Jelang magrib, ayah masih belum juga pulang. Jika ayah pulang agak malam seperti ini, bisa dipastikan ia mampir ke Pasar Sore, membeli oleh-oleh buatku. Saat-saat seperti ini, dadaku berdebar-debar, duduk di dekat pintu, menunggu kedatangan ayah beserta oleh-olehnya.
Tak berapa lama, kudengar bunyi motor ayah di halaman. Lalu berganti suara langkah sepatu menuju pintu. Benar, engkol diputar lalu daun pintu dibuka.
“Ayaaaaah!” aku berlari memeluk ayah yang kelelahan.
Dia hanya tersenyum kecil, kulihat tangannya, tak menjinjing oleh-oleh. Kubiarkan ia bergegas ke sofa, menurunkan tas dari punggungnya. Pasti oleh-olehnya ada dalam tasnya. Benar, ia kemudian membuka tas, tapi hanya mengeluarkan jaket, lalu digulung sebagai bantal, dan ia segera rebah di sofa. Tak seperti biasanya ayah langsung istirahat di sofa, dalam keadaan masih berseragam seperti itu.
“Ayah kok pulang agak malam?”
“Di kantor banyak tugas.”
“O, Aku kira mampir ke pasar Sore, beli oleh-oleh.”
Ayah menatapku dengan kedua mata yang keheranan, aku juga agak heran, kenapa cara ayah menatap—seperti baru pertama kali menatapku.
“Ayah!”
“Oh iya, hehe,” ayah tersenyum. Sejenak keadaan senyap.
“Jika kamu ingin kue, ambil saja di lemari itu, di rak nomor dua dari atas.”
“Ah! Jangan bercanda, Yah!"
“Serius. Aku tak bercanda.”
Aku langsung beranjak ke lemari yang ditunjuk ayah, jaraknya hanya delapan langkah dari sofa. Aku membuka rak yang dimaksud ayah, mengacak-acak isi di dalamnya. Tapi tak ada kue apa-apa.
“Ayah ngerjain aku ya? kuenya tidak ada.”
“Hahaha.” Ayah hanya tertawa. Beberapa saat sebelum hendak menutup kembali pintu lemari, bagian sisi jari telunjukku meyentuh lipatan kertas. Aku penasaran pada lipatan kertas itu. Kuambil dan kubaca.
“Risa! Maafkan ayah ya! Semoga kamu sehat dan sukses selalu. Ayah tidak akan pulang lagi ke rumah ini. Ayah tidak kuat dengan sikap ibumu.”
“Yah! Kenapa ayah harus menulis pesan seperti ini. Jangan keterlaluan kalau mau bercanda, Yah!” kutunjukkan kertas itu kepada ayah. Ayah menerimanya dengan dahi mengernyit. Ia mengeja tulisan itu dengan raut wajah yang tegang. Menunjukkan rasa bingung.
“Jangan sok bingung, Yah. Itu kan memang tulisan ayah.”
Ayah tak menjawab. Ia hanya menatapku. Masih dengan raut penuh cemas. Seolah ia tak sadar pada apa yang telah ia tulis. Ia kembali menatap kertas itu, lalu alih lagi menatapku. Masih dengan wajah yang kebingungan.
“Ayo jawab, Yah!”
Ayah tetap diam. Kesenyapan lalu dibelah bunyi HPku dalam saku. Om Afif, teman kantor ayah memanggil. Segera aku menjawabnya.
“Halo!”
“Halo. Ini benar Nak Risa?”
“Iya, Om. Saya Risa.”
“Aku mau mengabarkan, ini ayahmu tidak bisa pulang karena terjatuh dari tangga. Tapi kamu harus tetap tenang, karena ayahmu sudah membaik. Tapi masih tidak diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit.”
Duar! Aku sangat terkejut. Lalu menolah ke arah sofa. Sudah tidak ada siapa-siapa. Tinggal selembar kertas yang kutemukan di rak lemari tadi. (*)
*) A.Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel memenangkan beberapa sayembara dan dimuat di berbagai media, antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah FEMINA, dll. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra. Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020), “Bertetangga Bulan” (Hyang Pustaka, 2022). Sedangkan buku puisinya yang berjudul “Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura dan berkesenian di Sanggar 7 Kejora, juga di Komunitas Damar Korong.
Komentar
Posting Komentar