila kelak pagar melingkar di ladang ini rapuh
bagai manik-manik terurai, ada anak-anak kita
berlari tanpa pamrih. Merentangkan tangan
dan keikhlasan hatinya, untuk memapah segala
kealpaan diri kita.
2025
*) Budi Saputra. Lahir di Padang, 20 April 1990. Ia menulis di berbagai media massa seperti Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Haluan Riau, Majalah Sabili, Jurnal Bogor, Lampung Post, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Jurnal Nasional, Indo Pos, Batam Pos, Lombok Post, Tanjung Pinang Pos, Riausastra.com, Magrib.id, Marewai.com, Rakyat Sultra, Kompas, Kompas.id (digital), Koran Tempo. Ia merupakan Penulis Emerging UWRF 2012 serta Penulis terpilih Kurasi Sibi Kemdikbud 2024 dengan judul buku “Jalan Tropis Puisi”.
Komentar
Posting Komentar