“Siapa yang mau warisan Ibu dan Bapak?”
“Aku, Pak!” Wahyu, Rohmat, dan Sari berseru
kegirangan.
Suwarno dan Yanti hanya tersenyum. Ketiga
anaknya begitu semangat mendengar kata warisan. Wahyu yang tengah fokus dengan
HP saja langsung meletakkan benda itu dan berpaling menatap kedua orang tua.
Begitu pun Sari. Anak perempuan satu-satunya itu bergegas duduk sambil
menggendong anaknya.
Wahyu memulai diskusi, “Aku kan anak pertama,
sudah seharusnya mendapat yang paling banyak.”
“Tapi kan kamu sudah sukses. Usahamu maju, Wah.
Aku ini anak terakhir, seharusnya aku yang dapat lebih banyak.” Rohmat protes,
menentang Wahyu yang menurutnya egois.
“Kamu PNS, hidupmu sudah terjamin. Aku ini
pengusaha, suatu saat nanti pasti butuh modal lagi.”
Sari tidak tinggal diam. “Masalah warisan,
paling cepet, giliran urusin orang tua, nanti-nanti. Ke mana kalian waktu Ibu
dan Bapak sakit?”
Bisa dikatakan hanya Sari yang lebih peduli
dengan Suwarno dan Yanti. Salah satu alasan adalah rumah yang paling dekat
dengan orang tua dan karena kerap dipaksa sang suami. Dia merasa kesal akan
sikap Wahyu dan Rohmat. Ketika dibutuhkan, mereka akan banyak alasan untuk
tidak datang.
Apa pantas Wahyu dan Rohmat mendapat warisan?
Sari adalah seorang ibu rumah tangga pada umumnya, tidak bekerja dan hanya
mengandalkan suami sebagai pencari nafkah. Seharusnya, dialah yang lebih pantas
mendapat warisan.
“Kamu kan tau sendiri aku orang sibuk. Lagian,
kalau ada apa-apa, aku juga yang turun tangan.” Wahyu membela diri. Dari dua
anak Suwarno dan Yanti, hanya dialah yang berkorban uang paling banyak.
“Kalian jangan bertengkar.” Suwarno
melerai.
Suasana di ruang keluarga hanya senyap sekian
saat. Masing-masing dari ketiga anak Suwarno dan Yanti kembali bertengkar.
Mereka tidak mau kalah mengunggulkan diri sendiri dan berusaha menjatuhkan
lawan bicara.
Rohmat mengatakan bahwa Wahyu kerap membebani
orang tua karena selalu meminta uang demi kemajuan usaha. Di sisi lain, Wahyu
juga mengatakan bahwa Rohmat anak tidak tahu diri karena bersikukuh tetap
berkuliah, tidak memedulikan kondisi ekonomi saat itu yang sedang kurang
baik.
“Aku tau aslinya kamu enggak ikhlas. Kalau
bukan disuruh Danang, kamu enggak akan mau ke rumah,” ucap Wahyu. Sari memang
kerap mengurus orang tua, tetapi perempuan itu melakukannya dengan cara
terpaksa. Wahyu tahu fakta itu.
Selain tidak ikhlas, Sari pun kerap memarahi
orang tua hanya karena masalah sepele. Perempuan itu sama halnya dengan Rohmat.
Kalau kata orang Jawa, Sari ‘ngeyelan’, alias susah diberi tahu. Contoh mudah
adalah ketika pernikahannya tiga tahun lalu. Suwarno dan Yanti sudah menekankan
agar menunda pernikahan dengan alasan waktu yang tidak tepat. Namun, Sari tidak
menurut dan tetap melangsungkan pernikahan tersebut.
Hanya demi warisan, Wahyu, Sari, dan Rohmat
sampai berperang, saling menjatuhkan satu sama lain. Pertengkaran itu pun
terhenti ketika Suwarno kembali berbicara.
“Dengarkan bapakmu ini. Kalian tidak perlu
ribut masalah warisan. Tidak perlu takut. Kalian jangan khawatir, semuanya
dapat,” ucap Suwarno. Mendengar anak-anaknya bertengkar, membuat hatinya merasa
sakit.
Suasana di ruang tamu menjadi lebih tenang,
Yanti kemudian kembali memulai diskusi, “Sekarang, Ibu mau bertanya ke kalian.
Siapa yang mau merawat Ibu dan Bapak?”
Wahyu, Sari, dan Rohmat saling tatap.
“Sari, kamu kan perempuan, kamu seharusnya yang
lebih pantas rawat Bapak dan Ibu.” Wahyu menunjuk adik perempuannya.
“Kamu juga pantas.” Sari menyahut. Tidak mau
kalah, dia juga menunjuk kakak pertamanya.
“Lah, aku kan sibuk. Yang ada enggak terurus
nanti. Kamu sama Rohmat yang lebih pantas.”
Rohmat membela diri. “Aku kan rumahnya paling
jauh. Enggak mungkin tiap hari pulang-pergi. Lagian, aku juga urusin mertua
yang sakit stroke. Kalau kenapa-kenapa, aku juga yang diandalkan.”
Mendengar Wahyu, Sari, dan Rohmat lagi-lagi
bertengkar, membuat Yanti mengelus dada dan hampir menitikkan air mata. Suwarno
makin bersedih dan kecewa. Pada saat membahas warisan, mereka saling tunjuk
diri sendiri, tetapi saat membahas siapa yang mau merawat orang tua, mereka
saling tunjuk orang lain. (*)
Banjarnegara, 22 Maret 2025
Komentar
Posting Komentar