“Kalau belum
ketemu, gak boleh pulang.”
Adi baru saja selesai menghitung. Saat berbalik badan, di belakangnya tidak ada siapa-siapa. Bocah sepuluh tahun itu menoleh kanan-kiri sebelum memutuskan kira-kira ke mana langkahnya akan tertuju.
Dari kejauhan, sorot matanya menangkap sesuatu. Adi cekikikan, dari sini dia melihat satu temannya yang sedang bersembunyi di balik pohon. Dengan santai bocah itu berjalan dengan tatapan tidak mengarah pohon itu. Ketika sudah dekat, Adi tiba-tiba berlari dan menyerukan kata “dor” di belakang temannya.
“Curang!” kata Bayu. Dia tidak terima menjadi orang pertama yang ditemukan.
Adi membalas, “Salah sendiri kamu sembunyi di situ.”
Masih ada empat orang lagi yang harus Adi temukan. Dia terdiam, tetapi tidak dengan kepalanya. Sorot matanya menjelajahi seisi kebun, mencari teman-teman lain yang mungkin tiba-tiba saja tidak sengaja terlihat.
Tidak sampai lima menit, tiga temannya sudah ditemukan. Farah ditemukan sedang bersembunyi di balik tumpukan karung berisi tanah, Jihan berada cukup jauh dan sedang bersembunyi di semak-semak, sedangkan Galih justru berada di atas pohon.
Dari lima menit yang dihabiskan, Galih yang paling susah. Adi sama sekali tidak menyangka temannya berada di sana. Namun, berkat Jihan yang terlihat melirik ke atas, Adi mendongak dan melihat salah satu dahan bergerak-gerak. Pada akhirnya Galih pun ditemukan.
Hanya Daffa seorang yang tersisa. Ke sana-kemari Adi mencari, teman barunya itu belum kunjung ditemukan. Awalnya Jihan, Farah, Galih, dan Bayu menolak memberi tahu, tetapi karena sudah terlalu lama dan hari makin sore, salah satu dari mereka mengatakan arah Daffa bersembunyi.
“Gak ada di sumur,” ucap Adi setelah memeriksa sumur yang tidak terlalu jauh dari tempat bermain, sebuah sumur yang bagian atasnya tertutup seng dan tumpukan dahan pohon.
“Paling dia pulang.” Galih berceletuk.
Jihan menimpal, “Kita kan udah janjian gak boleh main curang.”
Sepuluh menit berlalu Daffa belum kunjung ketemu. Meskipun Adi berkata menyuruh temannya untuk keluar, Daffa tetap masih bersembunyi. Adi dibuat kesal. Dia benar-benar menyerah untuk menemukan Daffa, bahkan berpikir temannya jahil pulang ke rumah.
Tidak lama kemudian, seorang wanita datang. Dia berseru memanggil Bayu—anak paling muda—untuk pulang karena sudah sore dan tidak lama lagi harus mengaji.
“Kalian juga pulang. Sudah setengah lima. Sore-sore kok kalian bermain di kebon,” suruh wanita itu.
“Daffa gimana? Dia kan belum ketemu.” Bayu yang sedang di samping sang ibu, mengingatkan tentang Daffa yang masih belum ditemukan.
“Mau dicari di mana, dia gak ada,” sahut Adi.
“Pulang pasti dia.” Farah menimpal.
Mendengar dan melihat teman-teman Bayu sedang berdebat membuat wanita itu penasaran. Seingatnya teman-teman Bayu tidak ada yang bernama Daffa.
“Daffa siapa?” Wanita itu bertanya.
Adi lantas menjelaskan tentang Daffa yang tiba-tiba datang dan menyuruhnya dan teman-teman lain untuk bermain di kebun. Awalnya Farah menolak karena tidak diperbolehkan bermain di kebun atau sungai. Namun, karena paksaan Bayu dan Adi, Farah akhirnya menurut.
“Daffa desa sebelah?” Wanita itu menerka-nerka, mengingat nama bocah bernama Daffa.
Wanita itu menatap sekeliling, memperhatikan kebun tempat teman-teman anaknya bermain. Tidak lama kemudian, dia teringat sesuatu dan buru-buru menyuruh bocah-bocah untuk pulang.
“Pulang saja, yuk. Udah sore ini. Mungkin Daffa sudah pulang,” kata wanita itu sambil melambaikan tangan, mengajak teman-teman Bayu mendekat. Dia sengaja tidak ingin memberi tahu bahwa Daffa sudah meninggal karena tercebur ke sumur.
Banjarnegara,
23 Maret 2025
Komentar
Posting Komentar