“Bu Ita! Bu Ita!” Aini berteriak memanggil Bu Ita. Nafas Aini
tersengal-sengal kecapaian setelah berlari-lari ke rumah Bu Ita.
“Apa Aini? Apa yang telah terjadi?” tanya Bu Ita cemas.
“TBM kita mau digusur, Bu” jawab Aini.
“Apa? Mau di gusur? Kenapa dan siapa yang mau menggusur TBM kita?” tanya Bu
Ita terkejut dan penasaran.
“Bapak Dewan, Bu. Katanya masyarakat tidak butuh TBM. Beliau mau buka
studio dan karaoke di situ. Katanya itu tanah warisan ayahnya dan sekarang
sudah menjadi miliknya. Tadi beliau singgah sebentar ke TBM,” terang Aini.
Bu Ita sangat terkejut mendengar penjelasan aini.
“Tanah dan rumah itu telah diwakafkan oleh Pak Haji Ismail pada
masyarakat. Semua orang tahu itu, kita bisa tuntut dia. Main gusur sebarangan,”
ucap Bu Ita marah. Kemudian dengan nada suara lemah Bu Ita menyambung
ucapannya. “Ibu menyesal Aini, tidak
meminta dibuatkan surat keterangan wakaf sebelum Tuan Haji Ismail meninggal
dunia. Kita diposisi lemah tanpa surat tersebut.” tambah Bu Ita penuh
sesal.
Bu Ita dan Aini duduk termangu mengenangkan nasib TBM yang telah lama
mereka perjuangkan. Mata Bu Ita mulai terasa panas dan pelahan-lahan
manik-manik bening turun membasahi pipinya. Begitu juga Aini. Mereka marah atas
apa yang terjadi dan sedih mengenangkan betapa kecewanya anak-anak tidak bisa
lagi membaca buku di TBM. Apakah mereka harus pasrah atau melawan mendapatkan
hak mereka?
“Tidak Aini, kita tidak boleh pasrah. Kita harus lawan. Kita akan
berjuang membela hak anak-anak kita. Hak masyarakat,” ujar Bu ita bersemangat.
Bu Ita selaku ketua TBM dan Aini sebagai sekretaris adalah ujung tombak eksistensi
TBM selama ini.
“Tapi bagaimana caranya, Bu?” tanya Aini.
“Ikut Ibu, kita ke rumah Pak Kautsar,” jawab Bu Ita, lalu bergegas
mengendarai motornya ke rumah Pak Kautsar yang merupakan ketua RW dan juga
pendukung kegiatan TBM selama ini.
Mereka
menceritakan peristiwa yang terjadi pada Pak Kautsar.
“Kurang ajar si Bojo itu. Baru jadi anggota dewan udah berlagu. Belum
tahu dia langit tinggi rendah,” ucap Pak Kautsar marah sekali. “Bu Ita, waktu Tuan
Haji Ismail mewakafkan tanah itu siapa saja yang menjadi saksi?” tanya Pak Kautsar.
“Selain saya, ada Bu Maya, Pak Sentot, Pak Joyo dan Pak Nasrul, tapi
sayangnya mereka semua udah meninggal dunia, Pak,” jawab Bu Ita sedih.
“Aduh bagaimana ini, udah surat tidak punya, saksi sudah tiada pula,”
ujar Pak Kautsar kecewa.
“Pak
Kautsar, Bu Ita, bagaimana kalau kita ke rumah Pak Bojo untuk membujuk beliau memberikan
tanah dan rumah untuk TBM kita?” usul Aini.
Pak Kautsar dan Bu Ita menyetujui saran Aini. Lalu mereka menuju ke rumah
Pak Bojo.
“Apa kabar Pak kautsar dan Bu Ita? Apa yang bisa saya bantu?” Pak Bojo
menyambut mereka di teras rumah.
“Begini Pak, saya dan Bu Ita selaku pengelola TBM Telaga Ilmu memohon
kebaikan hati Bapak agar mengizinkan rumah yang telah di wakafkan oleh ayah Bapak
sebagai sarana TBM kampung kita,” ucap Pak Kautsar hati-hati.
“Wakaf?
Sejak kapan ayah saya mewakafkan? Mana suratnya? Jangan pandai-pandai mengarang
cerita, ya?” ujar Pak Bojo marah.
“Saya saksinya, Pak,” Bu Ita menjawab.
“Ibu sendiri? Saksi yang lain ada?”
“Ada Pak, tapi mereka sudah meninggal. Pak joyo, Pak Sentot, Pak Nasrul
dan Bu Maya.”
“Ibu hanya membual, suratnya juga tidak ada. Ibu tidak punya bukti yang
kuat. Setelah ayah dan ibu saya meninggal dunia, saya adalah ahli waris
satu-satunya. Rumah itu milik saya,” tegas Pak Bojo. “Saya berencana menjadikan
rumah itu studio musik dan karaoke. Posisinya sangat strategis untuk bisnis
saya.” Tambah pak Bojo sambil tertawa.
“Kasihani anak-anak, Pak. Banyak anak-anak yang suka membaca di sana.
Kegiatan literasi dan pembinaan masyarakat juga sering dilakukan,” mohon Bu Ita.
“Masyarakat sekarang tidak butuh buku, mereka butuh hiburan,” balas Pak Bojo
tertawa terbahak-bahak.
Pak Kautsar, Bu Ita dan Aini sangat kesal dengan sikap Pak Bojo.
“Hei Bojo, jangan mentang-mentang kau udah jadi anggota dewan kau boleh
sombong seperti itu. Ingat, ada langit di atas langit. Pemilu tahun depan kau
tak akan dapat kursi kalau kau seperti ini!” teriak Pak Kautsar marah.
“Masyarakat tidak butuh ilmu, mereka hanya butuh duit, Kautsar!” teriak Pak
Bojo membalas. “Kautsar, selagi masyarakat masih bodoh, mereka akan mudah
diatur lewat perutnya, ha…ha… ha…”
“Masyarakat tak selamanya bisa kau bodohi Bojo!” jawab Pak Kautsar. “Ayo
kita pergi!” ucap Pak Kautsar mengajak Bu Ita dan Aini segera pergi. Sebenarnya
sejak zaman sekolahan Pak Kautsar sudah bermusuhan dengan Pak Bojo, teman sekelasnya.
Pak Bojo yang terkenal nakal, licik dan selalu curang. Sedangkan Pak Kautsar
adalah ketua Osis yang selalu melaporkan kecurangan Pak Bojo kepada pihak
sekolah.
Mereka bergerak menuju TBM Telaga ilmu, di mana anak-anak dan relawan
sedang asyik membaca dan berkegiatan.
Semua mata melihat kedatangan Bu Ita dan Aini dengan penuh keheranan. Wajah
Bu Ita dan Aini tidak seperti biasanya. Lalu mengalirlah cerita Bu Ita tentang nasib
TBM sebentar lagi.
“Jika digusur, di mana lagi kami akan bermain dan membaca buku, Bu?” ucap
Nabila. Yang lain juga terlihat sedih.
Pak Kautsar maju ke tengah. Mencoba menenangkan suasana. “Kita tidak akan
menyerah, jika Pak Bojo mau mengambil alih tempat ini, kita akan bangun TBM di
tempat lain.”
“Tapi mau bangun di mana, Pak? Lahan tidak ada, kalaupun ada, dari mana
biayanya?”
Pak Kautsar tersenyum. Sepertinya dia sudah punya Solusi.
“Bu Ita, bagaimana jika kita bangun gazebo saja? Biayanya tidak mahal, hanya
sekitar 7 jutaan. Selain itu, mudah dipindah-pindahkan. Kita dirikan di dekat
lapangan di depan kantor lurah. Di situ udah ada taman-tamannya. Anak-anak
tentu sangat nyaman sekali membaca disitu.”
“Tapi Pak, biayanya?” tanya Bu Ita lagi.
“Tenang Bu Ita, kita akan minta sumbangan dari warga, pasti ada donatur
yang bersedia menolong. Membangunnya, kita kerahkan para warga juga. Untuk
kebaikan, pasti ramai yang membantu.”
Wajah-wajah itu kini mulai tersenyum. Wajah anak-anak, para relawan, juga
Bu Ita dan Aini. Usul Pak Kautsar sangat masuk akal.
“Baiklah, mulai dari sekarang kita akan bagi-bagi tugas. Ada yang
menyiapkan proposal dan merinci anggaran, kita akan jalankan proposal penggalangan
dana bersama-sama. Mulai besok, kita akan pindahkan buku-buku dan peralatan
kita buat sementara ke kantor Lurah,” ucap Pak Kautsar semangat. Masing-msing
relawan mengangkat tangan bersedia bergerak sesuai tugas mereka
masing-masing.
Tim pejuang TBM Telaga Ilmu
terus bergerak. Setelah dua bulan pencarian dana, bulan ketiga mereka
mengadakan gotong-royong membangun gazebo dengan bantuan masyarakat. Tak butuh
waktu lama, tiga hari kemudian telah berdiri gagah sebuah gazebo di dekat
lapangan depan kantor lurah. Seminggu kemudian, TBM Telaga Ilmu pun diresmikan
oleh pak lurah.
“Akhirnya kita berhasil. Kita akan merangkai mimpi kita bersama gazebo
impian, gazebo TBM Telaga Ilmu, “ ucap Bu Ita tersenyum bangga. (*)
Komentar
Posting Komentar