Oleh: Hayat Mardhotillah
Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, stasiun
yang sibuk, padat dengan mobilitas tiada henti. Inilah kali pertama
pertualanganku melalui rute baru untuk kembali ke Sumatera Barat, tepatnya ke
kota Payakumbuh setelah selesai mengantarkan putra pertamaku mondok di Pondok
IT Al-Madinah, Yogyakarta. 38 jam lebih terlewati dan akan melewati 38 jam
berikutnya untuk kembali pulang melewati rute baru. Pertualangan yang seru di Kota
Yogya, pikirku. Lelah, tapi untuk
kebaikan dan masa depan sang buah hati, aku siap berkorban.
“Di sini aja ya, Bu, maaf nggak bisa ngantar
ke dalam. Nggak bisa parkir di sini,” ucap Mas Wisnu, sang sopir taksi online.
“Gak apa-apa, Mas, makasih banyak,”
balasku. Syukur sopirnya baik dan ramah. Bagi orang yang pertama ke Yogya, itu
sangat membantu.
Bagi aku yang gaptek, sistem online bikin
ribet. Tapi aku harus belajar, arus perubahan zaman harus diikuti. Mau atau
tidak mau. Barang bawaanku yang banyak dan berat, membuatku mencari tempat
penitipan barang. Sambil melihat-lihat kondisi, aku terpaksa mengangkat 4
tentengan yang berat. Melihat barang bawaanku, banyak tukang angkut yang
menawarkan jasanya. Tapi danaku sudah semakin menipis. Terpaksa angkat sendiri.
Aku berhenti di ruang tunggu yang berdekatan dengan mesin check in.
Dengan bantuan petugas kereta, aku dapat boarding pass kereta. Aku tidak
melihat tempat penitipan barang, bingung untuk mengejar waktu magrib yang
semakin habis. Setelah check in, aku melihat ada seorang gadis berserta
orang tuanya.
“Maaf Mbak, berangkat jam berapa?”
“Jam 10, Bu,” jawabnya dengan logat jawa
yang super medok.
“Bisa nitip barang sebentar nggak, saya
mau pergi salat. Sebentar saja.”
“Sebentar ya, Bu,” jawabnya. Dia pun
menanyakan kepada orang tuanya agar diberi izin menjaga barang bawaanku
sebentar.
“Nggak apa-apa,” jawab ayah gadis
tersebut.
“Alhamdulillah, makasih banyak. Insyaallah,
saya akan cepat kembali. Kereta saya jam 9.“ ujarku sambil secepatnya pergi
mencari musala. Syukur alhamdulillah,
masih banyak orang baik di kota ini. Bisikku dalam hati.
Pada petugas kereta aku menanyakan tempat salat.
“Ruangan salat di ujung sana, Bu. Kalau
mau lewat sini harus check in bording pass dulu,” jawab petugas kereta.
“Baik Pak, terima kasih.”
Akhirnya, setelah berjalan hampir 400 m,
musala itu kutemukan. Aduh, jauh amat musalanya. Aku bergegas kembali setelah salat,
magrib dan isya aku jamak qasar. Kembali aku melewati petugas kereta di bagian
cek boarding pass.
“Bu, nggak bisa lewat sini. Ibu harus
putar keluar,” ujar petugas kereta.
“Maaf, saya udah izin tadi sama Bapak
untuk lewat sini. saya udah check in boarding pass kereta,” balasku.
“Nggak bisa, Bu. Ini untuk orang check
in saja, Ibu harus putar keluar.”
“Aduh,
Pak, kejauhan. Itu barang bawaan saya, hanya belasan langkah dari sini. Mohon Pak.”
rayuku.
“Nggak bisa, Bu. Ibu harus keluar dari ujung
sana dan masuk ke pintu gerbang stasiun,” seorang petugas kereta yang lain
datang
“Jauh amat, Pak. Kaki saya juga sakit. Tolonglah,
Pak. Saya baru di sini,” mohonku
“Maaf, Bu, nggak bisa. Nanti ketahuan sama
Kepala Stasiun. Di sini ada CCTV,” tegas petugas pertama. Melihat keributan
kecil itu, dua orang petugas lagi menghampiri. Empat petugas kini berdiri di
hadapanku.
Aku jadi bingung. Kalau memutar harus
berjalan jauh dan akan membuang banyak waktu. Gimana sih, stasiun yang sebesar
ini punya musala yang jauh, seharusnya posisinya di tengah, agar mudah
dijangkau sama penumpang.
Tidak begitu jauh di depanku, tiba-tiba
ada yang memanggilku, ibu si gadis yang tadi aku titipkan barang.
“Bu, barangnya bagaimana, kami mau pergi,”
teriaknya.
Tanpa menghiraukan petugas stasiun, aku
bergerak cepat melewati mereka dan bergegas lari.
“Maaf Bu, saya telah merepotkan, terima
kasih, ya?” ujarku pada keluarga itu.
Sementara itu, petugas stasiun tadi hanya
pasrah, tak berusaha mengejarku.
Selamat... ucapku dalam hati. (*)
Komentar
Posting Komentar