Cerpen: PULANG

 

Entah apa yang merasuki pikiranku beberapa hari ini. Imbauan pemerintah untuk diam dan bekerja di rumah demi mencegah penyebaran covid-19 membawa kewaspadaan setiap manusia. Bandung, tempatku mengais rezeki bak kota mati, membuatku merasa terdampar di negeri antah barantah. Tiada sanak saudara. Sendiri. Teman-teman kontrakan, sudah mulai pulang beberapa hari yang lalu. Kini aku hanya sendiri. Tiba-tiba aku ingat pulang. Ingat emak dan adik-adik di kampung. Tiba-tiba rindu dengan nuansa hijau persawahan.

Kesunyian ini menyiksaku. Mengingatkan semua kisah masa kecil yang sungguh indah. Rindu Bapak yang sudah tiada. Ingat Mak yang mulai renta. Juga ingat Anita, sahabat kecilku. Teman bermain di pematang sawah. Berlarian mengejar belalang. Mandi di air irigasi yang jernih, serta aktivitas lainnya yang sungguh indah dikenang. Hingga akhirnya ada rasa lain yang ikut hadir.

Namun, rupanya Anita tidak setia. Bukan salahnya tapi salahku sendiri. Beberapa kali dia memintaku melamarnya, namun selalu alasanku, aku belum siap. Hingga ia menerima lamaran Ropik, teman masa kecil kami. Aku kecewa. Kemudian kekecewaan itu membawaku untuk merantau. Mencari rezeki di negeri orang dan melupakan kisah antara aku dan Anita. 

***

Bus jurusan Bandung-Jakarta-Bengkulu membawaku menyeberangi selat Sunda. Penumpang bus tidak sampai separuhnya, karena memang dibatasi dengan kebijakan physical distancing. Bus melaju dengan cepat. Di setiap perbatasan kabupaten/kota, suhu kami diperiksa. Petugas yang berpakaian tidak standar alat pelindung diri (APD) ini, memastikan semua penumpang memakai masker. Juga mengimbau kami untuk melakukan isolasi mandiri setiba di rumah nantinya. Kami hanya bisa mengangguk. Ini prosedur standar.

Memang virus korona yang sangat membahayakan ini sudah banyak memakan korban jiwa, jadi wajar saja jika kita semua harus ektra hati-hati dan waspada. Manjaga jarak dengan orang lain, untuk mengurangi risiko menularkan atau ditularkan.

Turun dari bus aku berjalan perlahan masuk ke dalam gang. Aku menurunkan masker ke bawah dagu. Sesak juga hidung ditutup seharian. Anak-anak asyik bermain di halaman rumah. Mungkin mereka sudah bosan berdiam di rumah melulu. Kemarin saat di dalam kapal, aku sudah menelepon Rasti, adikku. Aku melakukan video call. Mak juga ikut terharu mendengar berita kepulanganku.

Sebenarnya emak sudah beberapa kali idul fitri memintaku untuk mudik, namun selalu aku beralasan sibuk. Libur hanya sebentar. Namun kini masih dua bulan lagi menjelang idul fitri, aku sudah tiba di depan rumah panggung kami.

“Aldi,Mak ingin memelukku, tapi aku mencegahnya. 

“Maaf, Mak. Jangan dulu,” Aku menjulurkan kesepuluh jariku.

Aku sayang Mak. Jika ada virus jahat di tubuhku, aku tidak ingin emak tertular.” Aku melihat genangan air di matanya. Memang waktu sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Hanya 14 hari. Apalah artinya dibanding bertahun-tahun perpisahan.

“Mela Dang, aku antar ke kamar,” Rasti mengajakku ke kamar bagian belakang. Aku memang meminta Rasti untuk menyiapkan kamar terpisah. Aku mengekor Rasti dengan tetap menjaga jarak. Di samping Rasti menempel seorang bocah laki-laki umur 5 tahunan. Kutebak dia adalah Fayyad, anaknya Rasti.

Kepulanganku di tengah wabah, ikut membawa petaka bagi Mak. Keluarga kami jadi dikucilkan. Tetangga memandang Mak sebagai sosok yang layak untuk dijauhi. Ya, aku dikhawatirkan membawa virus Covid-19. Selaku orang yang baru pulang dari kota yang sudah banyak terjangkit virus, aku digolongkan sebagai orang dalam pantauan (ODP). Harusnya memang aku mengisolasi diri jauh dari keramaian. Bahkan dari tetangga ada yang menuduhku positif korona.

Selang sehari kepulanganku, rumah kami didatangi petugas kesehatan berpakaian APD lengkap. Aku diminta keluar rumah menggunakan masker. Dengan jarak 1 meter, petugas memeriksa suhu keningku dengan alat. Normal. Kemudian ada beberapa pertanyaan yang dilayangkan petugas.

Aku berkata jujur. Apa adanya. Aku tahu ini prosedur standar yang harus kulalui. Aku berusaha setenang mungkin. Karena aku merasa tubuhku sehat. Hanya saja tatapan tetangga yang menonton aktivitas kami di depan rumah membuatku jengah.

“Makanya gak usah pulang dulu,bisik Bu Siwi, yang diaminkan tetangga lainnya.

Dengar-dengar dari Rasti, Bu Siwi inilah yang melaporkan kepulanganku kepada Anita, anaknya yang bekerja sebagai perawat di puskesmas kecamatan.

“Isolasi di rumah dulu ya, Dang,suara yang kukenali sebagai Anita, sebelum para petugas meninggalkan kami. Aku menatap tubuh yang diselimuti oleh APD lengkap itu. Hanya bola matanya yang kukenali melalui masa lalu kami.

“Mulai nanti sore, aku temalam di sawah saja, Mak,aku berpamitan setelah rumah kami sepi kembali, tidak ada lagi sorotan tetangga. Semua kembali dengan kesibukan masing-masing. Emak hanya mengangguk. Ada embun di sudut matanya.

***

Dang, Anita positif. Kini diisolasi di rumah sakit,” Rasti membawa kabar duka tersebut, saat mengantariku sembako.

Memang semenjak aku diisolasi di sawah, Mak dan Rasti bergantian mengantarkan kebutuhan pokokku. Kemudian aku masak sendiri.

Asrinya nuansa persawahan membuat memoriku datang lagi. Aku dan Anita, sering berlarian di atas pematang. Mencari belalang atau pun memasang tagang. Kemudian ikan yang tersangkut ditagang, akan kami bakar dan makan bersama.

“Kok bisa?” tanyaku mengambang.

“APD rumah sakit belum standar, risiko penularan lebih besar. Dia terpapar setelah pasien yang dirawatnya seminggu yang lalu positif Covid-19. Setelah Anita dicek, dia juga positif,” Rasti menjelaskan panjang lebar.

Memang beberapa ODP seperti diriku, kadangkala tidak jujur dengan riwayat perjalanan mereka. Sehingga berdampak buruk bagi petugas medis. Saat mereka berobat ke rumah sakit.

“Mudah-mudahan, Anita segera sembuh,doaku. Rasti mengaminkan.

“Kasihan sama anak-anaknya,ujar Rasti kemudian. Aku mengangguk. Memang Anita, sahabat kecilku itu sudah memiliki dua orang anak. Sekarang dia harus diisolasi.

“Katau petugas, Dang la buliah baliak, Rasti menyampaikan berita menggembirakan sebelum beranjak pulang. Hamparan padi yang menghijau, membuat waktu dua mingu ini berlalu dengan cepat. Beruntung di persawahan ini ada sinyal, sehingga aku tidak ketinggalan berita.

***

Aku baru saja selesai mandi, saat Ridwan, suaminya Rasti memanggil namaku, ada keributan di TPU.”

Kenapa?” tanyaku.

“Jenazah Anita ditolak warga.”

Apa? Aku tertegun. Dua berita sekaligus. Pertama, Anita meninggal. Innalilahi. Kedua, jasadnya ditolak warga.

Kami bergegas menuju kerumunan di depan TPU. Beberapa warga melakukan blokade, saat petugas medis akan menurunkan sebuah peti yang berisi jasad Anita.

Bu siwi menjerit. Tangisnya sedih dan pilu.

Aku berusaha menenangkan warga.

“Bapak-bapak, jasad ini tidak akan menulari kita. Semua sudah steril,jelasku kepada bapak-bapak yang sudah mulai tenang.

“Siapa yang menjamin, kami tidak akan tertular?” tanya Pak Bondo diikuti teriakan yang lain.

“Bapak-bapak, Anita punya hak untuk dikubur di sini. Kampung ini adalah rumahnya. Kata dokter, insya Allah kita tidak akan tertular,” Pak Kades sudah berdiri di sampingku, dan memberi penjelasan kepada warga.

Setelah beberapa perdebatan lagi. Akhirnya jasad Anita, diizinkan untuk dikubur di TPU. Petugas bergerak cepat menuju ke pemakaman yang memang sudah digali. Hanya Bu Siwi dan suaminya, serta Ropik-suami Anita yang mendekat ke makam. Sedangkan warga lain termasuk kami hanya memandang dari kejauhan.

Selamat jalan sahabat. Selamat jalan pejuang. (*)


Manna, 12 April 2020

             

Catatan:

Dang: Panggilan untuk kakak lelaki tertua suku serawai

Temalam: menginap

Tagang: memasang umpan pada kail lalu ditinggalkan, diperiksa berdasarkan kondisi tertentu.




*) Neto Kosboyo lahir di Tanjung Raman, 8 Januari 1984. Guru kimia di SMA Negeri 6 Bengkulu Selatan yang hobi membaca dan bercita-cita ingin jadi penulis. Saat ini sudah menulis 1 buah novel, 2 buah buku cerita anak, dan beberapa buku antologi cerpen. Buku kumpulan cerpennya yang berjudul “Anis dan Via, Sahabat Selamanya” lulus Kurasi SIBI Kemendikbud Tahun 2024. Untuk berkenalan lebih lanjut bisa dihubungi melalui email netokosboyo@gmail.com atau facebook Neto Kosboyo.

Komentar