Aku yang
baru saja keluar kamar Ibu, melihat Bapak datang dengan membawa sesuatu. Entah
apa isinya, tetapi jika aku tebak, pasti didapat dari dukun.
“Ambilkan
gelas,” perintah laki-laki yang mengenakan jaket hitam itu padaku, anak perempuan
satu-satunya yang masih duduk di bangku SMP.
Aku
sempat bingung, apakah Bapak membawa air seperti kemarin lagi atau kali ini
sesuatu yang berbeda? Sambil menebak-nebak, aku lantas pergi ke dapur mengambil
gelas.
Bapak
sudah di kamar ketika aku datang. Dia duduk di tepi ranjang, memandangi Ibu
yang terbaring lemah karena sakit. Sesuai dugaan, isi plastik hitam itu adalah
air yang dimasukkan dalam botol.
“Sini
gelasnya,” kata Bapak, mengulurkan tangan kanannya.
“Pak,
kenapa Ibu tidak dibawa ke rumah sakit saja?” Aku berucap sembari menyerahkan
gelas. Ini adalah kali ketika aku meminta, tetapi tiga kali juga mendapat
penolakan.
Bapak
mendengkus. Dia terdiam sejenak, lalu menjawab, “Bapak kan sudah cerita dari
kemarin-kemarin, sakit ibumu ini bukan sakit biasa. Apa kamu lupa apa yang
dikatakan Bapak Suroso?”
Jelas aku
tidak lupa ucapan orang itu. Sekitar seminggu yang lalu saat rumah kami
kedatangan tamu, seorang laki-laki tua berpakaian hitam menjelaskan bahwa ibuku
terkena guna-guna. Diawali dengan demam tinggi, bahkan sering muntah, makin
meyakinkan Bapak bahwa apa yang dikatakan dukun memang benar. Dukun itu berkata
Ibu diguna-guna saat berada di rumah seseorang yang tengah melangsungkan
hajatan.
Sehari
sebelum pergi ke desa tetangga, keadaan Ibu memang baik-baik saja. Namun, tiga
hari kemudian, beliau mengeluh sakit di persendian, kerap muntah-muntah, bahkan
Bapak bermimpi buruk mengenai istrinya, mimpi yang membuatnya pergi menemui
seseorang untuk dimintai pertolongan.
Keadaan
perempuan lebih mudah lima tahun dari bapak itu makin lemah, wajahnya pucat dan
tidak mau makan jika tidak dipaksa. Akan tetapi, Bapak justru membiarkan dan
hanya mengandalkan air bening yang katanya bisa menyembuhkan segala jenis
penyakit, termasuk guna-guna. Meskipun air itu telah diberi mantra, tetapi
sampai sekarang tidak ada perkembangan. Aku hanya takut Ibu kenapa-kenapa.
Pernah
sekali menyuruh Ibu agar membujuk Bapak untuk pergi berobat, tetapi tidak mau,
bahkan mengatakan sebentar lagi bisa sembuh. Beliau pernah sekali terlihat
lebih sehat setelah minum obat warung. Kata Bapak, itu terjadi karena berkat
bantuan dukun. Akan tetapi, dua hari kemudian, sakitnya kambuh.
Sebagai
anak, aku selalu teringat dengan Ibu dan selalu resah jika jauh dari rumah.
Bapak benar-benar susah diberi tahu, dia seakan-akan lebih percaya mimpi dan
ucapan dukun. Hanya karena desa yang mereka datangi banyak dijumpai orang-orang
‘nakal’, Bapak langsung percaya begitu saja bahwa sakit yang diderita Ibu
disebabkan salah satu warga desa sana.
“Jangan
dipegang!” Bapak menampik tanganku yang hendak mengambil plastik hitam yang
tergeletak di kasur.
Aku lupa
kata Bapak. Jika sedang masa menstruasi, aku tidak diperbolehkan memegang apa
pun yang dibawa Bapak dari dukun. Jujur, aku penasaran dengan isi plastik itu
karena sepertinya Bapak membawa sesuatu lagi. Aku kembali memperhatikan raut
wajah Ibu yang seakan-akan makin lama makin memudar. Tawa wanita itu mendadak
hilang, berganti kesuraman.
“Lebih
baik kamu belajar.”
***
Aku
terbangun dengan posisi masih di kursi belajar. Sudah hampir pukul dua belas
malam, aku tertidur selama dua jam. Tidak sengaja saat hendak beranjak,
terdengar sesuatu dari arah luar rumah. Aku dengar baik-baik, suara itu seperti
seseorang sedang mencangkul.
Jendela
aku buka, ternyata benar orang di luar rumah adalah Bapak. Dia tengah
berjongkok sambil memegang kain putih, sama seperti waktu itu. Laki-laki
berkulit cokelat yang hampir sama tingginya dengan Ibu seketika memandang ke
atas saat mendengar jendela terbuka.
“Kenapa
belum tidur, Hana?” tanya Bapak sembari menatapku.
“Bapak
nanem apa lagi?” Bukannya menjawab, aku justru balik bertanya.
Heran
rasanya Bapak sampai berulah seperti ini. Apakah mungkin karena berada di desa,
banyak orang percaya mitos, membuatnya lebih percaya ilmu klenik daripada ilmu
kedokteran? Andai saja aku paham hal-hal yang berkaitan dengan dunia medis,
mungkin bisa menjelaskan kepada banyak orang, terutama Bapak. Meskipun pernah
mengatakan bahwa Ibu sakit biasa, nyatanya tidak membuat laki-laki itu percaya
dan justru berargumen, yang terjadi berkaitan dengan dunia spiritual.
“Ini
urusan bapak, tidur saja kamu, besok kan sekolah.”
Semenjak
Ibu sakit dan Bapak kerap bolak-balik ke rumah dukun, sifatnya berubah. Dia
sering marah-marah saat aku bertanya barang apa yang dibawa dan untuk apa
barang tersebut ada. Aku sebenarnya penasaran dan sepertinya hari ini akan
mencari tahu sendiri isi dalam bungkusan kain putih itu.
Bapak
tidak berkata apa-apa, aku pun memilih menutup jendela dan beranjak ke kasur.
Sebelum kembali tidur, aku setel alarm tepat pukul tiga pagi. Rasa penasaran
harus dituntaskan. Bungkusan yang terkubur di empat penjuru mata angin itu
harus aku ketahui isinya.
***
Aku
keluar rumah lewat pintu belakang dengan sangat hati-hati. Hanya berbekal lilin
kecil dan pisau, aku memberanikan diri keluar untuk melancarkan aksi. Meskipun
sudah dikatakan pagi, keadaan di luar masih gelap. Tidak ada seorang pun sejauh
mata memandang. Aku sempat maju-mundur karena takut dan hanya seorang diri,
tetapi ini adalah kesempatan yang seharusnya tidak boleh disia-siakan.
Tujuan
pertama adalah samping kiri rumah, tempat kamarku berada. Bapak menguburkan
bungkusan itu tepat di bawah jendela. Pisau di tangan kanan, dijadikan
pengganti cangkul.
Tidak
perlu susah mencari bekas galian, aku bisa tahu dari kembang yang tersebar di
tanah. Sebelum berjongkok, aku menarik napas dalam, lantas mengembuskannya
perlahan.
Lilin
berpindah tempat ke batu, lantas aku mulai menggali. Semoga saja Bapak masih
pulas dan tidak tahu apa yang tengah anak perempuannya lakukan. Lubang yang
Bapak gali tidaklah terlalu dalam, kain putih sudah mulai terlihat.
Dari
aromanya sangat aneh, seperti disemprot parfum beraroma menyengat. Aku buka
pembungkusnya perlahan, isi di dalam mulai terlihat. Tubuh bergeming, mata
menyipit memandangi isi bungkusan yang berupa kembang beraneka rupa, beberapa
helai rambut, dan dua benda aneh yang sama sekali tidak tahu namanya.
Apakah
bisa benar-benar menolak bala dan membuat Ibu kembali sehat? Aku masih tidak
menyangka hanya karena benda aneh seperti ini mampu membuat Bapak berubah
sifat. Karena sudah tahu isinya, aku kembali menguburkan benda ini ke tempat
semula. Bapak berpesan agar jangan sekali-kali menggali apa yang dia kubur.
Jika sampai itu terjadi, sudah dipastikan beliau akan mengamuk.
Belum
juga selesai, tiba-tiba terdengar Ibu terbatuk-batuk. Aku langsung panik,
terlebih Ibu batuk tanpa henti dan sekarang terdengar juga suara Bapak. Aku
tinggalkan lilin dan pisau, lantas berlari terburu-buru ke kamar Ibu.
Pintu
kamar terbuka, Bapak dan Ibu sama-sama duduk di kasur. Wajah Ibu tengah diraup
air dari gelas yang Bapak bawa tadi malam.
“Ibu
kenapa?” tanyaku panik dengan napas tersengal-sengal.
“Apa yang
kamu lakukan? Kenapa ada tanah di tanganmu?”
Dada
tersentak, aku baru ingat langsung berlari ke sini tanpa mencuci tangan
terlebih dahulu. Jantung langsung berdebar-debar, bahkan sampai tidak berani
menatap Bapak.
“Kamu
gali tolak bala itu?” Suara Bapak meninggi, aku makin takut.
Aku
perlahan mendongak, memberanikan diri menatap Bapak. Wajah laki-laki tiga puluh
tahunan itu menegang, matanya menatap garang ke arahku.
“Jawab,
Hana!” Bapak membentak.
Aku
mengangguk samar, mengiakan ucapan Bapak.
“Hana
....”
Aku dan
Bapak langsung menatap Ibu saat kembali terbatuk. Bapak menyandarkan punggung
Ibu ke sandaran kasur, lalu mengambil air dan meminta sang istri untuk minum.
Namun, belum juga meneguk, wanita berambut panjang dengan ujung bergelombang
itu tiba-tiba pingsan. Aku panik tidak keruan, lantas berlari mendekati kasur.
Kami
sama-sama mencoba menyadarkan Ibu. Bapak menepuk pelan pipi istrinya, sedangkan
aku mengguncang lengan Ibu. Kami makin panik saat tidak ada perubahan sama
sekali. Aku sangat takut terjadi apa-apa dengan orang paling disayangi ini.
“Gara-gara
kamu, Ibu jadi seperti ini.” Bapak berkata sembari sekilas memandangku.
Kali ini
aku melawan. “Kita bawa Ibu ke rumah sakit. Kita bawa sekarang!”
Bapak
tidak menggubris, justru mengabaikan ucapanku. Aku bingung, panik, dan takut,
lantas tanpa pikir panjang berlari keluar rumah, mencari bantuan. Langkahku
tertuju ke rumah tetangga. Tidak peduli pagi buta menggedor-gedor pintu, masa
bo-do mengganggu orang, keadaan darurat seperti ini, Ibu harus cepat-cepat
mendapat bantuan.
“Pak,
tolongin saya. Ibu pingsan, tolong bawa Ibu ke rumah sakit.” Aku memohon saat
pintu Pak Arif muncul.
Pak Arif
tampak bingung. Tidak ada waktu menjelaskan lebih panjang, dia pun sebenarnya
sudah tahu bahwa Ibu memang sakit. Aku kembali memohon agar beliau mau
membantu. Jika ada orang lain, mungkin Bapak bisa dibujuk dan mau membawa
istrinya ke rumah sakit.
Saat Pak
Arif mau membantu, aku bergegas membawanya ke rumah. Ibu masih belum kunjung
sadar dan Bapak tersentak saat melihat Pak Arif.
“Pak,
kita bawa Ibu segera!” Aku sedikit menaikkan suara.
Awalnya
Bapak menolak, tetapi beruntungnya Pak Arif masih berusaha membujuk Bapak agar
mau membawa istrinya ke rumah sakit. Setelah sekian lamanya saling adu mulut,
Ibu pun dibawa ke rumah sakit dengan mengendarai mobil Pak Arif.
Setelah
di rumah sakit, Ibu dibawa ke sebuah ruangan untuk diperiksa. Hari berikutnya,
kami harus menerima kenyataan bahwa beliau meninggal dunia. Kata dokter, Ibu
terkena DBD dan telat ditangani. Seharusnya semenjak dari awal gejala, Bapak
membawa istrinya ke rumah sakit atau klinik, tetapi laki-laki itu justru
mendatangi dukun hanya karena terlalu percaya dengan mimpi dan hal-hal aneh
yang seharusnya tidak terlalu dipermasalahkan. (*)
Komentar
Posting Komentar