Ibu menghilang. Aku panggil berkali-kali, Ibu tidak datang ataupun menyahut. Aku mencari di ruang menonton TV, tempat kesukaannya. Ibu tidak di sana. Aku mencari lagi ke dapur, tempat favoritnya. Ibu juga tidak ada di sana. Terakhir, aku mencari di belakang, tempat Ibu merawat bunga-bunga. Ibu juga tidak ada di sana. Aku juga berkali-kali bertanya ke ayah dan kakak laki-lakiku, tetapi mereka semua mengatakan tidak tahu.
Ke
mana Ibu pergi? Apakah Ibu menghilang?
Karena
Ibu tidak di rumah, aku mencarinya keluar. Tetangga sebelah, si pemilik sepuluh
ekor kucing berkata kepadaku, “Tadi pagi aku lihat ibumu pergi.”
“Pergi
ke mana?”
Tetanggaku
menggeleng. Dia menunjuk kiri jalan besar. Katanya, itu arah Ibu pergi. Aku
kembali mencari. Sampai di pertigaan, aku bertanya ke pemilik warung, tempat
Ibu biasa membeli sesuatu.
“Ibumu
pergi ke sana.” Ibu itu menunjuk kanan jalan, tempat Ibu mengambil
langkah.
Aku
merasa bersalah. Seharusnya pagi itu aku ikut sarapan. Namun, karena hari
Minggu, aku memilih menonton televisi dan terus-menerus berkata nanti-nanti.
Apakah Ibu benar-benar pergi? Apakah Ibu marah karenaku?
Tidak.
Aku harus mencarinya.
Jalan
yang Ibu ambil mengarah ke pasar. Mungkin Ibu sedang ke pasar, bukan tidak
benar-benar pergi. Sebenarnya aku takut ke sana. Ibu melarangku karena katanya
di sana banyak kendaraan atau khawatir aku diculik. Pernah sekali aku pergi
dengan temanku. Ibu tahu dan Ibu menghukumku.
Namun,
aku tetap memutuskan untuk ke sana. Aku harus menemukan Ibu. Tempatnya tidak
jauh, sekitar lima menit. Aku hanya perlu berjalan lurus sampai nanti melihat
keramaian.
Tiba
di pasar, aku mencari ke tempat-tempat yang sering Ibu datangi, juga bertanya
ke orang-orang. Jika Ibu di sini dan melihatku, aku tidak masalah mendapat
hukuman. Yang paling penting, Ibu harus aku temukan dan aku harus membawanya
pulang.
“Ibumu
tidak di sini.”
“Aku
tidak tahu.”
“Saya
tidak melihat.”
Ke
mana Ibu? Aku sudah ke sana-kemari, bertanya juga ke orang-orang; tetapi Ibu
masih belum aku temukan. Di mana Ibu? Ibu kenapa pergi? Apakah karena aku
nakal? Jika aku berjanji untuk tidak menjadi anak nakal, penurut, dan mau
mendengarkan, apakah Ibu akan pulang?
Ibu
pernah berkata, “Kalau kamu nakal, Ibu akan pergi.”
Waktu
itu aku pernah membuat Ibu pergi. Aku bertengkar dengan temanku. Ibu marah,
lalu siangnya menghilang dan baru pulang malam harinya.
“Mau
nurut kata Ibu atau tidak? Kamu harus berjanji untuk tidak jadi anak nakal.”
Aku
langsung mengangguk dan berjanji waktu itu. Sekarang, jika dengan berjanji bisa
membawa Ibu pulang, akan aku lakukan dengan segera. Mulai hari ini, aku
berjanji tidak akan nakal, berjanji menjadi anak baik, dan berjanji selalu
menurut kata Ibu.
Aku
berjanji sebanyak tiga kali, seharusnya Ibu sudah pulang. Aku ingin
membuktikannya dengan langsung berjalan menuju rumah. Di rumah, Ayah pasti ikut
mencari. Tidak mungkin dia berdiam saja seperti kakak laki-lakiku.
Aku
yakin Ayah sudah membawa Ibu pulang. Aku berlari, berlari, dan berlari. Tiba di
rumah, aku melihat kakak laki-lakiku sedang duduk di kursi ruang tamu.
“Ibu
di mana? Ibu sudah pulang?” tanyaku memastikan.
“Iba-Ibu,
iba-ibu. Ibumu di kamar,” kaya Ayah menghampiriku. Kakak laki-lakiku tidak
berkata apa-apa, dia selalu sibuk dengan bukunya.
Mendengar
kata ayah, aku teramat senang. Ayah pasti berhasil menemukan Ibu dan membawanya
pulang. Kata Ayah, Ibu ada di kamar. Aku langsung berlari, lalu membuka
pintu.
Ibu
ada di sana, sedang duduk di tempat tidur. Ibu melihatku yang sedang tersenyum.
Aku menghampiri, lalu marah-marah kepadanya.
“Ibu
dari tadi di kamar.”
Aku
kesal. Kenapa aku tidak mencari di kamar? Kata Ibu, dia tidak mendengar suaraku
karena ada earphone di kedua telinganya.
Ibu
juga sempat marah karena aku ke pasar sendirian. Ibu bahkan berkata aku sedang
beralasan. Namun, karena khawatir Ibu pergi karena aku nakal, marahnya tidak
lama-lama.
“Memang
ada apa cari-cari Ibu? Ayahmu kan ada di rumah.” Ibu bertanya.
Aku
menatap Ibu sebal, lalu berkata, “Makaaan!”
Banjarnegara, 11 Maret 2025
Komentar
Posting Komentar