Cerpen: LEMBAR BARU

 

Kursi kayu tua di pojok kamar itu menjadi saksi bisu pergulatan batin Arman. Di hadapannya, laptop yang biasa menemani menulis kini lebih sering mati, terkubur debu yang semakin tebal. Sudah hampir tiga tahun sejak ia berhenti menulis. Pandemi COVID-19 menghantam keras industri buku, dan semua yang ia bangun selama bertahun-tahun hancur dalam sekejap.

Hari-harinya kini dihabiskan dengan rutinitas kosong. Sesekali ia mencoba kembali mengetik, tetapi jemarinya tak lagi selincah dulu. Kata-kata yang dulunya mengalir deras kini terasa berat, tersekat di pikirannya.

"Masih bisa nggak, ya?" gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

Pandemi telah berlalu, tetapi dunia tidak menunggunya. Ia merasa seperti orang asing di industri yang dulu menjadi rumahnya. Nama-nama baru bermunculan, dan para pembaca setianya tak lagi mengingat siapa Arman.

Dari dapur, suara Livia, kekasihnya, terdengar samar. Perempuan itu sibuk dengan panggilan teleponnya, tertawa kecil dengan nada yang membuat dada Arman sesak. Hubungan mereka berubah sejak pandemi. Livia kini lebih sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Arman tak bisa menghindari pikiran bahwa ia menjadi beban, bukan lagi pasangan yang setara.

"Kamu harus bangkit, Mas," kata Livia suatu malam. "Tapi kamu juga harus tahu, aku nggak bisa terus-terusan seperti ini. Aku butuh seseorang yang... ada."

Kalimat itu menusuk. Sejak saat itu, Livia semakin jarang di rumah. Arman tahu, ia mulai menjauh.

***

Suatu hari, setelah Livia pergi untuk "urusan kerja" yang tak pernah ia jelaskan, Arman memutuskan sesuatu. Ia berjalan ke rak bukunya, mencari sesuatu yang hilang. Tangannya berhenti di sebuah buku usang—novel pertamanya yang membuat namanya dikenal dulu. Ia membuka halaman pertama dan membaca dedikasi: Untuk mereka yang berani bermimpi, bahkan di tengah keraguan.

Arman menutup mata. Ia pernah percaya pada kalimat itu. Kenapa sekarang ia tidak?

Dengan dorongan kecil itu, ia membuka laptopnya kembali. Ia memulai dengan menulis satu paragraf. Lalu satu halaman. Tak ada yang istimewa dari tulisannya, tetapi ia terus menulis. Hari demi hari, ia berjuang melawan rasa takut dan frustrasi.

Ketika akhirnya ia selesai dengan draf pertama novelnya yang baru, ia mengirimkan naskah itu ke beberapa penerbit. Namun, jawabannya selalu sama: penolakan.

"Nama Anda tidak lagi relevan," kata salah satu editor.

Ia hampir menyerah, tetapi sesuatu di dalam dirinya menolak untuk berhenti. Dengan modal tabungan terakhir, ia memutuskan menerbitkan bukunya sendiri. Novel itu ia beri judul Lembar Baru.

Peluncuran buku itu sederhana, hanya diadakan di kafe kecil di sudut kota. Awalnya, hanya segelintir orang yang datang. Tapi satu demi satu, pembaca mulai merekomendasikan bukunya di media sosial. Ceritanya yang jujur tentang kehilangan, harapan, dan perjuangan menyentuh hati banyak orang.

Buku itu perlahan menjadi viral. Dalam waktu singkat, nama Arman kembali dikenal. Para penggemarnya yang dulu mulai kembali, dan yang baru mulai bermunculan dari berbagai kalangan usia.

Di tengah euforia kesuksesan itu, Arman menyadari sesuatu. Ia tak lagi menulis untuk keinginan dikenal. Ia menulis untuk dirinya sendiri—untuk menyembuhkan luka, untuk menemukan kembali makna hidup.

Livia tak pernah kembali, dan Arman tak menunggunya. Ia telah menemukan sesuatu yang lebih berarti: cinta untuk dirinya sendiri dan dunia yang ia bangun melalui kata-kata.

***

Kesuksesan "Lembar Baru" membawa Arman ke banyak tempat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia diundang ke berbagai acara, dari diskusi buku hingga wawancara di media. Di tengah kesibukan itu, Arman merasa ada kebahagiaan baru. Namun, di sudut hatinya, masih ada ruang kosong yang sulit ia isi.

Suatu hari, setelah sesi diskusi buku yang berlangsung di sebuah universitas, seorang wanita menghampirinya. Wanita itu mengenakan syal kuning dengan senyum ramah.

"Pak Arman, terima kasih sudah menulis buku ini," katanya. "Saya... pernah mengalami masa-masa sulit seperti yang Bapak tulis di novel ini. Rasanya seperti membaca kisah saya sendiri.”

Arman tertegun. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar komentar serupa, tetapi cara wanita itu mengatakannya terasa begitu tulus.

"Terima kasih sudah membaca," jawabnya singkat.

Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Ratih, seorang dosen sastra yang juga diam-diam menulis cerita pendek. Obrolan singkat mereka berlanjut menjadi diskusi panjang di kafe terdekat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arman merasa bisa berbicara dengan seseorang tanpa beban.

Dalam hati Ratih, ia menemukan sosok yang tidak hanya memahami perjuangannya, tetapi juga berbagi semangat yang sama untuk menulis. Mereka mulai sering bertukar pikiran tentang dunia literasi, berbagi cerita, bahkan saling mengkritisi tulisan masing-masing.

Namun, di tengah kedekatan mereka, bayang-bayang masa lalu Arman masih menghantuinya. Kenangan tentang Livia, tentang rasa bersalah karena merasa gagal mempertahankan hubungan itu, sesekali muncul dan membuatnya ragu.

"Apa kamu masih mencintainya?" tanya Ratih suatu hari, ketika mereka sedang membahas salah satu cerita pendek yang ditulis Arman.

Pertanyaan itu membuat Arman terdiam lama. "Aku... tidak tahu," jawabnya jujur. "Tapi aku tahu satu hal. Aku ingin terus berjalan ke depan."

Ratih tersenyum kecil. "Kalau begitu, tulislah tentang itu. Tentang berjalan ke depan, meski belum tahu arahnya."

***

Dorongan itu membawa Arman kembali ke meja kerjanya. Ia mulai menulis buku baru, sebuah novel tentang seseorang yang terjebak antara masa lalu dan masa depan. Dalam proses menulis itu, ia menyadari bahwa yang ia butuhkan bukanlah melupakan masa lalu, tetapi menerimanya sebagai bagian dari perjalanan hidupnya.

Novel itu, "Arah Baru", dirilis dua tahun kemudian. Seperti "Lembar Baru", buku ini juga diterima dengan hangat oleh pembaca. Namun, bagi Arman, yang terpenting bukanlah kesuksesan buku itu, melainkan perjalanan emosional yang ia lalui selama menulisnya.

Dalam perayaan peluncuran bukunya, Arman berdiri di depan para pembacanya. Di tengah keramaian, ia melihat Ratih duduk di barisan depan, memberikan tepuk tangan paling hangat.

Malam itu, setelah acara selesai, mereka duduk berdua di taman kota, menikmati keheningan yang nyaman.

"Kamu tahu, Ratih," kata Arman. "Kalau saja aku menyerah waktu itu, aku nggak akan pernah sampai di titik ini."

Ratih menatapnya, tersenyum. "Dan kalau saja kamu nggak berani memulai lagi, aku nggak akan pernah mengenalmu."

Arman tertawa kecil. "Mungkin memang begitu. Kadang kita cuma perlu berani mengambil satu langkah kecil, ya?"

"Kadang, satu langkah kecil itu yang mengubah segalanya," balas Ratih.

Di bawah langit malam yang cerah, Arman merasa, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia benar-benar berada di tempat yang tepat—dalam hidup, dalam karier, dan dalam cinta.

Di bawah langit malam yang cerah, di tengah taman kota yang indah, Arman memegang erat tangan Ratih, seakan tak ingin melepasnya lagi. Saat itulah, tak jauh dari hadapan mereka, dengan langkah yang mantap, seseorang mendekati mereka, Livia.

Arman melepaskan pegangan tangannya, lalu berdiri, berjalan dua langkah ke depan, menyongsong Livia. Pertanyaan Ratih beberapa hari lalu kembali terngiang, “Apa kamu masih mencintainya?”

Dan ia masih punya jawaban yanga sama atas pertanyaan itu, “Aku… tidak tahu.”

***


Komentar