Artikel: MASYARAKAT DIGITAL DAN KABAR BAIK KUSTA

 
Masyarakat Digital dan Kabar Baik Kusta

Budi Saputra

 

Di era modern sekarang, berbagai nama penyakit serta cara pengobatannya bisa dengan mudah didapat. Informasi terkait penyakit banyak tersebar di berbagai buku, media massa, maupun internet yang menyangga gemerlapnya era digital. Apalagi yang berkaitan dengan  penyakit menular. Mendengar kata ini, orang-orang barangkali langsung terpikir berbagai penyakit berbahaya hingga mematikan. Katakanlah itu TBC, DBD, rabies, HIV, dan termasuk kusta yang setiap tanggal 28 Januari diperingati sebagai Hari Kusta Sedunia.

Bicara soal kusta, maka bicara tentang sejarah panjang. Penyakit kusta telah dikenal hampir 2000 tahun sebelum Masehi. Hingga saat ini, penyakit kusta tersebar di berbagai belahan dunia dengan Indonesia menduduki posisi ketiga setelah India dan Brazil sebagai negara yang memiliki penderita kusta. Kemenkes mencatat, sedikitnya terdapat 11 provinsi yang statusnya belum mencapai eliminasi kusta di Indonesia. Hal ini disebabkan angka prevalensinya masih di atas 1 kasus per 10.000 penduduk.

Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae. Terutama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit dan jaringan tubuh lainnya. Meskipun WHO merekomendasikan beberapa pengobatan seperti regimen DDS dan MDT, namun upaya pencegahan dan penanganan kusta masih menjadi problematika di Indonesia yang dipicu beberapa faktor seperti stigma atau diskriminasi, keterlambatan deteksi, serta rendahnya pengetahuan serta kesadaran masyarakat.

Kusta memiliki masalah yang kompleks. Selain terkait masalah medis, juga meluas sampai pada masalah sosial, psikologi, ekonomi, budaya, dan ketahanan nasional. Bagi penderita, hal ini tentulah berat. Terlebih kusta yang dialaminya bisa menyebabkan disabilitas di samping cengkraman stigma di tengah masyarakat yang memandang kusta sebagai penyakit kutukan, keturunan, penyakit guna-guna hingga penyakit menular yang tak bisa disembuhkan.  

Meskipun masalah kusta meluas di berbagai sisi, namun upaya pencegahan dan penanganan akan terus dilakukan oleh segenap elemen di negeri ini baik itu pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Eliminasi penyakit kusta boleh dikatakan adalah tugas bersama, hingga rencana Tujuan Pembangungan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030, yaitu mengakhiri penyakit tropis yang terabaikan (termasuk kusta) benar-benar tercapai.  Setidaknya ada kekuatan besar yang bisa diandalkan untuk hal ini, yaitu masyarakat digital yang tercerahkan oleh berbagai pengetahuan dan dikenal kompak tanpa memandang latar belakang.

Kusta dan Masyarakat Digital

Berkaca pada kasus Covid-19 beberapa tahun lalu, maka kita bisa melihat bagaimana peran masyarakat terlihat nyata dari segenap elemen. Baik di desa maupun di kota, kita bisa melihat bagaimana informasi terkait Covid-19 tersebar dalam berbagai bentuk. Ada yang berbentuk spanduk, pamflet, buletin, maupun pesan berantai  melalui grup media sosial yang ada dalam genggaman masyarakat dan bisa diakses di setiap saat dan keadaan.

Media massa seperti koran, televisi maupun radio juga tak ketinggalan. Ibarat sebuah puzzle, maka semua kepingnya telah penuh diisi oleh informasi penting Covid-19 yang kala itu sangat mengkhawatirkan, dan membuat setiap elemen waspada lantaran dampaknya bisa berakibat pada kematian.  Setiap individu  melakukan upaya agar diri dan keluarga tak terpapar  virus Covid-19. Rasa takut hingga pengetahuan terkait Covid-19 berjalan seiringan, hingga menimbulkan kebiasaan baik seperti menjaga jarak dan mencuci tangan memakai sabun. Selain itu, perbuatan saling berbagi juga terlihat kentara di tengah masyarakat seperti berbagi makanan, masker, maupun alat pelindung diri.  

Satu hal yang bisa disimpulkan dari ilustrasi di atas yaitu terbentuknya masyarakat digital yang peduli terhadap suatu penyakit atau ancaman. Bila pada kasus Covid-19 yang berlangsung sekitar 2-3 tahunan saja terbentuk pola hidup demikian, maka bagaimana kira-kira ini diterapkan dalam mencegah dan menangani penyakit kusta yang telah berlangsung sejak ratusan tahun?

Barangkali ini adalah salah satu strategi yang akan membuat upaya eliminasi kusta di tanah air berjalan dengan lancar, dan kusta tercerabut sampai ke akar-akarnya. Dengan kekuatan pengguna internet yang mencapai 221.563.479 jiwa pada tahun 2024 sesuai data yang dikeluarkan APJII, maka bukan hal mustahil kabar baik tentang kusta akan cepat tersebar. Kabar baik kusta sendiri bermakna bahwa kusta bukanlah penyakit kutukan. Kusta memang penyakit menular tetapi risiko penularannya rendah. Kusta menular melalui kontak langsung dan lama dengan penderita yang belum diobati.

Untuk menciptakan masyarakat digital yang peduli kusta, tentulah membutuhkan upaya ekstra. Dalam hal ini, pemerintah melalui berbagai instansi bisa memulainya melalui media sosial dalam mengkampanyekan segenap informasi tentang kusta. Tidak saja sebatas instansi, namun tokoh penting tidak menutup kemungkinan ikut bersuara yang tentu saja diikuti respon dari ribuan bahkan jutaan netizen di berbagai platform media sosial. Produk dalam pengejawantahan informasi ini boleh jadi akan beragam. Boleh jadi ada kurikulum sekolah yang menyelipkan pengetahuan seputar kusta dalam mata pelajaran di setiap jenjang. Atau setidaknya ada infografis yang ditempel di setiap kelas hingga menjadi pengetahuan dasar yang kokoh tertancap dalam pikiran.  

Selain dari pemerintah, upaya kampanye dan edukasi pencegahan maupun penanganan kusta bisa dilakukan oleh LSM, swasta, mapun akademisi. Selain bisa menyebar aplikasi digital, mereka bisa memanfatkaan media lain yang terangkum dalam pemasaran sosial. Pemasaran sosial bisa berarti produk yang diberikan berupa gagasan yang bermanfaat bagi masyarakat dan diberikan secara cuma-cuma. Produk dari dari pemasaran sosial ini bisa jadi berbentuk ide atau pandangan serta keyakinan, praktik hidup sehat, serta produk nyata berupa sikat gigi, buku saku, kalender, pakaian, video, lagu, poster infografis yang pada intinya menyebarkan kabar baik kusta, dan menghapus stigma di tengah masyarakat.

Masyarakat yang menerima informasi terkait kusta diharapkan perlahan menyadari bahwa kusta bukanlah penyakit mematikan serta dapat disembuhkan. Dengan pola informasi yang terus-menerus di media sosial, maka diharapkan akan terbentuk masyarakat yang peduli terhadap kusta dan bisa membentengi diri dan keluarga, sekaligus peduli terhadap penderita kusta serta Orang yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK).

Ikut andilnya OYPMK dalam kampanye sosial tentu saja bagai lokomotif positif yang diharapkan akan membuat jumlah kasus kusta semakin terkikis. Terlebih apabila di antara mereka ada yang menjadi penggerak di komunitas kusta, bahkan menjadi influencer yang mengajak ratusan juta penduduk Indonesia untuk menghapus segala hambatan dalam upaya eliminasi kusta.   

Menyambut Hari Kusta Sedunia                     

Dalam rangka Hari Kusta Sedunia yang diperingati pada Januari 2025, maka inilah momentum menyebarkan kabar baik kusta yang pada muaranya mengeliminasi kusta sesuai target Tujuan Hidup Berkelanjutan (SDGs) tahun 2030. Selain itu, yang tak kalah penting adalah terwujudnya masyarakat digital yang dengan sendirinya melepaskan pakaian stigma kusta dan diganti dengan sikap peduli dan terhadap diri, lingkungan, keluarga serta pada penderita kusta dan OYPMK. Sebagai ilustrasi, bila kasus kusta tahun 2023 mencapai 14.376 kasus, maka berapakah jumlah masyarakat yang menggenggam bara stigma hingga membuat penderita kusta dan OYMPK banyak tersisihkan dan tak merasa berdaya?

Kabar baik kusta bukanlah sekadar kabar bahwa kusta bukan penyakit mematikan atau  penyakit biasa yang bisa dicegah, diobati, dan diputus penularannya. Tapi lebih dari itu, adalah suatu pola pikir dan pola hidup yang tidak membedakan individu serta merangkul segenap perbedaan. Hari Kusta Sedunia memiliki makna mendalam. Terlebih Hari Kusta Sedunia juga berdekatan dengan hari penting lainnya seperti Hari Difabel Internasional pada 3 Desember, serta Hari Persaudaraan Manusia Internasional yang diperingati setiap tanggal 4 Februari. Artinya, bahwa ini ibarat satu batang tubuh yang saling melengkapi. Apabila satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh lainnya akan juga ikut merasakan. 

Kabar baik kusta janganlah sampai terhenti pada kata-kata. Meski ada aksi nyata yang memberdayakan semua potensi kita dalam kolaborasi. Sebagai masyarakat yang peduli, maka memberdayakan hidup penderita kusta maupun OYPMK adalah jalan mulia seraya terus memberangus stigma. Memberikan bantuan materi, pelatihan, seta lapangan kerja, barangkali akan membuat kepercayaan diri OYPMK semakin meningkat. Setidaknya bila kita belum mampu, maka hal positif lain bisa dilakukan seperti ikut serta dalam kampanye sosial, membantu petugas medis dalam merawat penderita kusta, bahkan ikut membeli produk-produk terbaik yang dihasilkan oleh OYPMK. (*)

                                                                        

 

*) Budi Saputra. Lahir di Padang, 20 April 1990. Ia menulis di berbagai media massa seperti Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Haluan Riau, Majalah Sabili, Jurnal Bogor, Lampung Post, Suara Pembaruan, Tabloid Kampus Medika, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Jurnal Nasional, Indo Pos, Batam Pos, Lombok Post, Tanjung Pinang Pos, Riausastra.com, Magrib.id, Marewai.com, Rakyat Sultra, Rakyat Sumbar.id Katasumbar.com, Klikpositif.com, Kompas, Kompas.id (digital), Koran Tempo. Ia merupakan Penulis Emerging UWRF 2012 serta Penulis terpilih Kurasi Sibi Kemdikbud 2024 dengan judul buku “Jalan Tropis Puisi”.

 

 

Komentar