Menuju Indonesia (C)emas, adalah frasa anekdotal yang sedang trending saat ini. Selain mengalami kemerosotan pada aspek pemerintahan, Indonesia juga membutuhkan pemenuhan dahaga atas rendahnya kualitas SDM. Namun, apakah problematika ini merupakan hal yang baru?
Nyatanya,
pada era kolonialisme Belanda sendiri Tan Malaka bahkan sudah menyinggung
perihal rendahnya kualitas SDM di Nusantara dalam bukunya yang berjudul Aksi
Massa: “Indonesia tak mempunyai faktor-faktor ekonomi, sosial ataupun
intelektual buat melepaskan diri dari perbudakan ekonomi dan politik di dalam
lingkungan imperialisme Belanda.”
Selain
itu, Tan Malaka menyadari bahwa implementasi kolonialisme Belanda lebih kuno
ketimbang Inggris dan Amerika. Karena Belanda, yang sejatinya tidak memiliki
kesempatan untuk menginvestasikan kekayaan pada bahan-bahan industri di
negerinya sendiri, sejak dahulu cuma mengusahakan aspek pertanian dan
perdagangan belaka di Nusantara tanpa peduli untuk mengembangkan kualitas
sumber daya manusia sebagai tenaga pengolahnya.
Selain
itu, dalam aspek agama terutama Islam, akibat dari kolonialisme ini pun
mendorong ulama pada era tersebut untuk lebih vokal dalam mendakwahkan HAM
serta kemerdekaan negara belaka. Melupakan bahwa masih ada langkah-langkah
lanjutan yang diperlukan untuk mengelola sebuah negara yang makmur.
Selain
itu, dampak kolonialisme ini juga masih berlanjut hingga sekarang,
mengakibatkan restriksi sosial dalam penggunaan “Bahasa Ibu” sebab Indonesia
terlanjur mengikuti ketetapan huruf Latin. Sebagai contoh, pada bahasa daerah
Sunda terdapat tiga variasi pengucapan huruf E, yakni É (téléng), E (pepet),
dan EU (teuleung)—dan beberapa huruf lain yang eksis hanya pada beberapa suku
di Nusantara. Yang mana sejatinya bertolak belakang dengan ketetapan huruf
Latin, memaksa Indonesia untuk tidak memasukkannya ke daftar huruf abjad yang
selama ini kita terapkan.
Padahal,
normalisasi penggunaan Bahasa Ibu pada jenjang pendidikan dasar ternyata
dinilai berdampak baik bagi anak-anak dengan membangun rasa aman serta
kepercayaan diri untuk menuntut ilmu sambil tetap mengenakan identitas asli
mereka.
Maka
dapat disimpulkan bahwa ternyata pemberdayaan kualitas SDM kita memang telah merangkak
bahkan sejak Indonesia belum lahir. Jadi, kini bukankah merupakan tanggung
jawab kita sebagai penerus bangsa untuk membuat kualitas SDM mampu berdiri
dan berjalan; mengubah sejarah?
Lampung,
5 Maret 2025
Sumber
Rujukan
- Malaka,
Tan. (1926). Aksi Massa. Yogyakarta: Penerbit Kakatua
- Rosyid,
AS. 2025. “Kamu Tahu Nggak, Ada Tiga Penyebab Umat Islam Terlambat Masuk dalam
Perdebatan dan Aksi Lingkungan Hidup?”. Diakses pada 5 Maret 2025.
- Manurung,
Butet. 2025. “Mengenali Keunikan Fonetis dan Kedaulatan Bahasa Ibu”. Diakses
pada 5 Maret 2025.
Komentar
Posting Komentar