Bunga Seribu Musim
Aku bukan bunga mawar atau melati
Tak punya
harum yang menggoda pencium
Tak pula kelopak
yang gemerlap dalam gemilang 
Aku hanya teratai,
tercurah dari rawa, tak sempurna 
Mekar dan layu
dalam sunyi yang tak bisa dihindar 
Kelam menyelimuti,
namun aku tetap bertahan
Di atas permukaan
yang keruh, aku berkembang 
Dari kedalaman, aku
muncul, hanya untuk hilang 
Bukan warna, bukan
rupa yang diharap dunia 
Hanya jiwa yang
berjuang, sepi dalam cakrawala 
Aku bukan melati,
tak setia dengan pagi
Hanya dandelion
yang berani menantang angin 
Kelembutan tak
kukenal, yang ada hanya tempurung keras 
Menembus badai,
menjadi abu, lalu terbang kembali 
Apakah
aku layak menjadi kebanggaan?
Di bawah bintang
yang tak peduli, aku tumbuh 
Aku bunga seribu
musim
Mekar di musim yang
tak terduga 
Saat musim pergi,
aku tetap ada
Di ujung sepi, di
ujung angin yang menari
Jika Bapak Sakit, Ibu Jadi Tukang Sulap
Nasi segenggam, berubah sepanci 
Menyelusup dalam jari-jari ajaib
Semak belukar, disulap
jadi sayur mayur 
Dunia tak tahu, di balik tangan
yang rapuh 
Ikan kering, bertukar
rendang beraroma 
Bahkan langit pun tak
sadar ia berbicara 
Badan terkulai, di
ranjang sunyi
Namun tangan ibu berkelana, merobek malam 
Dedaunan gugur, tetap
ia beri napas
Seribu permohonan, tak terucap dalam hening
Dengan kuasa tak
terlihat
Ruang temaram
jadi penuh cahaya 
Cinta tak terbaca dalam tiap gerak
Tetapi anak tahu, itu adalah sulap yang tak tampak
Bukan sihir yang
berbisik dalam angin
Melainkan doa yang hening
Penuh beban,
penuh harap.
Ingin Kucuci Mulutku di Samudera 
Kutuk takdir
yang terbalut dalam perih 
Setiap langkah
terasa berat, terhenti 
Di bibir,
kata-kata penuh duri
Menyesal
datang terlambat, menyesakkan hati 
Tuhan, mengapa
hanya kesalahan yang mengalir? 
Dalam diam,
angin membawa penyesalan
Ingin kucuci
mulutku di samudera 
Menyapu semua
dusta yang terucap 
Hanya air yang
bisa meredam
Namun
gelombang takkan menghapus jejak
Doa untuk Negeriku
Tuhan, hamba mohon, tanah ini punah dari bejatnya
langkah 
Serigala-serigala
berbulu putih, biarlah tersambar petir
Pintu
langit terbuka lebar, sambar segala durjana 
Hingga
tak terabaikan hatinya yang tiada nurani.
Hukum
yang tumpul, diberi ketajaman bagai mata pedang 
Pejabat
berakhlak busuk, jadikan ikan pari yang tak bernyawa 
Di
tengah lautan yang kering, biarkan dia hanyut
Tanpa
bayang nafsu, hilang di antara arus suram.
Ke
tempat penuh lumpur, tempat pandir menyendiri
Di
bawah jembatan, dalam kegelapan, tenggelam tak berjejak 
Penuh
najis, penuh kemunafikan, tak lagi bersuara.
Pohon-pohon
ditebang, rantingnya terbuang tanpa makna 
Biarkan
sang penebang terkurung dalam rumah pohon 
Di
puncaknya yang tinggi, tak bisa turun, terpenjara
Melihat
kesalahan yang tak pernah padam, diam dalam sepi.
Tuhan,
jangan biarkan negeri ini terus terluka 
Yang
miskin tetap miskin, yang budi tetap rapuh
Tapi
kibarkan sayap angin, semoga membawa harapan 
Bagi
yang lelah berjuang, di jalan yang penuh duri.
Berikan
Telur Puyuh Busuk pada Koruptor 
Telur puyuh busuk,
harum tumpul bau busuk 
Sajikan pada mereka yang hidup di dalam kegelapan 
Di atas meja megah,
harapan mati sebelum tercipta 
Setiap gigitan membawa
debu dosa tak terhapus.
Mereka makan, tapi tak
pernah kenyang 
Darah hitam meresap dalam
tangan berkilau
Tak ada kesedihan, hanya
tawa serakah, penuh noda 
Di balik pintu emas, jiwa
kosong berbicara.
Biarkan telur busuk itu
terpecah di hati
Sisa hidup terbungkus
dalam kebohongan dan abu.
%20(297%20x%20210%20mm)%20(2).png)
Komentar
Posting Komentar