Puisi: KOTA TUA PADANG

 

KOTA TUA PADANG

 

Kota tua Padang, kota yang terbuat dari persilangan

bandar dagang. Betapa kini bersolek jua engkau

bersama Batang Arau yang bagai baru pulih dari

tuberkolosis panjang.

Gedung Geo Wehry & Co menyambut Festival Muaro. 

Berbondong-bondong orang merayakan sisa kedigdayaan

masa silam. Menyaksikan permukaan sungai yang

jernih dan deret gedung yang menggeliat dari

tamparan gempa dan sesak wabah pembawa helai

kafan.

 

Siapakah yang berjalan agak ke dalam dan menjauhi

Batang Arau serta Jembatan Siti Nurbaya.

Bila melintasi Jumadil Akhir, niscaya akan menemui 

orang-orang membangkitkan riwayat Nagapattinam

dan harum riwayat orang suci Shahul Hamid.

Berton-ton gula ditebar di Pasar Batipuh. Orang-orang

berebut bungkusan berwarna-warni, orang-orang

bahagia dibalut jalan yang penuh harum rempah dalam

persilangan bahasa, dan napas kolonial yang lama

mengering. Meraba dinding sejarah, melihat ladang

keniscayaan ratusan tahun keberkahan dari tiang-tiang

masjid di bawah timbunan matahari yang menyinari

pantai barat Sumatera.

 

2024

 -----------------

DARI GALANGGANG ARANG (1)

 

Dari gemerlap kota tambang, dari raung sirine kerja

yang kini hanya bagai jalan kering dihisap lidah zaman.

155 kilometer dari rahim Ombilin, hanyalah aku

yang kini terpekur sendiri, tuan.

Silo Gunung, silo penampung jutaan ton emas hitam

yang masyhur di sisi pelabuhan dengan riak ekspedisi

gila-gilaan hingga melepuhkan retak tulang.

 

Awal mula De Greve mengendus tanah-tanah

di pedalaman Sumatra, tak ubahnya hikayat panjang

menjahit kain kedigdayaan sekaligus helai kafan.

Seperti kebun ranum disiram tarian tropis, tak terbendung

rel kereta terbentang panjang, tak kuasa rede-rede kecil menyangga

rasa lapar hantu kolonial hingga berdirilah Emmahaven

yang didatangi para tuan, pialang, atau pedagang

yang mendiami kota yang berpendar cahaya,

kota yang bermandikan gulden dan dicelup senyum

merekah nona-nona dengan kulit sejernih porselin

dalam labirin senja jingga.

 

2024

 -----------------

 

DARI GALANGGANG ARANG (2)

 

 

Dari gemerlap kota tambang, dari raung sirine kerja yang kini bagai

jalan kering dihisap lidah zaman. 155 kilometer dari rahim Ombilin, hanyalah aku yang kini terpekur sendiri, tuan. Silo Gunung, silo penampung jutaan ton emas hitam yang lama kehilangan saudara kembar dan senantiasa ditampar angin laut menerjemahkan

segala kenangan.

Bahwa jauh dari hiruk pesta dan basahnya tutup botol limun, hanyalah biru lautan bagai menjelma lukisan absurb bercampur

keringat dan anyir darah. Di mana erangan sakit itu sengaja dikapalkan dalam

dek-dek pengap dari Batavia, hingga

ke perut bumi lembah sempit tempat emas hitam bersemayam. Dari dalam sana, gemerincing rantai besi para kettingganger

terdengar ngilu merembesi

dinding abad. Dengan sebatang tubuh bagai kulit bawang mengering, mereka hidup dari penjara ke penjara dengan upah kecil, dan mendapat makan tak layak dari Gudang Ransum yang ditumbuhi

ketel-ketel raksasa.

 

2024

 

 

*) Budi Saputra. Diundang dalam Ubud Writers and Readers Festival 2012. Ia menulis cerpen dan puisi di berbagai media massa.

Komentar