Cerpen: PUKUL SERATUS

 

"Sekarang pukul berapa?" tanya Ayah.

"Pukul seratus," ucapku setelah melihat jam dinding. 

"Baguslah. Sekarang, ayo tidur."

Akhirnya. Aku sudah sangat lelah. Seharian ini, sama seperti hari-hari sebelumnya, yang kulakukan hanyalah sekolah dan belajar. Aku juga pusing melihat Ibu dan Ayah yang terus-terusan bekerja. Aku tidak tahu mengapa mereka sangat suka sekali bekerja. Lebih dari itu, aku heran kenapa semua orang di kota juga melakukan hal yang sama? Para orang tua akan bekerja terus-menerus dan semua anak-anak seusiaku, dimulai dari usia 15 tahun, akan belajar terus-menerus. Semua orang di kota akan berhenti bekerja atau belajar setelah pukul seratus setiap harinya. Angka sempurna yang menjengkelkan. 

Mungkin seharusnya aku tidak heran. Seharusnya aku terbiasa. Sama seperti teman-temanku yang lain. Mereka rela menerima aturan itu seolah memang itu adalah aturan yang normal. Aku bertanya-tanya, apakah aku betulan anak kandung orang tuaku dan betulan lahir di kota ini? Mengapa aku tidak bisa punya pikiran yang sama dan setuju dengan aturan tersebut?

Dulu aku tidak berpikir banyak, tapi seiring bertambahnya usia, aku jadi semakin merasa ini buruk. Aku harap ada seseorang yang punya pandangan sama denganku, tapi sampai detik ini, aku tak pernah menemukannya. Semua temanku, semua orang yang pernah kutemui, tak pernah benar-benar mau membahas soal aturan kota yang konyol itu.

"Nikmati saja. Ketika kamu sudah terbiasa dan menerima semua dengan lapang, itu tak akan jadi soal. Ini menyenangkan. Hidupmu terjamin, kepintaranmu juga akan menyelamatkanmu dari banyak hal terduga."

Itulah kata-kata Ayah sewaktu pertama kali aku berontak dan menolak untuk belajar sampai pukul seratus. Setelahnya, meskipun aku menangis, aku memohon sampai berlutut, ia tak lagi menanggapi. Ia hanya akan memberiku banyak buku-buku dan lebih banyak lagi setiap harinya. 

Jujur, benar saja aku memang pintar. Aku makan dengan baik dan tinggal di tempat yang nyaman, tapi apa gunanya? Maksudku, apa yang Ayah katakan soal kepintaranku akan menyelamatkanku dari banyak hal terduga? Aku bahkan tidak pernah menemukan satu pun orang jahat di kota ini. Kota ini sangat aman dan tenang. Terlalu tenang. Dan aku membencinya.

Maka dari itu, setelah ribuan hari aku hidup di kota ini, setelah suaraku tak juga didengar Ayah, aku mulai merencanakan sesuatu. Aku tidak bodoh, aku tahu tak mungkin aku memanipulasi waktu. Aku juga tidak mungkin tiba-tiba pergi dari kota ini dan meninggalkan kedua orang tuaku tanpa melakukan apa-apa.

Satu-satunya yang bisa dan mungkin kulakukan adalah menunjukkan kepada seluruh penduduk kota ini, bahwa ada seseorang yang berbeda dari mereka. Satu-satunya orang yang menentang aturan yang berlaku selama ini. Aku ada dan aku akan melakukannya. Mereka harus tahu bahwa aturan bodoh yang ada itu, adalah aturan yang membuat semua orang menderita. Aku yakin, meskipun tak ada satu pun dari penduduk kota ini yang terlihat keberatan soal aturan itu, mereka sebenarnya pasti sangat sengsara. Mereka hanya tak menunjukkannya. Mereka pintar. Pintar segalanya, termasuk menyembunyikan penderitaan. Sedangkan aku tidak mau. Aku sudah mencapai satu titik kebosanan dan kelelahan yang tak bisa kutoleransi lagi.

Harus ada yang mengubah aturan itu dan akulah orangnya.

***

Keesokan harinya, setelah malam tiba dan pukul seratus kembali datang, seperti biasa, Ayah menyuruh aku dan Ibu tidur.

Tentu saja aku tak benar-benar tidur. Aku menyelinap keluar dari kamar, berusaha agar Ayah dan Ibu tidak terbangun. Namun, aku tersenyum setelah menyadari kenapa aku begitu repot menyembunyikan pergerakanku? Mereka tak akan bangun. Tak akan pernah bangun, sebelum pukul nol. Semua orang di kota ini juga demikian. Sama saja.

Aku melangkah bebas keluar dari rumah dengan beberapa peralatan. Aku sambangi setiap toko jam dinding dan fasilitas umum. Tak sulit untuk menerobos masuk. Karena sepintar-pintarnya semua penduduk di kota ini, mereka selalu merasa aman dan tak pernah mengkhawatirkan apa pun. Jadi, tak ada yang akan curiga ketika aku mencongkel pintu toko-toko itu dan masuk, lalu menghancurkan semua jam dinding. Aku hancurkan angka-angka yang tercetak di jam dinding dari nol sampai seratus. 

Dari satu toko ke toko yang lain, dari gedung ke gedung yang lain, semua jam dinding yang ada di sana kuhancurkan.

Aku benar-benar tidak cemas, karena tidak ada yang bangun sama sekali. Sebelum pukul nol, seperti dugaanku. Karena begitulah aturannya, begitulah aturan bodoh itu bekerja.

"Kepintaran akan menyelamatkanmu dari hal-hal terduga."

Ayah, aku ingin tertawa mengingat kalimatmu itu.

Setelah semuanya hampir habis, di kota ini, jam dinding di semua tempat umum dan toko-toko, sudah tak lagi berbentuk, waktu masih berjalan semestinya. Hampir pukul nol, pikirku. Aku melihat ponsel dan waktu memang menunjukkan hampir pukul nol. 

Aku kembali ke rumah setelah pukul nol lebih sedikit. Ayah dan Ibu yang melihatku masuk ke rumah dengan kondisi berantakan, segera menyeretku pergi. 

 

"Aku akan dibawa ke mana?" tanyaku. Ayah dan Ibu tak menjawab.

Sepanjang jalan, semua orang berekspresi macam-macam. Ada yang tampak ribut, tampak cemas, menangis, menjerit dan ada juga yang diam saja. Sekaget itukah mereka? Karena telah lepas dari penderitaan? Dari kekangan waktu yang memuakkan?

Di tengah kota, para pemimpin telah berkumpul. Dapat kupastikan itu benar para pemimpin, karena mereka memakai pakaian yang berbeda. 

"Anakmu penyebab semua ini?" tanya salah satu dari mereka.

"Dia kembali setelah pukul nol. Dia pasti sudah pergi semalaman."

Betapa mudah Ayah mengatakan itu. Aku seperti diserahkan cuma-cuma untuk diantarkan ke neraka.

"Kau akan dihukum." Singkat, si pemimpin itu berkata. Lalu setelahnya, aku diseret dan ditelanjangi. Disaksikan oleh semua orang yang ada di sana. 

Sekarang, ini jadi sakit. Dibandingkan dengan luka karena pisau, mata-mata yang memandang tajam ke arahku lebih membuatku nyeri.

Ayah dan Ibu masih berdiri di tempatnya. Aku menatap Ibu dengan lekat, berharap ada sesuatu yang mungkin akan ia lakukan. Namun, ia tak bergerak sedikit pun. Ia tak melakukan apa-apa.

Tak lama kemudian, seorang algojo datang. Ia membawa sebilah pedang. Pedang yang tak pernah kulihat sebelumnya ada di kota ini. Pemandangan yang benar-benar baru. 

Aku tidak pernah berpikir yang seperti ini akan terjadi. Ini seperti bukan kenyataan, tapi rasa sakit ini membangunkanku dari segalanya. 

Mungkin, inilah yang kuinginkan. Di saat terakhir ini, aku menyadari bahwa inilah tujuanku yang sebenarnya. Kulihat semua mata di sana dan kutemukan sedikit kelegaan. Mereka semua keluar dari keterbiasaan. Ini tidak buruk, justru hari ini adalah hari yang indah dan sempurna. 

Aku tidak menyesal. Kematianku tak akan pernah kusesali. Tak perlu aku berpikir apa yang akan terjadi setelah ini. Aku hanya perlu tiada dan sudah. (*)

 

Komentar