Puisi: MENGENANG PUTIH KAMBIUM RAMADHAN

  

MENGENANG PUTIH KAMBIUM RAMADHAN
 
(1)
Hanyalah  dulu kita berlari dalam cairnya subuh buta.
Kekanak menjahit  makna di bawah langit kirmizi.
Ramadhan berayun, Ramadhan berembun sejuk seiring
alunan ngaji serta orang-orang mengukur musim
di bawah selembar matahari yang memapah langkah
di sebuah pantai tepi kota.
 
Angin kering bertiup di bawah pohon kersen. Dan betapa
sederhananya pagi kita kala bermain sepak bola tanpa roti
dan air mineral.  Tak peduli di sepanjang  debur ombak,
bahwa sesungguhnya ada kenangan berpasir yang
menyelinap ke dalam ceruk usia. Ternyata kita hanyalah
bocah-bocah yang baru mengenal tutup limun, perang
sarung, dan doa berbuka yang sering diputar
dalam desir radio.
 
(2)
Masih panjang rasanya kambium hari untuk kita lalui.
Ketika siang menjelang petang, letuskan lagi meriam itu.
Meriam bambu, meriam yang membikin kita
mengharu biru.
 
Bagai bermain di hamparan benteng perang, maka kita
hanya mengenal sumbu api, minyak tanah dan suara
dentuman  tanpa mengenal  harga lada, beras dan segala
harum rempah yang ditanam dari pahit nasib.
 
“Pukul berapa hari, berapa jam lagi tibanya waktu berbuka?”
Hanyalah kita selalu betanya-tanya tentang waktu.
Sedangkan di langit, tarian layang-layang yang melemah
terkadang menjadi petanda bahwa malam akan
segera tiba.
 
(3)
Dan malam, malam yang begitu gegap gempita, hanyalah
kita bagai burung-burung berterbangan di langit
taraweh. Menyimak ayat-ayat yang mengalir di sepanjang
sungai makna. Walau tak jarang sesudah pertemuan
yang bubar di halaman masjid, hanyalah suara petasan
atau suara pekik bocah-bocah kala bermain
petak umpet.
 
Tak peduli kadang keringat membasahi tubuh.  Hingga kita
tenggelam  lagi dalam mimpi, hingga kita mendengar lagi
suara pada sepertiga malam yang saling bersahutan.
“Sahur, sahur, sahur, sahur.”    
 
2025
 
 
 *) 
Budi Saputra. Diundang dalam Ubud Writers and Readers Festival 2012. Ia menulis cerpen dan puisi di berbagai media massa.

Komentar