“Kemarin kan kita sudah ke pantai, masa mau ke pantai lagi.”
“Bapak kan belum sempat lihat bintang laut, Bu.”
Terjadi perdebatan antara Subekti dan Rosidah. Mereka
bertengkar mempermasalahkan jadwal jalan-jalan selanjutnya. Rosidah merasa
keberatan jika harus pergi ke pantai dengan alasan tempat yang jauh, harga
tiket mahal, dan tidak bisa berenang. Di lain sisi, Subekti belum puas.
Kemarin, laki-laki nyaris setengah baya itu belum sempat mengendarai banana
boat dan gagal berswafoto dengan bule.
“Udah-udah, pokoknya besok kita gak ke pantai! Besok
gantian pakai jadwal Ibu,” kata Rosidah, mengakhiri debat.
Rosidah sebenarnya malas jika mengikuti kemauan suami.
Laki-laki yang baru tiga tahun bersamanya itu hanya memikirkan diri sendiri
tanpa berpikir pengeluaran. Dua hari sebelumnya ketika Subekti memilih rute dan
tempat berwisata, uang yang dikeluarkan cukup banyak.
Berbeda jauh dengan Rosidah. Dia selalu memikirkan
pengeluaran dan berusaha tetap berhemat meski tiap hari pergi jalan-jalan.
Bukan masalah besar baginya jika hanya pergi melihat kuda lumping di kampung
sebelah, yang penting hemat dan bisa memanjakan mata.
“Terus kita mau pergi ke mana? Ke alun-alun seperti
dulu lagi?” tanya Subekti, “ngapain, Bu? Cuma lihat pohon beringin, apa
estetikanya?”
Subekti menyeruput kopi sachet, mendinginkan pikiran
panas. Tidak ketinggalan, ayam goreng krispi di meja dia ambil beserta nasi dan
saus. Perjalanan pulang dari kabupaten sebelah menempuh perjalanan hingga satu
setengah jam. Selain penat, Subekti juga lapar. Meskipun dia aslinya ingin
makan sate kambing atau paling tidak bakso beranak, karena Rosidah sudah
berkata tidak mau, tidak ada pilihan baginya selain menurut dan pasrah.
“Kok, ayam lagi, Bu?” tanya Subekti sore itu,
menggugat istrinya yang entah kenapa selalu memilih ayam krispi sebagai lauk
pendamping nasi.
“Kalau Bapak gak mau, Ibu beli nasi, kerupuk, sama
kecap.”
Rosidah hendak beranjak, tetapi berhasil dicegat. Pada
akhirnya, Subekti kembali menikmati ayam krispi yang tepungnya jauh lebih keras
daripada kemarin, yang ayamnya sudah tidak laku, tetapi digoreng lagi supaya
tidak merugi.
Sambil makan, laki-laki itu mendengarkan pergantian
jadwal untuk hari esok. Perjalanan pertama, Rosidah menjelaskan tujuannya ke
sebuah desa untuk melakukan kondangan.
“Sebentar, Bu.” Subekti menginterupsi. Dia minum lebih
dulu sebelum lanjut berbicara. “Gak usah banyak-banyak isi amplopnya. Dulu,
mereka juga ngasih sedikit waktu kondangan ke pernikahan kita.”
Rosidah menyetujui tanpa bantahan. Dia lantas
melanjutkan perjalanan berikutnya yang berencana mendatangi tempat wisata
pemandangan. Selain terjangkau, di tempat itu cukup banyak titik foto estetik
sekaligus bisa menikmati keindahan alam.
Jadwal berikutnya, Rosidah berkeinginan melihat pawai
di alun-alun. Meskipun ramai, paling tidak di sana akan banyak dijumpai
makanan-makanan yang bersifat gratis, seperti jajanan-jajanan pasar, bahkan
rames.
Subekti hendak melakukan interupsi lagi, tetapi urung
karena sedang malas kembali berdebat. Pada akhirnya, dia mengalah dan ikhlas
mau dibawa ke mana saja.
“Yang terakhir kita ke rumah Ibu. Kita menginap
beberapa hari di sana,” kata Rosidah, mengakhiri pendeskripsian jadwal.
“Ngapain, Bu?” Subekti menatap wajah sang istri yang
sudah alami tanpa campuran beragam bedak.
Rosidah menghela napas. “Penghematan, lah, Pak. Masa
iya tiap hari jalan-jalan terus? Bapak gak capek nyetir? Gak capek duduk di jok
terus?”
Perkataan Rosidah ada benarnya. Terhitung tiga kali
berturut-turut pergi ke sana-kemari memang melelahkan. Kemarin saja Subekti
sampai masuk angin dan harus kerokan karena pulang malam. Jika berada di rumah
mertua, dia bisa beristirahat, sekaligus mungkin bisa makan enak.
Mengingat telah selesai rekapitulasi jadwal, mereka
tidak banyak melakukan perbincangan. Selesai makan dan menghabiskan kopi,
keduanya berniat istirahat lebih awal.
“Kita berangkat lebih pagi. Malas kalau sampai ketemu
Ibu Fatma lagi,” ucap Subekti sebelum beranjak. Dia malas jika harus bertemu
dan sampai terlibat percakapan dengan tetangganya.
Rosidah menyahut, “Ibu Fatma, mah, memang begitu
orangnya, Pak. Dia tau kalau kita lagi ngindarin bayar cicilan bank.” (*)
Banjarnegara, 10 Maret 2025
Komentar
Posting Komentar