Cerpen: SEBUAH MADRASAH DALAM GERBANG MUSIM

 

Sebuah madrasah dalam gerbang musim. Dalam timbunan matahari dan kambium hari-hari yang luruh dari cakrawala tinggi. Sebuah madrasah yang berdiri begitu sederhana di tepi bukit ini. Dengan sebuah mushala yang berdiri dengan begitu sederhana. Lantai yang bersih, tiang-tiang yang kuat, serta kitab-kitab tersusun rapi di sebuah lemari gantung yang sejajar dada orang dewasa.

Dan kau tentu senantiasa melewati pohon-pohon besar yang tumbuh di kiri dan kanan jalan setiap menuju rumah cahaya ini. Serta gerombolan gagak senantiasa terbang meliuk merendah dan hinggap di sana, dengan lengking suara yang parau mengukur musim. Juga kebun jeruk, dan bermacam rempah-rempah yang tumbuh ranum di sisi jalan setapak berbatu.

Adalah Haji Mahmud yang mula mendirikan madrasah sederhana yang membuat kampung  seolah kian  hidup bagai kecambah yang tumbuh di tanah tembikar pada musim hujan. Bagai kobar makna yang begitu sublim mengaliri sekujur pelosok kampung, melengkapi taman pendidikan Alquran dan madrasah lain yang telah sejak dulu berdiri. Madrasah yang diberi nama Pesantrean An-Nur sungguh capaian yang mulia dari kehidupan Haji Mahmud.

Sebagai seorang pengusaha di bidang konveksi dan peternakan sapi, beliau ingin menyedekahkan sebagian harta untuk kepentingan agama di kampung ini. Mengikuti jejak sang kakak yang seorang polisi. Dengan menyisihkan sebagian gaji, sang kakak mendirikan rumah singgah dan pesantren bagi anak yatim.   

Kau tentu punya cerita tersendiri  di balik didirikannya madrasah ini. Dulunya, di sana hanyalah semak belukar yang konon disinyalir tempat bersarangnya ular piton yang pernah memangsa seorang petani sawit. Kau tentu tak melupakan seorang penggembala sapi yang entah orang atau malaikat itu. Ketika kau perhatikan mulut lima ekor sapi itu terikat, serta merta kau bertanya-tanya. Kenapa mulut sapi-sapi diikat?  Atau apa terjadi pada sapi-sapi itu?

Tapi kemudian yang kau dengar hanyalah jawaban yang ajib dan menakjubkan. Bahwa sang pengembala sengaja mengikat mulut sapi-sapinya agar  sapi-sapi itu tak berdosa. Dalam artian, tidak memakan tanaman milik orang lain. Jika sapi-sapi itu sampai ke kandang atau di kebunnya, maka barulah sang pengembala akan melepaskan ikatan dari mulut sapi-sapi itu.

***

Sebuah madrasah dalam gerbang musim. Dalam timbunan matahari dan kambium hari-hari yang luruh dari cakrawala tinggi. Dan sesore itu, dengan tempias gerimis turun dari perut langit membasahi kebun-kebun hijau, kau seakan takjub dengan tarian cakrawala. Lengkung bianglala, kesiur angin, kicau beburung, serta harum aroma ilalang  menyeruak dari  tanah basah yang hanya  membuatmu serta merta  teringat akan seorang ibu dalam sunyi pusara. Tapi lebih dari itu, kata-kata bermakna dari seorang  senior itu.

“Lihatlah tetes hujan yang turun, siapakah yang tahu berapa jumlah tetesnya semenjak dunia ini tercipta hingga dunia menemui garis finisnya?” kau serta merta bagai terkesima. Membaca diri sendiri, oh betapa ketidakberdayaan betul-betul menyirami sekujur dirimu.

Seakan tak peduli dengan santri-santri lain berlalu lalang yang kala itu sibuk dengan hasil panen kebun, kau justru menikmati betul suatu ruang tersendiri dalam labirin usianya dengan pemandangan suatu petang yang dingin dalam timbunan masa silam. Pemandangan seorang ibu, dan seorang anak laki-laki yang nakal di pematang sawah sambil membawa hasil panen, begitu menggenang, begitu mengguguh dadamu. Sebuah jalan pematang, sebuah jalan setapak menuju rumah yang membelah tanah-tanah perkebunan, bagai hamparan jalan panjang yang mengirimmu menuju hari-hari pengorbanan di lorong madrasah penuh warna.

Persis dengan apa yang juga kualami di sini. Ruangan sederhana, bangunan sederhana, cara hidup sederhana, serta semacam ukiran dengan kata-kata yang begitu bijak dari seseorang yang gagah berani dalam lipatan abad  yang menua. “Apakah agama akan berkurang sedangkan aku masih hidup?”  Kata-kata  itu, kata-kata yang persis tertulis di pintu gerbang masuk begitu jelas, begitu jernih bagai alir sungai yang bening.  Kata-kata yang bagai mahfuzat itu, bagiku adalah semacam pemantik dalam labirin jiwa yang sungguh berlumuran dosa ini.  Seperti tanah retak, seperti tanah kering kerontang, betapa hausnya musim hujan dalam tarian langit yang begitu ikhlas mencintai bumi. 

Aku tentu masih teringat dengan kata seorang senior padaku. Kala itu, ia baru saja menamatkan pendidikannya selama sepuluh tahun, dan diminta berkhidmat menjadi seorang pengajar dengan segala capaian yang tentu dilaluinya dengan penuh pengorbanan. Dari panjang lebar bicaranya tentang agama, maka aku pun tahu betul, ia orang yang berilmu dan begitu fasih. Fasih bicara dengan kata-kata yang menghujam sanubariku.  “Apakah kau benar-benar serius belajar di sini? Kuncinya ikhlas dan sungguh-sungguh berkorban.”

Ya, aku memahami betul. Meskipun pada awal belajar di sini sempat ingin keluar lantaran jiwa berandalku masih mengental dan sering berkelahi, namun lambat laun aku menjadi kerasan di sini. Pakai kaca mata kuda,  begitulah istilah yang sering aku dengar. Hanya melihat ke depan tanpa melihat kiri dan kanan. Itu artinya, harus punya sifat tahamul, sabar dan tahan uji. Tak peduli apa pun ujian dan godaan yang terjadi di sini. Seperti contohnya seorang temanku yang keluar di tahun kedua  lantaran tak kerasan hidup di pesantren.

Konon kabarnya, ternyata ia dipaksa orang tua dan bukan dari hati terdalamnya.  Dan ketika kubayangkan riwayat kenakalannya, tentu aku hanya bisa memejamkan mata dan menghela napas panjang. Ibarat dalam pendakian yang maha tinggi menuju puncak sebuah gunung,  seseorang akhirnya  memilih berhenti, mengibarkan bendera putih dalam ketinggian musim dan cuaca yang membelit sekujut tubuhnya.

Tapi tentu tidak denganmu, seorang anak yatim piatu  yang juga seperjuangan di sini denganku. Jika melihat wajahmu sekilas, wajahmu mirip dengan wajahku. Postur badan yang bongsor, kulit yang hitam manis, dan wajah yang sama-sama memiliki bekas luka yang memanjang di sebelah kiri. Dan ini juga diperkuat dengan kata-kata dari banyak orang yang bilang kita ini mirip. Ah, wajah yang mirip, bukankah ini anugerah yang besar dari Allah yang maha tinggi?

***

Dulu kau memang anak yang nakal. Tapi bagai bangkit dari lumpur yang dalam, kau perlahan meninggalkan segala tabiat buruknya semenjak menimba ilmu di pesantren ini pada usia lima belas tahun. Aku tentu masih ingat. Adalah seorang seniorku  yang mula mengajakmu pada musim liburan sekolah menuju sebuah pulau. Ya, di sebuah pulau, di rumah Haji Rusin sang donatur tetap di pesantren ini, kau bagai mendapat cahaya.   

Sebagaimana perbincangan panjang antara kau dan Haji Rusin kala itu. Bahwa dulunya, Haji Rusin pernah  juga mengenyam pendidikan di pondok pesantren seperti dirimu. Walau berasal dari keluarga kurang mampu dengan sang ayah bekerja sebagai tukang bengkel, itu serta merta tak membuat Haji Rusin patah semangat dalam menimba ilmu di pesantren. Terlebih setahun sebelum tamat, kedua orang tua Haji Rusin meninggal dunia karena mengalami kecelakaan. Seorang anak muda dengan anak yang paling tua dari enam bersaudara, sungguh sangat sedih kala itu.

Tapi begitulah, hidup terus berjalan dan terus diperjuangkan. Berbekal ilmu agama dan keahlian menjahit di pesantren, Haji Rusin akhirnya tumbuh sebagai wirausahawan sukses di bidang konveksi, dan begitu rendah hati dengan kekayaan harta yang dimiliki. Bagi Haji Rusin, mujahadah dan istiqamah, serta tawadhu seperti bumi, adalah bagian penting yang harus dimiliki setiap santri selama menuntut ilmu.

***

Sebuah madrasah dalam gerbang musim. Dalam timbunan matahari dan kambium hari-hari yang luruh dari cakrawala tinggi. Belajar banyak ilmu seperti  tahfizh, muhawarah, nahwu, muqoronah, dan adab sehari-hari, membuat semangat hidupmu kian mekar bagai mekar putik jambu di sini. Tidak saja mendalami ilmu agama, tapi di sini juga diajari berbagai keterampilan seperti berkebun, berternak, jurnalistik, dan menjahit. Dengan suasana kampung yang asri dengan tarian udara yang  sejuk, dan ditambah lagi dengan pemandangan yang indah dari deret bukit dan mekarnya kebun sawah ladang petani, sungguh bagaikan sebuah negeri yang dihamparkan permadani dan disirami percikan misik atau kasturi.  

Persis yang juga kurasakan disini. Sekali lagi, dengan  ruangan sederhana, bangunan sederhana, serta cara hidup sederhana di sini, membuatku kian memahami makna hidup yang bagai roller coaster yang berputar. Berasal dari keluarga yang kurang mampu, itu tentu tak membuatku patah dan menyurutkan semangatku untuk menimba ilmu di sini.

Awal mula aku masuk pesantren, diawali dengan kisah seorang tetanggaku yang mengubah arah hidupnya menuju kehidupan penuh cahaya. Dari yang awalnya seorang pemabuk dan sering bikin keributan di terminal, serta istri yang seorang penyanyi malam, dengan begitu ajaibnya, tiba-tiba berubah dan bagai bangkit dari dunia penuh kabut. Kedua anak perempuannya yang telah baligh, dari awalnya tak berhijab, menjadi berhijab dan menjadi hafiz Alqur’an setelah menimba ilmu di pesantren.

Sungguh. Dengan perubahan sang tetanggaku tersebut, jelas membuat ibu takjub sekaligus terheran-heran. Dan, dari melihat perubahan itulah, pada akhirnya hati ibu tersentuh, dan memilih memasukkan aku untuk menimba ilmu di pesantren.

“Ibu hanya ingin kau berubah menjadi lebih baik, Yasin. Ingat akhiratmu, dan doakanlah ayahmu yang jauh di alam barzah sana!”

 Kata-kata dari ibu itu, jelas masih terngiang olehku. Tentang ayah. Ayah yang telah meninggalkanku sejak masih berumur 10 tahun, sungguh hanya air mata yang mengalir tiap aku mengingatnya. (*)

 

 

*) Budi Saputra. Lahir pada 20 April 1990. Sejak tahun 2008 ia menulis di berbagai media massa seperti Padang Ekspres, Lampung Post, Suara Merdeka, Batam Pos, Lombok Post, Rakyat Sultra, Kompas, Koran Tempo. Ia merupakan Penulis Emerging UWRF 2012, serta Penulis Kurasi Sibi Kemdikbud 2024 dengan judul buku “Jalan Tropis Puisi”.

Komentar