Fiksi Mini: NIKAH MUDA

“Dulu aku pernah nikah muda.”

Aku membuka percakapan dengan Lia, seorang mahasiswi yang indekosnya berada di samping rumahku. Dulu kami bertemu secara tidak sengaja ketika hampir saling bertabrakan sewaktu aku hendak naik dan dia mau turun angkot. Dari kejadian itu, aku dan perempuan lebih tua tiga tahun itu saling mengenal dan berakhir menjadi sahabat. 

Sorot matanya menatapku. Dia terlihat kaget. Lia yang duduknya agak sedikit jauh, beringsut mendekatiku. 

“Seriusan, Dam?” 

Aku mengangguk, mengiakan. Dulu aku memang pernah memiliki seorang istri dan anak. Meski bisa dikatakan hidup kami sederhana, makan seadanya di dalam rumah gubuk, kami mencoba tetap bahagia. Beruntung istriku mau bekerja dengan cara membuka warung kecil-kecilan. Ketika sempat, aku juga membantu melayani pembeli.

“Usia kamu kan masih ... ah, kamu pasti bohong.”

Lia justru tertawa kecil. Wajar jika dia tidak percaya. Jangankan Lia, orang lain pun mungkin tidak akan menyangka diriku pernah berstatus sebagai seorang suami.

“Kalau kamu tidak percaya juga bukan masalah, sih.” Aku menjawab santai.

Biasanya di jam-jam seperti ini, di sekitar sini sudah ramai orang-orang. Mereka duduk santai, saling mengobrol sambil memperhatikan anak-anak kecil bermain ataupun sekedar duduk di teras bermain ponsel. Namun, entah kenapa hanya ada beberapa orang yang terlihat. Mungkin karena langit mendung, mereka malas keluar. 

Lia baru menutup pintu ketika tidak sengaja melihatku. Perempuan berambut panjang itu ternyata mendatangiku, lalu ikut duduk. Kami mengobrol cukup lama sampai entah kenapa tiba-tiba aku membahas perihal masa lalu. Mungkin karena kami sempat terdiam dan aku belum menemukan topik menarik, alhasil inilah bahan selanjutnya.

Perempuan itu kembali menatapku, lebih lekat seperti tertarik dengan ceritaku. “Kok, bisa? Kenapa? Umurmu saja sekarang baru 19 tahun, berarti kamu nikah waktu masih sekolah, kan?”

Pandanganku beralih. “Ya, enggak kenapa-kenapa, sih.”

“Kamu nikah memang suka sama suka atau .... ” Lia membuang muka. “Aduh, maaf-maaf. Aku enggak bermaksud.”

“Udah, kagak apa-apa. Santai saja,” jawabku sambil tersenyum.

Kami saling terdiam sejenak sebelum aku kembali membuka percakapan, “Aku pernah berumah tangga karena memang mau, bukan karena paksaan ... dan bukan karena ada insiden.”

“Kenapa kamu milih nikah muda?” Lia bertanya.

“Ya, karena kemauan kami saja dulu.”

Lia mengangguk-angguk. “Terus, kenapa kalian pisah?” Lia lanjut bertanya.

Ingatanku terbang ke masa lalu, mengingat-ingat kenangan lama. Setelah menjawab pertanyaan dari Lia, dia beranjak, lalu tiba-tiba mendorongku hingga terjengkang. Perempuan itu sontak pergi dengan raut wajah kesal.

Aku yang masih terduduk di tanah, beranjak sambil menahan sakit di siku. Kenapa dia marah? Aku hanya menjawab dengan jujur padahal. Penyebab perpisahanku dengan dia karena istriku dulu pergi karena dipanggil mamanya untuk diajak ke pasar dan aku yang juga dipanggil Ibu karena saudara jauh bertamu ke rumahku. 

 

Banjarnegara, 05 Maret 2025

Komentar