Di kampung ini, orang-orang mudah saja mengenali Kakek Slamat yang punggungnya melengkung bagai bulan sabit itu. Banyak hal yang membuat kakek yang bernama asli Mulkan itu dikenal, hingga namanya pun diabadikan sebagai nama sebuah tanjakan. Apabila melintasi jalan perkebunan yang paling tinggi tanjakannya, maka rumahnya terlihat jelas dari jalan yang kala itu dikenal sebagai tanjakan tengkorak itu. Sepanjang sepuluh kilometer jalan perkebunan yang juga dipenuhi jurang pada kiri dan kanannya, serta rumah penduduk yang jumlahnya berkisar tujuh puluhan unit itu, maka tanjakan di depan rumah Kakek Slamat, memang merupakan salah satu tanjakan yang patut diwaspadai oleh para pengendara yang melintas.
“Jalan di sana sangat buruk dan terjal. Tanahnya membuat
kendaraan sering kandas jika diguyur hujan lebat. Tanjakan yang paling
berbahaya adalah tanjakan di depan rumah Kakek Slamat.”
Apabila sekira satu tahun yang lalu Anda bertanya,
atau kebetulan menguping perihal jalan di depan rumah Kakek Slamat, maka
kalimat-kalimat tersebutlah yang kerap keluar dari mulut penduduk. Jika agak
keras berapi-api terdengar keluhannya, bisa jadi itu adalah si korban yang kendaraannya
pernah berjalan mundur dan terbalik. Atau apabila Anda mendengar kisah yang
pilu menyayat hati, maka bisa dipastikan itu dari keluarga si korban, yang tercatat
meregang nyawa sebanyak lima korban jiwa dalam kecelakaan di tanjakan tengkorak
itu.
Dan, sebenarnya, apabila ditelusuri betul jalan itu,
maka tanjakan tengkorak itu biasa saja dan tak terlalu tinggi. Tapi entah
kenapa, saat jalan itu masih beraspal hingga akhirnya rusak parah, banyak
sekali kendaraan yang sering mengalami gangguan atau kecelakaan. Konon
kabarnya, kata orang-orang, di sekitar tanjakan itu dulunya adalah bekas
kuburan dan dikenal sangat angker. Dan konon pula, di sana dulunya adalah hutan
belantara tempat pembuangan mayat pembunuhan.
***
Tapi begitulah. Dari semua belukar kisah pengendara
dan para korban yang luka-luka atau pun tewas di sana, maka kisah tentang Kakek
Slamat memang patut disimak sebagai pawang tanjakan yang sering memandu para
pengendara melintasi tanjakan tengkorak. Terlebih kala hujan lebat yang
berjam-jam, bahkan terjadi berhari-hari. Maka sudah bisa dipastikan jalan yang
rusak parah dan bertanah liat itu, menjadi momok bagi para pengendara yang melintasi
tanjakan yang di bawahnya terdapat rumah Kakek Slamat.
Rumah Kakek Slamat hanyalah rumah kayu yang sederhana.
Dari bawah tanjakan, maka disambut halaman rumah yang lumayan luas serta
ditanami berbagai rempah dan sayuran. Sehari-hari, Kakek Slamat memang bekerja
sebagai petani pisang, dan singkong di kebun belakang rumahnya yang lumayan
luas itu. Walaupun produksi kebunnya tidaklah banyak, namun itu cukuplah untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari dari penjualan hasil kebunnya itu di pasar
kecamatan.
Dan, sebenarnya, Kakek Slamat memiliki satu orang anak
laki-laki yang telah merantau di negeri seberang. Praktis semenjak kepergian
anaknya itu, Kakek Slamat hidup berdua sang istri, dan mengisi masa tua dengan
merawat tanaman di kebun depan dan belakang rumah.
Jauh sebelum ia dikenal sebagai pawang tanjakan untuk
memandu kendaraan yang melintas, maka Kakek Slamat dikenal sebagai seorang kakek
yang berbaik hati kepada orang-orang yang melintas. Tiap musim panen pisang, Kakek
Slamat kerap membagikan pisangnya dengan percuma. Bahkan rela berjalan kaki menuju
rumah tetangga terdekat yang berjarak dua ratus meter, hanya untuk membagikan hasil
kebunnya sebagai wujud rasa syukur pada Sang Pencipta.
“Ini ada sedikit rezeki dari Allah. Terimalah.”
Begitulah ucapan yang kerap terdengar dari mulut Kakek
Slamat ketika membagikan hasil kebunnya.
“Kakek itu baik. Saya melintas dan diberikan pisang dengan
percuma.”
“Ya, saya juga pernah melintas di sana. Kakek itu memang
baik. Kakek Slamat namanya, bukan?”
“Ya, betul. Kakek Slamat.”
Suara-suara itu, tentu saja berpusar dan berjalin pilin
berkat kebaikan-kebaikan yang dilakukan Kakek Slamat. Terlebih semenjak jalan
maupun tanjakan di depan rumahnya itu sudah rusak parah, dan kerap kali
mobil-mobil yang melintas kandas terkepung lumpur, maka Kakek Slamat hadir
sebagai pawang jalan dengan ciri khasnya yaitu kain ikat merah putih di kepalanya.
Tak jarang pula, Kakek Slamat rela menimbun lubang atau cekungan tanah itu dengan
kayu, batu, atau tanah yang tentu saja dilakukan sendiri tampa pamrih. Setiap
jalan itu berubah fisik karena faktor
cuaca dan berat kendaraan yang melintas, maka setiap itu pula Kakek Slamat
menimbun jalan itu dan mendoakan keselamatan bagi para pengendara yang
melintas.
Dengan seringnya Kakek Slamat terlihat berada di
tanjakan itu menimbun jalan, maka hal itu pun akhirnya mengundang simpati
orang-orang untuk ikut membantu menyumbang uang serta tenaga. Tidak sampai di
situ. Bahkan berkat suara-suara yang menyatakan keprihatinan akan kondisi
jalan, maka jalan itu pun akhirnya diperbaiki, dan kembali mulus dengan aspal
hitam legam seperti yang ada sekarang.
Namun seperti yang dinyatakan pada awal cerita. Bahwa
nama Kakek Slamat bukanlah nama sebenarnya. Nama muktahir yang aslinya adalah Mulkan
itu, tentu saja terlahir dari kebaikan-kebaikan yang dilakukan Kakek Slamat.
“Kakek itu penyelamat. Apa sebab ia dikatakan
penyelamat? Karena banyak kebaikan yang dilakukannya hingga ia dikenal sebagai Kakek
Slamat. Termasuk menyelamatkan seekor kucing dan merawatnya setelah kaki kucing
terlindas kendaraan saat melintas di jalan.” Seorang ayah, pernah menerangkan asal
mula nama itu pada anaknya. Seakan sudah mengetahui betul kehidupan Kakek Slamat
yang rumahnya juga pernah direnovasi menjadi rumah yang layak huni oleh relawan
sebuah yayasan.
Semuanya bermula semenjak jalan itu buruk dan dijuluki
sebagai tanjakan tengkorak. Perlu juga untuk diketahui. Sebenarnya, julukan
tanjakan tengkorak adalah julukan yang berlebihan, karena pada kenyataan hanya
pernah terjadi satu kecelakaan yang menewaskan lima orang akibat sang sopir
mengantuk. Tapi bagi penduduk kampung, kecelakaan itu sudah cukup membuat tanjakan
itu dijuluki Tanjakan Tengkorak di samping kecelakaan-kecelakaan kecil yang
sering terjadi pada sebelum dan sesudah tanjakan itu.
Ketika kecelakaan itu, Kakek Slamat dan sang istri
tidaklah berada di rumah dan tengah ke pulau seberang untuk berkunjung ke rumah
anak lelakinya. Dengan kondisi cuaca hujan lebat, maka jalan pun becek dan berlumpur.
Kecelakaan yang terjadi di pagi hari itu pun tak terelakkan, dan bagai terlepas
dari tuahnya arahan Kakek Slamat yang begitu tulus memperbaiki jalan yang
rusak.
Kecelakaan yang menewaskan lima orang itu pun menyita perhatian
ratusan pasang mata, untuk menyaksikan langsung ke lokasi kecelakaan yang
berada di sebuah jurang. Selain sibuk membicarakan perihal kecelakaan, orang-orang
pun akhirnya bertanya-tanya akan keberadaan Kakek Slamat dan sang istri. Rumah Kakek
Slamat yang terlihat reot pun tak luput dari perhatian.
“Itu rumah Kakek Slamat.”
“Ya, itu rumahnya. Tapi kenapa kakek itu tak ada
kelihatan?”
Rumah itu, rumah reot yang sebenarnya tak layak huni
dan pernah dihantam badai itu, sudah barang tentu kembali tersorot kamera
setelah sebelumnya disorot berkat penemuan kucing hutan yang dilindungi itu. Penemu
kucing hutan yang terjerat itu, tak lain dan tak bukan adalah Kakek Slamat yang
akhirnya banyak diwawancarai terkait penemuan yang menarik perhatian warga kala
itu.
Dan begitulah yang akhirnya didapat Kakek Slamat sepulang
dari berkunjung ke rumah sang anak dan cucu. Kakek Slamat dikunjungi orang-orang
dari yayasan amal, dan berniat merenovasi rumah Kakek Slamat menjadi rumah yang
layak huni. Dengan adanya niat tulus itu, Kakek Slamat pun begitu bahagia dan langsung
bersujud syukur akan rezeki yang didapat dari arah tak disangka-sangka itu. Selama
perbaikan rumah itu, Kakek Slamat pun tak tinggal diam, dan ikut bergotong royong
bersama para pekerja yang disuguhi singkong goreng dan rebus dari hasil kebun
yang belakangan sering diborong seorang dermawan, bahkan memberikan uang yang
lebih kepada Kakek Slamat dan istrinya itu.
***
Tentu tak berlebihan, saat pada akhirnya orang-orang
mengenal Kakek Slamat yang nama aslinya Mulkan itu, diabadikan namanya menjadi
sebutan Tanjakan Slamat di sebuah tanjakan. Nama tanjakan itu sendiri, resmi
diberikan setelah perbaikan jalan yang tak berselang lama setelah renovasi
rumah Kakek Slamat. Bagi orang-orang kampung, segala kebaikan Kakek Slamat
adalah inspirasi untuk selalu berkarya, dan giat bergotong royong untuk
kemajuan bersama.
Memang. Berkat kemajuan teknologi, kisah Kakek Slamat
pun dengan mudah dilihat dan ditiru oleh berbagai kalangan. Tapi walaupun
adanya kemajuan teknologi, maka hal itu tak berlaku sama sekali bagi Kakek
Slamat yang hidup sederhana, tanpa adanya telepon pintar atau smartphone di genggamannya.
Dan begitulah. Apa yang terjadi pada rumah yang telah layak
huni di depan tanjakan itu, pada akhirnya hanyalah awan hitam yang menyelimuti
hati orang-orang yang mengenal Kakek Slamat. Beberapa hari yang lalu, Kakek Slamat
baru saja berpulang setelah sempat pingsan setelah bekerja di kebun belakang
rumah. Orang-orang kampung yang mendengar kabar itu pun, begitu merasa
kehilangan akan sosok yang begitu menginpirasi.
Dan pada hari ini, maupun pada hari-hari selanjutnya, orang-orang akan tetap mengenang Kakek Slamat kala melintasi Tanjakan Slamat. Jalan perkebunan telah mulus, dan semenjak Kakek Slamat dikenal banyak orang, perlahan rumah demi rumah pun berdiri hingga membuat kampung semakin semarak, dan membuat Kakek Slamat tersenyum lebar di kuburnya. (*)
Komentar
Posting Komentar