Cerpen: HIKAYAT NENGKA LIMO

Dahulu kala, di kampung yang bernama Sulit Air, tersebutlah sebuah cerita tentang seorang pemuda tampan yang bijaksana. Nama pemuda itu adalah Nengka Limo. Ia tinggal di rumah sederhana beratapkan daun rumbia. Keseharian Nengka Limo adalah menolong sang ibu membuat anyaman rotan, berkebun, memancing ikan, atau memasuki hutan untuk mencari kayu bakar.

Semenjak sang ayah meninggal, Nengka Limo menjadi tulang punggung keluarga, dan bertanggung jawab merawat sang ibu yang beranjak tua.

Bermukim di daerah perbukitan, lembah, dan sawah terbentang, Nengka Limo tumbuh sebagai pemuda yang cinta dan dekat dengan alam. Setiap memancing di Batang Katialo, Nengka Limo senantiasa memandang Gunung Papan yang berwarna merah dan putih. Tak jarang pula, Nengka Limo terngiang-ngiang rentetan cerita dari sang ayah yang benama Barajo Bangkik. Terlebih kala ia melihat batu-batu di sungai, yang serta merta membuat ingatan Nengka Limo berlari ke peristiwa masa silam.

“Kampung ini dulunya ditempati sepasang suami istri yang bernama Datuk Mulo Nan Kawi dan Puti Anggo Ati. Nama kampung ini bermula dari sulitnya air yang keluar dari sela batu-batu. Maka dinamakanlah kampung ini Sulit Air.” Pungkas sang ayah yang dikenal sebagai seorang pemahat kayu itu.  

Penduduk yang bermukim di sekitar rumah Nengka Limo tidaklah banyak. Namun generasi kala itu adalah generasi pekerja keras, dan patuh terhadap orang tua. Puncak Batu Galeh yang dikenal sekarang, adalah pelajaran berharga yang menghunjam ke dalam hati sanubari untuk meniti lika-liku kehidupan.

“Kau lihat puncak itu? Namanya Puncak Batu Galeh. Janganlah kau jadi anak durhaka terhadap ibu. Batu itu adalah bukti bahwa seorang pemuda melupakan ibunya setelah ia kaya raya. Pemuda itu tak menganggap ibunya lagi. Maka ibu mana hatinya tak hancur melihat kedurhakaan anak seperti itu?”

Begitulah sang ibu menceritakan kepada Nengka Limo terkait keberadaan Puncak Batu Galeh. Bentuk batunya yang seperti lipatan kain dan jantung manusia, membuat Nengka Limo kecil bergidik, dan begitu takut untuk durhaka terhadap ibunya.    

Suatu hari, Nengka Limo hendak mencari kayu bakar di hutan. Sebab kayu bakar di dapur hampir habis, dan ibunya hendak memasak samba itam galundi yang begitu enak menggugah selera.

Sebelum berangkat, sang ibu sempat menitipkan makanan untuk diberikan kepada tetangga. “Berikanlah makanan ini kepada tetangga kita, Anakku. Supaya hidup kita senantiasa diberkahi Tuhan karena berbagi terhadap sesama.” Ujar sang ibu dengan suara yang lemah.

“Baik, Ibu. Aku dengan senang hati memberikan makanan ini.” Jawab Nengka Limo yang memakai baju yang ditambal pada bagian punggungnya itu. Sebuah kopiah hitam lusuh peninggalan sang ayah tak lupa dipakai oleh Nengka Limo. Di depan cermin, betapa gagahnya Nengka Limo memakai kopiah itu.

Setiap Nengka Limo hendak ke hutan, sang ibu selalu berkata. “Selalulah mengingat kebaikan, selalulah berbuat kebaikan kepada setiap makhluk, niscaya di kemudian hari, kau menjadi orang sukses berkat tanaman bumi. Kalau tidak di tanah ini, maka kau mungkin mendapatkan sukses itu di tanah lain.”

Nengka Limo tak pernah bertanya tentang maksud ibunya itu. Yang jelas setiap ke hutan, Nengka Limo selalu mengingat kebaikan, dan selalu berusaha berbuat kebaikan. Apabila melihat orang yang butuh bantuan, maka ia dengan senang hati untuk membantu. Bahkan jika ada hewan yang kehausan atau terjepit pun, ia tak tinggal diam membiarkan hewan itu dalam penderitaan.

Yang paling sering diingat Nengka Limo, tentu sebuah catatan yang ditemukan di bawah ranjang setelah sang ayah meninggal dunia.

Hutan yang lebat dan dipenuhi hewan buas, ibarat tanah yang dibiarkan. Tanah yang dibiarkan, ibarat anak manusia yang tak diajari kebaikan.

Selain catatan itu, ada kisah ayah dan ibunya saat ia masih dalam kandungan dulu. Pada suatu malam, datanglah lelaki tua meminta makanan. Meskipun saat itu belum makan, tapi sang ayah sangat memuliakan lelaki tua itu. Makan malam yang harusnya akan disantap berdua sang ibu, maka dengan senang hati diberikan kepada lelaki tua yang kelaparan itu.

“Tapi lelaki tua itu memberikan sesuatu sebelum ia pergi, sebuah ruduih atau golok yang biasa digunakan untuk berburu dan berkebun. Selain itu, ada bibit pohon galundi yang ditanam ayahmu. Pohon itu tumbuh ranum, dan telah banyak orang kampung merasakan khasiat dari pohon itu.” Begitulah sang ibu menerangkan kepada Nengka Limo perihal pohon galundi yang tumbuh di kebun belakang rumah.

Nengka Limo tentu punya cerita tersendiri perihal pohon galundi yang daunnya mengandung minyak atsiri itu. Di bawah pohon galundi itu, ia pernah menemukan seekor burung yang berbulu indah dan bersuara merdu. Burung itu sangatlah jinak dan penurut. Sehingga ia pun heran sekaligus takjub dengan keindahan burung itu. Ada yang mengatakan kala itu, bahwa konon burung itu berasal dari sebuah hutan di kaki Gunung Talang. Ada juga yang mengatakan bahwa burung itu berasal dari sebuah bukit yang kemudian dikenal sebagai Puncak Gagoan yang indah dan begitu menakjubkan.

Dan tepat tujuh hari semenjak kedatangan burung yang dibiarkan bersarang di pohon galundi itu, kenyataan pun harus diterima Nengka Limo. Sang ibu meninggal dunia setelah memberikan sedekah kepada seorang tetangga. Sang ibu terbujur kaku di ranjang dengan senyuman yang begitu sejuk dipandang.

Nengka Limo tentu sangat sedih ditinggal oleh sang ibu. Tapi ia telah bertekad, bahwa akan memegang teguh nasihat sang ibu agar senantiasa berbuat kebaikan. Tepat tiga hari setelah kematian sang ibu, ia pun melihat burung itu terbang tinggi menuju arah yang amat rahasia.

            Di bawah pohon galundi, Nengka Limo terus menatap burung yang seolah berpamitan padanya itu. Nengka Limo membatin, apakah burung itu terbang menuju sebuah hutan? Entahlah. Yang jelas, semenjak burung itu ditemukan, ia memang memilih tak menangkap dan meletakkan burung itu ke dalam sangkar. Hanyalah pada malam harinya ia bermimpi, bahwa burung itu bertengger di pohon pinang yang tumbuh tak jauh dari sebuah masjid.

***

Dan begitulah. Petualangan baru itu pun dimulai. Meski sebatang kara, Nengka Limo tak merasa sendiri dan kesepian. Nengka Limo pun tetap senantiasa ke hutan dan beraktivitas seperti saat sang ibu masih ada.

Sempat terpikir oleh Nengka Limo untuk mengembara dan meninggalkan kampung sebagaimana orang kampung lainnya yang pergi merantau. Tapi rencana itu urung dilaksanakan, lantaran ia masih ingin bersama orang kampung dalam akar tradisi seperti memahat kayu, berladang dan berkebun.

Namun pada suatu hari, terjadilah kejadian yang luar biasa. Kemarau panjang melanda kampung dan membuat Batang Katialo mengering, pohon-pohon meranggas. Tapi yang anehnya, pohon galundi di belakang rumah Nengka Limo, masih hijau dan subur.

Dalam keadaan kekeringan itu, Nengka Limo masih tetap ke hutan dan tekadnya tidaklah memudar untuk menjemput kesuksesan seperti yang pernah dikatakan sang ibu. Pagi itu, ia ke hutan dengan berpakaian serba putih, dan tak lupa membawa ruduih yang diikatkan ke pinggangnya itu.      

Nengka Limo menyusuri hutan yang biasa dimasuki para pemburu. Tapi apa yang ia lihat di kedalaman hutan saat itu, sungguh membuatnya terkejut sekaligus takjub. Setelah melangkah di sebuah kelokan, ia melihat seorang penggembala bertongkat dengan lima lentera di ujung tongkat, serta lima ekor sapi yang diikat pada bagian mulutnya itu. Tak sampai di situ, ternyata gerimis tipis pun menyirami penggembala dan lima ekor sapi itu. Antara sadar dan bermimpi, pemandangan itu membuat Nengka Limo pingsan dan terkapar di tanah.

Malam harinya, Nengka Limo bermimpi. Ia mendengar suara tanpa rupa yang hanya seberkas cahaya. “Di kampungmu telah mulai banyak penduduk yang kikir. Untuk itu, perbanyaklah saling memberi. Yang kaya memberi yang miskin. Apabila itu dilakukan, niscaya hujan akan segera turun dan menyuburkan tanaman.”

Mimpi itu sangat membekas dalam ingatan Nengka Limo. Pagi harinya, ia memberi tahu penduduk kampung perihal mimpi itu di sebuah balairung panjang. Penduduk yang mendengar penjelasan tentang mimpi itu, serta merta bagai tersadar dan segera melakukan apa yang mereka dengar di tanah lapang yang berdebu itu.

“Ayo, segeralah kita saling berbagi kepada sesama. Jangan tunda lagi berbuat kebaikan. Apa kita tak ingin hujan segera turun menyirami kampung ini?”

Suara yang menggema dari Nengka Limo itu, telah membuat orang-orang sibuk dengan rencana-rencana kebaikan. Orang-orang miskin dan fakir, seketika mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari orang-orang kaya. Penduduk saling berkunjung dan memberi nasihat kebaikan hingga tercipta suasana yang damai dan tentram.

Pada sore harinya, maka mulailah langit mendung yang disambut dengan luapan kegembiraan yang luar biasa dari penduduk. Tak lama kemudian, hujan pun turun dengan lebatnya. Penduduk mengadakan makan bajamba dengan penuh kebersamaan demi menyambut hujan itu.

Di balik kegembiraan menyambut hujan lebat itu, ternyata ada suatu ujian yang menimpa Nengka Limo. Badannya diserang demam selama beberapa hari. Berita tentang dirinya jatuh sakit itu, serta merta tersebar ke seantaro kampung.

Maka malam itu, tibalah seorang tabib dan seorang tua yang bertugas sebagai penghulu untuk menjenguk dan mengobati Nengka Limo. Baru saja meminum ramuan khusus, Nengka Limo seketika kembali pulih dari demam panas itu.

Pada malam itu juga, Nengka Limo kembali bermimpi dan melihat seberkas cahaya. Suara tanpa rupa menyuruhnya pergi ke suatu tempat, mengikuti arah burung yang terbang dari pohon galundi di belakang rumahnya itu.

“Segeralah Engkau ke sana. Niscaya Engkau akan mendapatkan keberuntungan yang besar.”

Pagi harinya, Nengka Limo berangkat menuju tempat yang amat rahasia itu. Tak lupa sebelum pergi, Nengka Limo mendaki Gunung Papan dan berdoa penuh khusyuk. Ketika melihat pemandangan yang menakjubkan, Nengka Limo berharap kelak kampungnya mekar bagai mekar putik jambu. Generasi penerus tak melupakan Puncak Batu Galeh yang merupakan pelajaran berharga agar berbakti kepada kedua orang tua.

Meski berat hati, tapi untuk membuktikan mimpinya itu, Nengka Limo harus meninggalkan kampung kelahiran beserta pohon galundi yang penuh berkah itu. 

***

Setelah menjauhi kampung dan melintasi pinggiran Danau Singkarak, tibalah Nengka Limo di sebuah tanah lapang tak jauh dari kaki gunung. Dalam keadaan yang letih itu, tiba-tiba saja ia melihat sebuah permadani yang dipenuhi bibit pohon teh.

Begitu Nengka Limo menghampiri permadani itu, ia mendengar bibit pohon itu berbicara padanya. “Tanamlah bibit-bibit ini, wahai Anak Muda. Setelah itu, beribadahlah dengan tekun di sebuah masjid, dan belajar dengan seorang tua di masjid itu. Niscaya Engkau akan mendapatkan keberuntungan yang besar.”

Nengka Limo segera menuruti perintah suara itu. Meski belum bertemu seorang tua itu, namun Nengka Limo fokus dulu menanam bibit-bibit pohon teh di tanah subur dengan perasaan yang kaget bercampur takjub.

Setelah bertanam, Nengka Limo terus melangkah untuk menyusuri daerah yang baru ia pijak itu. Udara dingin begitu sejuk. Dari kejauhan, ia bisa melihat sebuah gunung yang terpancang begitu kokoh di kedalaman bumi yang dikenal dengan Gunung Talang.

Bak kejatuhan durian runtuh, kini Nengka Limo dipertemukan dengan sebuah bangunan masjid beratapkan ijuk yang berdiri kokoh di dekat sebuah sungai. Apakah ini yang dimaksud oleh bibit pohon teh ajaib itu? Batin Nengka Limo yang takjub dengan rahasia-rahasia hidup yang perlahan dikuaknya itu. 

   Di masjid yang terdiri dari 27 tiang dan 13 jendela itu, Nengka Limo akhirnya belajar agama dengan seorang tua yang arif bijaksana. Nengka Limo terlihat begitu haus dengan ilmu agama, dan bertekad akan selalu memakmurkan masjid yang pada kemudian hari dikenal sebagai Masjid Tuo Kayu Jao. 

Sementara itu. Saat sibuk belajar agama, keajaiban pun terjadi pada bibit pohon teh yang ditanam Nengka Limo. Hanya berselang empat bulan sejak masa tanam, Nengka Limo menyaksikan pemandangan yang menakjubkan. Semua bibit pohon teh telah besar dan dipenuhi daun teh yang ranum dan baik untuk dipanen. Dalam waktu singkat, kekayaan pun diraih Nengka Limo dari kebun teh yang ajaib itu. Orang-orang mengenal Nengka Limo sebagai petani yang sukses, alim dan dermawan.

Nengka Limo menyadari maksud kesuksesan yang dikatakan sang ibu, telah terbukti dengan dipertemukan ia dengan seekor burung berbulu indah, bibit pohon teh yang ajaib, dan seorang tua bijaksana di sebuah masjid yang penuh sejarah.

Nengka Limo pun akhirnya berjodoh dengan perempuan yang cantik jelita yang bernama Siti Jariah. Dari pernikahan itu, Nengka Limo memiliki keturunan yang banyak tersebar. Keturunan Nengka Limo tentu saja begitu taat memakmurkan Masjid Tuo Kayu Jao. Selain itu, mereka juga tak melupakan kampung leluhur Sulit Air yang bertahun kemudian identik dengan Gunung Papan Merah Putih, Puncak Batu Galeh, serta Janjang Saribu dengan pemandangan indah dan menakjubkan. (*)   


*) Budi Saputra. Lahir pada 20 April 1990. Sejak tahun 2008 ia menulis di berbagai media massa seperti Padang Ekspres, Lampung Post, Suara Merdeka, Batam Pos, Lombok Post, Rakyat Sultra, Kompas, Koran Tempo. Ia merupakan Penulis Emerging UWRF 2012, serta Penulis Kurasi Sibi Kemdikbud 2024 dengan judul buku “Jalan Tropis Puisi”. No HP: 085376744476 

Komentar