Cerpen: RIWAYAT GURU

 

        “Bajunya dimasuki, Dzulhanan. Di belakangmu ada Ibu Guru.”

Aku yang baru masuk sekolah, tersenyum kala melihat seorang murid yang tengah menegur temannya. Terlihat murid laki-laki kelas empat langsung memasukkan ujung seragam ketika melihat ke arahku. 

Aku mendekati mereka, lalu berkata sambil tersenyum ramah, “Sudah, biarkan saja.”

Melewati murid yang mengeluarkan ujung seragam, langkahku seperti biasa tertuju ke ruang guru. Hari ini aku berangkat sedikit telat. Rumah yang jauh dan semalam lembur membuatku bangun kesiangan. Beruntung masih ada waktu sepuluh menit sebelum bel masuk kelas berbunyi. 

“Orang miskin.”

“Orang miskin.”

“Orang miskin.”

Terdengar keramaian di sebelah kiriku. Aku menoleh, ternyata ada murid yang tengah di-bully. Murid itu jika tidak salah adalah satu dari beberapa murid yang bisa dikatakan miskin. Kata salah satu guru, ayahnya hanya seorang pemulung dan dia adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara. 

Dari penampilan, pakaian yang dia kenakan lusuh dan menguning, celana cingkrang, dan sepatunya bolong. Inginku ke sana untuk membantu, tapi ... biarlah, itu bukan urusanku lagi. Aku hanya menonton sebentar, lalu kembali berjalan. 

“Dancok! Malas temenan sama dia.”

“Anjing memang!"

Langkahku terhenti. Astaga, bisa-bisanya ada anak kecil teramat lancar menyebut kata-kata kasar! Aku saja yang sudah sebesar ini tidak pernah atau sangat jarang menggunakan kata itu. Terucap pun nyaris selalu di dalam hati dan tidak pernah pamer ke orang-orang. 

Aku berniat menghampiri mereka untuk sekedar memberikan teguran dan nasihat. Hal ini perlu agar mereka tidak terbiasa dengan kata-kata kasar. Paling tidak, bisa menyaring mana yang bisa diucapkan dan mana yang sebaiknya tidak diucapkan. Namun, baru beberapa langkah berjalan, aku putuskan kembali ke ruang guru. Lagi-lagi, ini bukan urusanku. 

Beberapa guru menyambut kedatanganku, bahkan ada yang menyinggung karena datang kesiangan. Aku membalas sambutan mereka sambil berjalan ke meja dan tempat kerjaku. Duduk sebentar sekadar mengistirahatkan diri, aku sempatkan membuka HP. Rupanya suamiku mengirim pesan. 

Aku yang sedang mengetik pesan balasan, tiba-tiba muncul dua murid perempuan. Mereka berlari menghampiri Ibu Puji.

Ada apa? Mereka kenapa? 

“Bu, Shahbaz dan Zabdan berkelahi.”

“Iya, Bu. Mereka berkelahi di kelas lima.”

Aku pikir ada apa. Ah, lagi-lagi mereka. Senang sekali dua anak itu berkelahi. Dulu aku pernah melerai dan menghukum mereka karena berkelahi di dalam kelas. Alasan memberi hukuman tentu supaya kapok dan berpikir ulang jika mau berkelahi lagi. Namun, keesokan harinya, orang tua dari dua murid ini mendatangi sekolah dan mencariku. 

Aku dimarahi karena telah menghukum anak mereka. Padahal hukuman bagi mereka hanya menyapu halaman sekolah, tapi ternyata para orang tua ini tidak terima. Aku bahkan nyaris dilaporkan ke polisi andai saja kepala sekolah tidak ikut campur membelaku. 

Dulu ketika SD, aku juga nakal. Pernah suatu waktu aku berkelahi dengan teman; saling jambak-jambakan. Guru tiba-tiba datang dan melerai perkelahian kami. Aku dan teman perempuanku itu dihukum berdiri berdua di lapangan dan disuruh membersihkan toilet. 

Pulang sekolah, aku mengadu ke Ibu dan Bapak. Aku tidak terima dihukum oleh ibu guru waktu itu. Namun, alih-alih orang tuaku satu pemahaman denganku, mereka justru membela ibu guru. Aku langsung dimarahi sekaligus dihukum tidak mendapat uang jajan.

Sekarang, ketika menjadi guru, aku paham kenapa waktu itu sampai dihukum. Tujuan menghukum dua anak yang berkali itu sebenarnya mudah. Ini berkaitan dengan kedisplinan. Biar bagaimanapun, perkelahian bukan hal yang pantas. Sayangnya, niat baikku justru membawaku ke dalam masalah besar. 

Ah, sungguh pengalaman yang unik. 

“Mereka kelahi di kelas lima.” Salah satu murid itu berucap. Sepertinya ada rasa takut jika melihat bagaimana gambaran raut mukanya. 

Ibu Puji tersenyum. Dia pun menjawab, “Sudah biarkan saja. Biarkan mereka berkelahi. Kalau capek, nanti juga berhenti sendiri.”

Mendengar ucapan Ibu Puji, aku tergelitik dan senyum-senyum sendiri. Bukannya berdiri dan langsung terjun mencari yang berkelahi, beliau justru menyuruh dua murid perempuan itu untuk pergi. 

“Paling bagus memang dibiarkan,” ucap Pak Septo yang duduk di sebelah mejaku. 

Aku menoleh sebentar ke arah Pak Septo. “Sebenarnya tidak bagus, sih, Pak. Cuma ....”

Terdengar Pak Septo menghembuskan napas. “Iya, saya juga tau. Tapi, mau bagaimana lagi. Kemarin saja ada murid yang baru datang jam sembilan. Mau saya nasihatin, tapi biarlah. Lebih baik kita cari jalan aman saja, kan, Bu? Kita fokus kerja. Saya takut berurusan dengan orang tua murid.”

Aku mengangguk, mengiakan ucapan Pak Septo. Setelah membalas pesan dari suamiku, aku pun bersiap-siap mengambil buku pelajaran karena tidak lama lagi bel sekolah akan berbunyi. Dua murid itu juga sudah pergi karena tidak mendapat bantuan dari Ibu Puji. (*)

 

Banjarnegara, 05 Maret 2025

Komentar