Kata orang, nyawa Martiani ada sembilan. Suatu ketika
dia pernah dilarikan ke rumah sakit. Orang-orang yang memiliki urusan dengannya
merasa senang. Doa mereka dikabulkan Tuhan. Berselang tiga hari, tepat pukul
sepuluh pagi, Martiani kembali muncul di tiap rumah untuk menagih cicilan.
“Wong elek matine pancen angel.” (Orang jahat susah meninggalnya)
“Asu-asu! Jebule eseh urip.” (Anjing! Ternyata masih hidup)
Andai Martiani mati, begitu bahagia hati orang-orang. Mereka tidak perlu kelabakan saat hari tagihan tiba, tidak perlu mendengar makian jika tidak bisa membayar, tidak juga harus kehilangan barang untuk membayar cicilan beserta bunga mencekik.
Orang-orang seperti dipermainkan. Mereka kaget kala mendengar ketukan pintu dan kembali dipertemukan dengan raut ketus Martiani. Mau tidak mau, mereka harus membayar sejumlah uang jika tidak ingin berakibat fatal, tentu sambil sambat menahan amarah.
Martiani sungguh tidak memiliki hati nurani. Tua-muda, dia tidak peduli. Tidak ada kata telat; besok, lusa, minggu depan. Jika waktunya tiba, uang harus diserahkan. Seribu alasan tidak akan mempan. Dua pengawalnya sudah siap hantam-menghantam bagi siapa pun yang susah diarahkan.
Pernah suatu waktu Martiani dituduh yang bukan-bukan dengan tujuan membuatnya minggat. Namun, dia tidak gentar, juga tidak peduli. Jika waktu menagih tiba, Martiani tetap akan datang, menyodorkan tangan tanpa melihat latar belakang seseorang yang dia mintai uang.
Hingga suatu masa, doa orang-orang terkabul. Mendengar Martiani mati, orang-orang laksana mendengar kicau burung pada pagi hari. Tidak sedikit dari mereka tersenyum pongah mendengar Martiani meninggalkan dunia.
“Doa orang terzolimi tembus langit ketujuh.” Begitulah kata seseorang yang tengah membicarakan kematian Martiani. Selain memiliki utang dan dendam, dia urung melayat dan tidak sudi membuat liang lahat.
***
Sebulan sudah selepas Martiani menghadap Tuhan, Yani
berinisiatif menggantikan peran sang ibu. Jika sedang tidak butuh biaya, dia
masih akan menunda. Sama seperti ibunya, Yani mendatangi rumah orang-orang
mulai pukul sepuluh pagi.
“Lah, aku pikir sudah lunas. Masih ditagih, toh?”
“Aku gak punya uang, Minggu depan saja ya, Yan.”
“Kamu seharusnya bersyukur, Yan. Kamu bisa sekolah gara-gara uang dari kami. Gara-gara ibumu, anakku jadi gak bisa sekolah. Uang yang seharusnya dipakai biaya pendaftaran, harus aku kasih ke ibumu.”
“Ikhlaskan saja, Yan. Syukur-syukur buat mengurangi siksa ibumu.”
Meskipun anak kandung, Yani tidak mewarisi kegalakan dan ketegasan Martiani. Dia tidak pandai bicara, apalagi tega menaikkan suara. Dari semua yang Yani tagih, hanya beberapa yang berkenan mencicil.
“Ibumu memang tegas dan seperti orang kesurupan kalau sedang menagih, tapi aslinya ibumu orang baik. Jika tanpa bantuan ibumu, mungkin anakku sudah meninggal.”
“Ibumu pernah cerita kalau dia terpaksa, Yan. Ibumu juga sebenarnya tidak tega. Ibu Halimah, dia memang paling susah ditagih, bahkan sebelum berutang ke ibumu. Pernah dengar cerita ibumu yang membawa masuk laki-laki ke rumahnya? Nah, itu aslinya ulah Ibu Halimah. Dia marah karena kalungnya diambil paksa ibumu,” papar Wati, melanjutkan ucapannya.
Yani hanya tersenyum mendengar ucapan Wati. Rupa-rupanya seorang lintah darat seperti Martiani juga bisa bertindak bagaikan ibu peri. Sungguh dari dahulu Yani sangat membenci ibunya, malu karena pekerjaan perempuan itu yang seorang rentenir.
Berkali-kali membujuk sang ibu agar bertaubat atau setidaknya menagih dengan manusiawi, Martiani tetap bebal. Alih-alih menasihati, Yani justru dinasihati. Kata Martiani, “Kalau bapakmu gak mati, mana mungkin Ibu jadi seperti ini. Kalau Ibu gak kerja, kamu mau makan apa? Gak mungkin kamu bisa sekolah, Yan.”
Yani paham alasan kenapa ibunya sedemikian rupa tabiatnya saat menagih utang. Perempuan itu pikir satu atau dua kali orang-orang yang belum memberikan kewajiban pada kali ketiga mereka akan membayar, tetapi ternyata, dia paham alasan kenapa ibunya kerap mengeluh sakit kepala.
Yani yang pernah merasa iba dengan orang-orang yang pernah dibuat sakit hati oleh Martiani, justru merasa kasihan dengan ibu sendiri. Nyatanya tindakan keji ibunya tidak sepenuhnya salah.
Tepat pada hari penagihan tiba, Yani kembali bersiap menggedor pintu rumah orang-orang yang tentu masih memiliki tanggungan. Selain menagih hak ibunya, Yani juga berniat membantu. Jika Martiani mendapat siksa kubur, dia bertugas memperingatkan para pengutang agar nasib mereka tidak seperti ibunya. Biar bagaimanapun, utang dibawa mati. (*)
Komentar
Posting Komentar