“Kamu mau nyusul bapakmu ke neraka?”
Naryo yang aku pikir teman baikku, nyatanya dia juga sama seperti mereka. Laki-laki itu berkata, “Daripada menyesal, lebih baik kamu akui saja perbuatanmu. Kasihan anakmu jadi ikut kena imbasnya.”
“Sumpah, bukan aku pelakunya, Yo! Babi ngepetnya bukan aku. Omongan mereka fitnah semua!”
Awal mula fitnah terjadi gara-gara aku membeli motor baru, dua hari setelah banyak tersiar kabar kehilangan uang. Lewat cerita istriku, orang pertama yang kehilangan uang adalah keluarga Bahrun. Mereka kehilangan sepuluh juta.
Keluarga Arifin menjadi korban selanjutnya. Uang lima juta yang tersimpan aman di lemari, semuanya raib. Pak Arifin yakin uang yang hilang bukan ulah pencuri. Semua pintu dan jendela terkunci, bagaimana cara masuknya?
Hari-hari berikutnya, satu-dua orang mengaku telah kehilangan sejumlah uang. Dari situlah aku mulai dilibatkan dalam permasalahan. Uang untuk membeli motor bukan dari aku yang menjadi babi ngepet, tetapi mereka sama sekali tidak percaya.
Beruntung aku memiliki Ratna. Istriku itu selalu membelaku ketika orang-orang main asal tuduh. Aku selalu ditenangkan ketika sedang marah, aku pun selalu dikuatkan ketika kena fitnah.
Perempuan itu berkata, “Sudah, jangan dipikirkan. Mereka kan gak punya bukti kalau kamu babi ngepet.”
Tadi pagi sewaktu di pasar, aku bertemu Pak Yadi, salah seorang penduduk kampung tempat kelahiranku. Dia mempermalukanku di depan umum, berkata bahwa semua orang harus berhati-hati denganku. Sempat terjadi adu mulut dan pertengkaran, tapi tidak lama kemudian kami dilerai orang-orang pasar.
“Tapi aku malu. Pak Yadi juga ungkit-ungkit Bapak.” Aku menunjuk diri sendiri sambil menjawab penuturan Ratna.
“Sudah, biarin. Selama gak ada bukti, kenapa harus takut?”
Ratna memintaku meminum teh, katanya agar aku bisa sedikit tenang. Setelah menyeruput beberapa tenggak, aku kembali bercerita tentang orang-orang yang nanti akan datang ke sini untuk mencari bukti. Entah kapan waktunya, mereka berkata akan datang secara tiba-tiba.
“Sudah, gak apa-apa. Kalau gak ada bukti, lama-lama juga diam sendiri.”
Waktu yang ditunggu pun datang. Tiga hari berselang setelah insiden di pasar, tiga orang mendatangi rumahku. Karena sore, aku sudah di rumah. Tanpa banyak berkata dan tanpa sempat memberikan izin, mereka menggeledah seisi rumah ini.
Aku jelas marah. Belum lagi perbuatan mereka yang mengacak-acak barang membuatku nyaris kehilangan kesabaran. Kalau ujung-ujungnya dirapikan, itu bukan masalah; tapi nyatanya semuanya mereka biarkan tergelak di lantai.
“Ada buktinya, Pak?” tanyaku setelah Pak Burhan dan dua orang lainnya merasa puas menggeledah kamar. “Sudah jelas, kan, kalau aku bukan babi ngepet?”
Pak Saiful menatapku tajam. “Awas kalau sampai kamulah babi ngepetnya!”
“Kalau aku babi ngepetnya, silahkan Bapak-Bapak bu-nuh saya. Atau kalau perlu, seret jasad saya mengelilingi desa,” ancamku saat mereka hendak pergi.
Selepas orang-orang itu benar-benar pergi, aku duduk sejenak. Tidak berselang lama, istriku datang. Dia berdiri di ambang pintu, sorot matanya menatapku.
“Beruntung Andi sedang ngaji di masjid. Kalau dia di rumah dan lihat orang-orang geledah rumah, dia pasti syok dan takut,” kata Ratna.
Aku balik menatapnya. “Untung juga kamu bergerak cepat waktu itu. Kita aman.”
“Situasi masih belum aman. Jangan dulu, ya, Pak,” sahut Ratna lirih. Dia berjalan mendekatiku.
Aku mengangguk. Perkataan istriku memang benar.
Aku harus menahan diri untuk tidak melakukannya. Biarlah semua peralatan
tersimpan di gubuk. Kalau situasi sudah tenang, aku bisa memulai aksi menyuruh
tuyulku mengambil uang lagi. (*)
Komentar
Posting Komentar