Opini: MENYOAL KECERDASAN BERBAHASA DI RUANG PUBLIK

 

Belakangan ini, ramai diperbincangkan mengenai publik figur yang melakukan ulasan terhadap makanan dengan bahasa yang menurut netizen kurang tepat. Sosok tersebut mencoba memakan mi instan dan mengibaratkan rasanya seperti mengandung aroma hewan tertentu. Selain itu, ada pula minuman yang katanya memiliki rasa seperti bahan bakar. Banyak yang protes dan merasa bahwa kalimat yang dilontarkan oleh sang pengulas terlalu berlebihan. Namun, ada pula yang menganggap hal itu biasa-biasa saja. Karena menurut mereka, setiap orang berhak memberikan pendapatnya. 

Di sisi lain, saya juga pernah menemukan konten mengenai penyebutan atau pengibaratan makanan dengan benda-benda tertentu. Misalnya, begini: 

π‘‡π‘Žπ‘’ π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘Ž π‘˜π‘’π‘’ π‘Žπ‘›π‘’, π‘‘π‘–π‘‘π‘Žπ‘˜? π‘…π‘Žπ‘ π‘Žπ‘›π‘¦π‘Ž π‘˜π‘Žπ‘¦π‘Žπ‘˜ π‘™π‘’π‘šπ‘Žπ‘Ÿπ‘–.”

πΎπ‘Žπ‘™π‘–π‘Žπ‘› π‘‘π‘Žπ‘’ π‘šπ‘Žπ‘˜π‘Žπ‘›π‘Žπ‘› 𝑖𝑛𝑖, π‘”π‘Žπ‘˜? π‘…π‘Žπ‘ π‘Žπ‘›π‘¦π‘Ž π‘˜π‘Žπ‘¦π‘Žπ‘˜ π‘π‘Žπ‘—π‘’ π‘¦π‘Žπ‘›π‘” π‘”π‘Žπ‘˜ 𝑑𝑖𝑐𝑒𝑐𝑖 π‘ π‘’π‘π‘’π‘™π‘Žπ‘›.”

πΎπ‘Žπ‘™π‘–π‘Žπ‘› π‘ π‘’π‘˜π‘Ž π‘π‘’π‘Žβ„Ž π‘Žπ‘›π‘’? π΄π‘˜π‘’ π‘”π‘Žπ‘˜ π‘ π‘’π‘˜π‘Ž, π‘ π‘œπ‘Žπ‘™π‘›π‘¦π‘Ž π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘Žπ‘›π‘¦π‘Ž π‘˜π‘Žπ‘¦π‘Žπ‘˜ π‘π‘Žπ‘’ π‘˜π‘’π‘™π‘˜π‘Žπ‘  𝑔𝑖𝑑𝑒.”

Banyak sekali kalimat-kalimat serupa yang ditulis oleh para pengguna media sosial. Semua orang tertawa, karena kata mereka, pengibaratan makanan dengan benda adalah hal yang lucu. Di dalam konten tersebut, nyaris tak ada yang kontra. 

Saya melihat dua fenomena ini sebagai sesuatu yang serupa, tapi tak sama. Ada seorang publik figur yang melakukan kegiatan mengulas makanan dan minuman dengan menyamakan rasanya seperti hewan atau bahan bakar, dan netizen marah. Ada pula yang membuat konten dengan menyamakan rasa makanan seperti benda-benda, tapi tak ada yang merasa tersinggung atau menganggap itu adalah hal yang buruk. Kebanyakan mereka menganggapnya itu sebagai lelucon tongkrongan yang wajar.

Mengapa demikian?

Saya kira, ini adalah tentang bagaimana seseorang harus mempunyai kemampuan dalam menempatkan diri dan menyesuaikan bahasa yang digunakan. Ketika berada di ruang publik, termasuk itu media sosial, maka mau tak mau, banyak pemikiran yang berbeda yang akan timbul terhadap suatu konten. Di sinilah kecerdasan berbahasa diperlukan. Siapa pun itu, entah hanya pengguna media sosial biasa, terlebih publik figur, mestinya memang belajar dengan tepat bagaimana menempatkan kata-kata sesuai situasi. 

Kembali membahas kedua kasus yang sebelumnya saya singgung. Kasus pertama, ia adalah seorang pengulas makanan yang sudah malang melintang. Ia mengungkapkan pendapatnya terhadap suatu makanan dengan tegas, sesuai apa yang ia rasakan. Ia sampaikan penilaian itu, kepada ratusan ribu pengikut yang menonton kontennya. 

Di kasus kedua, hampir semua kalimatnya adalah pertanyaan dan pernyataan dari orang awam yang meminta validasi, atau pengakuan. Ada keragu-raguan di dalamnya, juga rasa sungkan. Mereka mengatakan bahwa kue anu, rasanya seperti lemari, tapi mereka pun tak yakin. Inilah kemudian yang membuat kasus kedua menjadi hal yang biasa, hal yang lucu-lucu saja. 

Saat menyimak dua situasi tersebut, saya tiba-tiba mengingat salah satu kisah yang diceritakan secara anonim ketika saya masih berada di sekolah menengah pertama. Kisah tersebut adalah tentang seorang mahasiswa yang melakukan semacam pelatihan untuk para petani di desa. Ia yang sangat pintar, mengajari para petani dengan bahasa akademik yang luar biasa keren itu. Namun, apa yang terjadi? Para petani desa yang notabene sudah sepuh, sebagian besar tak mengerti dengan apa yang si mahasiswa ajarkan. Hasilnya? Tentu saja kegagalan. 

Sampai akhirnya si mahasiswa menyadari kesalahannya dan mencoba kembali memberi pengajaran lewat bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh para petani desa. Hasilnya? Itu berhasil.

Memang benar bahwa pintar saja tidak cukup. Perlu kecerdasan yang menyeluruh ketika berhadapan dengan publik. Salah satunya adalah kecerdasan berbahasa. Hal yang mungkin sering luput dari para pengguna media sosial dan semua orang, padahal itu bisa jadi yang paling penting untuk mereka, saya, dan kamu. (*)

 

 

Tasikmalaya, 2025

Komentar