Sudah terhitung tiga kali aku melihat sesuatu
dari balik jendela kaca yang membuatku selalu tidak bisa tidur nyenyak. Pertama
dan kedua, aku melihat separuh wajah bayi berlumur darah ketika baru saja
mengunci pintu. Yang ketiga, aku melihatnya secara keseluruhan, tengah
merangkak di dinding kamar mandi.
Aku tidak tahu kenapa tiga hari berturut-turut
selalu ditampakkan sosok bayi. Apakah aku pernah melakukan kesalahan? Sungguh,
aku tidak tahu apa penyebabnya. Yang jelas, ini sangat mengerikan, terlebih aku
seorang diri di rumah karena Ayah tengah mendapat jatah sif malam. Beliau juga
tidak percaya, menyebalkan, bukan?
Pada malam keempat ini, aku tidak lagi mengunci
sekaligus mematikan lampu ruang depan malam-malam. Sebelum pukul delapan, semua
pintu sudah aku tutup, tidak peduli jika ada seseorang datang bertamu.
Volume televisi sengaja aku setel lumayan
nyaring. Kali ini, aku berniat tidur di ruang televisi sambil memutar kaset
film kartun untuk menemaniku melewati malam yang mulai terasa aneh. Ya, aneh,
karena beberapa kali aku mendengar tangisan bayi dari luar rumah.
Ini sudah pukul sepuluh, apa mungkin ada
tetangga berkeliaran sambil menggendong bayi? Belum lagi di samping kiri rumah
adalah kebun warga, apakah mereka seberani itu jalan-jalan sampai ke sini?
Apakah akan terjadi lagi?
“Ayah lagi kerja, jangan ganggu, ya. Kamu kan
sudah kelas tiga SMA, bukan bocah lagi. Memangnya Cindy tidak datang ke rumah?”
kata Ayah melalui telepon yang sengaja aku loud speaker.
“Dia memang mau ke sini sehabis magrib, tapi
batal. Dia ke rumah sakit, Kak Sheila kecelakaan.”
“Kecelakaan?” Suara Ayah meninggi, seperti
kaget.
“Iya. Tadi ....” Ucapanku terhenti saat
mendapati gorden pintu dapur mendadak bergerak-gerak.
“Hana? Halo? Kecelakaan kenapa?”
Fokusku terpecah. Panggilan telepon pun kembali
berlanjut. Aku ceritakan ke Ayah tentang Kak Sheila, kakak perempuan Cindy yang
dikabarkan terserempet motor saat hendak menyeberang. Kronologi lengkap kurang
tahu, Cindy tidak banyak bercerita.
“Ini masih jam kerja, teleponnya bisa
dimatikan?”
Tidak sampai lima detik, panggilan berakhir
sebelum aku sempat bicara lagi dengan Ayah.
Seperti hari kemarin, aku selalu celingukan.
Ingin beranjak ke kamar, tetapi aku seperti terpaku di sini. Aku pun tetap
duduk selonjoran sambil mengenakan selimut yang menutupi sampai sebatas
pinggang dan membiarkan rambut sepanjang pundakku tergerai begitu saja.
Hanya ada gorden sebagai pembatas ruang
televisi dan dapur. Aku sengaja tidak mematikan lampu di sana. Entahlah, aku
merasa lebih baik dibiarkan menyala semalaman.
Belum juga pandanganku beralih, gorden kembali
bergerak-gerak seperti terkena angin. Ini aneh. Dari mana datangnya angin,
sedangkan semua pintu dan jendela sudah terkunci? Mungkin masuk melalui
ventilasi, pikiranku aku ajak menduga-duga hal positif.
Akan tetapi, ternyata tidak. Aku mulai lemas
bercampur ngeri saat perlahan gorden terbuka sendiri. Ini jelas sudah sangat
tidak wajar. Angin tidak mungkin bisa melakukan hal seperti itu.
Aku menahan napas seiring gorden terbuka kian
lebar. Sudah hampir setengah menampakkan bagian dapur, suara tangisan bayi
kembali terdengar. Makin lemaslah tubuhku. Suaranya tidak main dekatnya,
terdengar dari dapur.
Ya Allah, tolong. Aku sendirian.
Tangisan makin nyaring, aku langsung
menjatuhkan HP, lalu menutup kedua telinga rapat-rapat sambil menunduk. Segala
macam doa aku lantunkan. Makin keras tangisan, makin keras juga aku berdoa.
Meskipun sudah aku tutup rapat-rapat lubang
telinga, suara tangisan itu masih terdengar. Aku memang suka dengan suara bayi
menangis karena terdengar lucu, tetapi tidak dengan yang satu ini. Suaranya
jauh dari kata lucu, lebih ke mengerikan.
“Pergi dari sini! Apa salahku?” Aku
memberanikan diri berbicara sambil menitikkan air mata.
Ternyata ucapanku membuahkan hasil. Tangisan
itu lama-kelamaan makin tidak jelas. Suara rengekan bayi mulai memudar.
Meskipun dalam ketakutan, aku memberanikan diri menoleh ke arah gorden.
Aku pikir ini sudah berakhir, ternyata ada
sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari tangisan bayi. Dengan mata kepala
sendiri, sekali lagi, aku melihat sosok wajah bayi tengah mengintip dari balik
tembok. Yang terlihat awalnya hanya sebatas kepala bagian atas, lama kelamaan
mata, hidung, dan mulut terlihat makin jelas.
Aku seakan-akan terkunci, dipaksa melihatnya
yang mulai merambat di dinding. Ukurannya seperti bayi prematur. Semua warna
kulitnya berwarna merah, bahkan ari-ari terlihat bergelantung dan berayun-ayun,
meninggalkan bekas merah di dinding.
Bayi itu merangkak turun. Napasku makin
tersengal-sengal seiring arah gerak bayi yang mengarah ke sini. Ia merangkak
sambil cekikikan khas bayi. Makin dekat, pandanganku pun makin buram.
Setelah aku merasakan sentuhan dingin dan
lengket di kaki, saat itu juga ruangan ini makin gelap. Aku yang tengah duduk
bersandar di tembok, ambruk ke kasur lantai.
***
Hari kelima aku sudah tidak lagi mendengar
tangisan bayi ataupun sosok yang mengintip. Teror berakhir, bersamaan dengan
Ayah yang meninggal dunia karena kecelakaan kerja, tiga jam berselang panggilan
telepon terputus.
Fakta menggemparkan dari beliau. Ternyata Ayah
menghamili Kak Sheila, sekaligus menyuruh untuk menggugurkan kandungannya yang
sudah menginjak lima bulan. (*)
Komentar
Posting Komentar