“Daffa
mau jadi pilot.”
Selain
gantengnya mirip Cha Eun Woo, jawaban Daffa makin membuatku bangga memiliki
seorang anak seperti dirinya. Aku pikir anak delapan tahun ini ingin menjadi
Ironman, Spiderman, Ahsyiapman, atau superhero lain, ternyata cita-citanya
sangat related dengan kehidupan nyata.
Meskipun
untuk menjadi seorang pilot butuh biaya besar, aku tidak masalah karena itu
adalah urusan ayahnya. Aku hanya bisa mendukung agar cita-cita Daffa menjadi
nyata. Kalau suatu hari nanti benar-benar terjadi, yang bangga juga aku
sendiri.
“Daffa
gak mau jadi petugas SPBU seperti Ayah?” Iseng aku bertanya. Aku menatap anak
ini lekat, siap mendengar jawaban yang akan dia katakan.
Daffa
menggeleng. “Gak mau. Daffa gak mau bau bensin.”
Aku
terkikih. Anakku sungguh polos, saking polosnya sampai terlalu jujur. Dalam
batin aku berkata, jangankan kamu, Nak, Ibu saja gak mau. Pusing kepala ibumu
ini nyium bau bensin. Namun, di luar dari itu, aku tetap menghargai apa pun
pekerjaannya; asal halal, bisa untuk menafkahi keluarga, dan bisa untuk bayar
keranjang kuning.
“Daffa
gak mau jadi polisi?” Aku bertanya lagi. Setahuku, menjadi polisi adalah
cita-cita paling umum yang dikatakan anak kecil.
Daffa
menggeleng, lalu menjawab sambil mengganti saluran televisi. “Gak mau.”
“Lah,
kenapa? Jadi polisi kan keren bisa nangkap penjahat.” Aku tersenyum, sekaligus
penasaran ingin mengetahui alasan kenapa tidak mau menjadi polisi. Padahal
polisi adalah cita-cita ayahnya, hanya saja tidak terwujud karena masalah
biaya.
“Ayah
kan gak suka polisi. Nanti kalau Daffa jadi polisi, Ayah gak suka sama Daffa.”
Dengan sorot mata menatap layar televisi, Daffa memberikan jawaban.
“Ayah
kan gak suka polisi”? Sejak kapan? Aku agak bingung dengan jawaban Daffa yang
ini. Kenapa dia bisa mengatakan hal seperti itu? Pikiran mulai berkelana,
mengais serpihan ingatan yang mungkin akan muncul setelah aku ingat-ingat.
Cukup lama berpikir, mungkin aku tahu alasan kenapa Daffa berkata demikian.
Aku
senyum-senyum sendiri. Pasti karena kejadian itu. Mas Baim memang terkadang
menjadi langganan tilang gara-gara kerap lupa membawa SIM dan tidak mau memakai
helm dengan alasan jarak dekat, sekaligus sering apes. Mas Baim pun selalu
berhenti tiap ada polisi berjejer di pinggiran jalan, lalu putar arah untuk
menghindari razia.
Penyebabnya
adalah Mas Baim karena kerap berkata yang tidak-tidak sewaktu ada operasi
zebra. Jangan sampai Daffa ikut-ikutan tidak menyukai polisi, padahal pekerjaan
mereka mulia dan memang keren, bahkan aku berharap Daffa ingin bercita-cita
menjadi polisi. Kalau Mas Baim pulang, aku harus memintanya klarifikasi.
Aku
lantas meluruskan kesalahpahaman ini dengan mengatakan apa saja sekiranya
pekerjaan polisi yang sesungguhnya seperti menangkap orang jahat, melindungi
dan membantu masyarakat, dan lain sebagainya; alih-alih hanya sebagai tukang
razia.
“Mau
jadi polisi atau masih mau jadi pilot?” Setelah menjelaskan, aku bertanya lagi,
siapa tahu Daffa berubah pikiran.
Daffa
terdiam sejenak, lalu menggeleng. “Daffa tetap mau jadi pilot.”
Kuat
juga pendirian anakku ini. Aku jadi penasaran kenapa dia mau jadi pilot. Aku
dan suamiku sama sekali tidak pernah menyinggung pilot, saudara atau tetangga
pun tidak ada yang berprofesi menjadi itu. Apa mungkin karena tontonan, ya?
Aku
masih tidak beranjak dari sisi Daffa yang tengah menonton kartun Malaysia.
Untuk mengobati rasa penasaran, aku pun bertanya, “Memangnya kenapa Daffa mau
jadi pilot?”
“Ah,
biar bisa jalan-jalan sama Ibu, ya?” Aku menebak asal.
Daffa
menggeleng. Tidak lama kemudian dia berpaling dari layar televisi, lalu
menjawab, “Daffa mau jadi pilot supaya kalau ke mana-mana bisa cepat sampai.
Daffa sebel sama Ibu yang kalau pergi, suka berhenti dan cerita terus sama
mamanya Linda, mamanya Bela, dan Tante Irma.”
Banjarnegara,
15 Maret 2025
Komentar
Posting Komentar