Hari
mulai senja kala itu. Rosita duduk di kursi goyang, di tangannya ada sebuah
foto berbingkai rapi. "Ibu! Sita kangen... semoga Ibu bahagia di alam sana,”
bisik Sita dalam hatinya sambil membelai wajah Bu Marni di foto itu.
Dilihat
dari penampilannya banyak orang 'tak menyangka jika usia Sita lebih dari setengah
abad. Tubuhnya atletis tinggi semampai, terlihat lebih muda dari umurnya,
maklum anak dari seorang veteran tentara jaman perang. Ayah Sita seorang
pejuang kemerdekaan masa penjajahan kolonial, beliau telah wafat beberapa tahun
silam, banyak bekas luka di tubuhnya sebagai kenang-kenangan di medan perang. Datuk
Malik Ibrahim orang memanggilnya.
Mengenang
kilas balik kehidupan Sita semasa tumbuh besar di kampung halaman, sejak masih
balita bersama Nenek Julikah dan Etek Roslina. Setelah dibawa pulang dari
rantau oleh nenek dan ibunya karena bertengkar dengan ayahnya, waktu itu mereka
masih tinggal di Jambi dekat Telanai Pura. Perpisahan yang sangat mengharukan.
Bu Marni sudah tidak tahan hidup bersama suaminya. Datuk Malik Ibrahim sifatnya
keras dan kasar, maklum dia seorang tentara. Akhirnya mereka pulang kampung,
tinggal di daerah lereng Gunung Marapi antara Padang Panjang dan Bukittinggi.
Sejak
kecil Sita sudah terbiasa bekerja keras memecah batu, mengumpulkannya lantas
menjunjungnya ke tepi bandar untuk menjualnya kepada pengepul yang setiap sore
mobil-mobil truk itu mengangkutnya ke kota, uangnya untuk membeli kebutuhan
sehari-hari.
Semasa
Sita sekolah kelas I SDN Cangkeh. Bu Marni, Ibu kandung Sita pergi merantau ke
Medan, terakhir kali terdengar kabar beliau pergi ke Malaysia hingga meninggal di
sana. Kala itu usia Sita memasuki enam tahun. Tinggallah Sita bersama Etek dan
Neneknya.
Sebenarnya
Sita pernah sekolah sampai kelas tiga, tapi keluar karena enggak mampu bayar
uang sekolah dan beli baju seragam. Waktu Sita minta uang untuk sekolah, Neneknya
cuma bisa marah.
“Nek, ini
ada surat dari bu guru minta uang sekolah dan beli baju seragam,” ujar Sita
sepulang dari sekolah.
"Pitih
ka Pitih se, baranti selah sekolah!" nada
neneknya Sita berang. Selain dari pada itu Sita tidak tahan sering diejek
teman-teman sekelasnya karena tak punya bapak dan ibu.
Setiap
hari kerja Sita memecah batu di tepian sungai sambil menggembalakan sapi milik
Bu Roslina eteknya sita, istri kedua Datuk Zakaria.
Datuk
Zakaria berprofesi sebagai guru, beliau lebih banyak tinggal di rumah istri
tuanya karena lebih dekat dari tempat ia mengajar, sedangkan jatah ke istri
muda hanya tiga hari dalam seminggu.
Sore
hari sepulang menyabit rumput untuk makanan sapi, Sita bertemu dengan Bu
Guru Ida Royani.
"Sita!"
sapa Bu Ida.
"Ya
Bu,” jawab Sita sambil menuntun empat ekor sapi-sapinya.
"Beberapa
hari ini Ibu lihat Sita sudah tak pernah pergi sekolah, kenapa Sita?"
tanya Bu Ida memberi perhatian.
"Nggak
apa-apa Bu," jawab Sita datar.
"Kalau
ada masalah mari bicara sama Ibu," bujuk Bu Ida.
"Indak
ada masalah apa-apa kok Bu, cuma Sita saja yang malas pergi sekolah,” ucap Sita,
sementara raut wajahnya menyembunyikan rahasia.
"Sita,
mau 'kan tinggal sama Ibu? Soal uang sekolah serta semua perlengkapan belajar
biarlah Ibu yang membiayainya,” bujuk Bu Ida.
"Sita
indak berani jawab Bu, karena Sita juga dibutuhkan keluarga Etek Roslina,"
jawab Sita.
"Kalau
begitu biarlah Ibu usahakan nanti yang bicara dengan Etekmu Roslina itu."
Sita
hanya diam lalu minta permisi ingin pulang. "Sita pulang dulu ya Bu,
sapi-sapi ini sudah ingin pulang!" Sita berlalu meninggalkan kebisuan.
“Embooooh...!” bunyi lenguh Sapi seolah memberi jawaban.
Berkat
kesungguhan hati Bu Ida untuk meyakinkan Nenek Sita, akhirnya ia diizinkan
tinggal bersamanya. Sita pindah sekolah di tempat Bu Ida mengajar, di SDN
Durian Daun. Tiap pagi Sita pergi ke sekolah jalan kaki jaraknya dari rumah
lebih kurang dua kilo, bisa ditempuh selama setengah jam perjalanan. Sampai di
sekolahan, Sita mulai beradaptasi dengan lingkungan kelas baru serta teman
baru.
Sepulang
dari sekolah, Sita punya pekerjaan rutin mulai bersih-bersih rumah, cuci piring
juga mengasuh Andini anak bungsu Bu Ida yang masih balita. Sita sangat
penyayang sama kanak-kanak. Namun, sayangnya tidak semua anak-anak Bu Ida
menyukai Sita tinggal di rumahnya. Anton dan Heru dua lelaki yang sangat nakal
serta jahil suka menggaduh Sita, ada saja ulahnya hingga kadang membuat Sita
menangis, tapi Sita tak mau melaporkan kenakalan mereka berdua kepada Bu Ida
biarlah ditanggungnya sendiri. Sita berharap semoga suatu hari nanti mereka
akan berubah.
Pernah
kejadian yang tak mudah dilupakan oleh Sita waktu baru saja siap mengepel
lantai tiba-tiba datang Anton dan Heru baru pulang dari main bola di sawah,
kakinya penuh lumpur, tapi mereka berdua sengaja masuk rumah tanpa membasuh
kaki lebih dulu, tentu saja jejak kaki berlumpur itu melekat di lantai. Anton
dan Heru tak merasa bersalah melakukan itu sedangkan Sita hanya bisa menangis
tanpa berani melarang mereka berdua.
Beruntung Bu Ida melihat kejadian itu Sita pun mendapat
pembelaan.
"Anton
... Heru! Cuci kaki dulu sebelum naik rumah, lihat kakimu begitu banyak
lumpur!" hardik Bu Ida kepada Anton dan Heru.
Kedua
anak lelaki itu hanya bisa nyengir kuda kena marah Bu Ida.
"Mandi
sana!... ke batang air," suruh Bu Ida pada kedua anak lelakinya itu. Mereka pun berlari ke sungai aliran deras tak
begitu jauh di belakang rumah mereka. Walaupun sungainya kecil, tapi airnya
sangat jernih dan banyak bebatuan. Di tempat itu juga biasanya Sita
mengumpulkan batu untuk dijualnya. Peristiwa itu masih melekat dalam ingatannya.
Setelah
tamat Sekolah Dasar, Sita ikut Elok Yana kakak perempuan sepupu anak pertama
Etek Roslina. Beliau tinggal di daerah kecamatan Sungai Limau. Elok Yana jadi
guru dan mengajar di SMPN 01 Sungai Limau.
Kehadiran
Sita di rumah Elok Yana tentu sangat berarti dapat membantu pekerjaan rumah
tangga, Sita sudah terbiasa bekerja memasak dan mencuci.
Bila
hari Sabtu dan Minggu kadang Sita pulang kampung ke Rumah Etek Roslina, apalagi
kalau pas hari libur panjang. Selama di kampung halaman, Sita tak mau diam, ada
saja yang dikerjakannya mulai dari membersihkan rumah, memangkas rumput di
halaman, merapikan tanaman bunga, kadang juga menguras sumur bila musim kemarau
tiba. Sita berprinsip tak lamak nasi dimakan kalau tidak bekerja.
Setamat
Sekolah Menengah Pertama, Sita ingin mendaftar menjadi tentara. Namun, niatnya
tidak direstui oleh Etek Roslina dan anggota keluarga yang lain, akhirnya Sita
mendaftar di Sekolah Pendidikan Guru. Nasib baik berpihak padanya, dia lulus
ujian diterima menjadi murid SPG 02 Padang tahun 1988. Perawakan Sita tinggi besar
kadang-kadang berpenampilan tomboy, sifatnya ada sedikit kelaki-lakian, tapi
naluri kewanitaannya lebih kental. Teman sekolahnya memanggil Sita dengan
sebutan Inggih si kaki panjang, dia jago bermain bola voli.
Masa
remajanya tak seindah teman-temannya yang lain, Sita tak suka pacaran walaupun
ada juga anak laki-laki yang menaruh hati padanya. Bahkan pernah berkirim surat
padanya, tapi tak pernah diberinya harapan. Sehingga lama kelamaan anak lelaki
akan berpikir negatif tentang dirinya, jadi segan untuk mendekatinya. Sebenarnya
alasan Sita sangat sederhana tak ingin pacaran takut akan mengecewakan orang
lain, cukuplah berpacaran dengan satu orang calon suami jika nanti telah
berumah tangga. Sita tak ingin seperti kehidupan rumah tangga Ibu kandungnya,
kawin cerai, kawin cerai.
***
Sita
masih duduk di kursi goyang, sementara pikirannya entah ke mana, jauh
menerawang. Kisah perjalanan hidupnya demikian panjang. Memasuki hari senjanya kini
Sita dapat berlega hati mulai menikmati hasil jerih payahnya. Punya dua orang
anak, ibarat sepasang balam, satu laki-laki dan satu perempuan. Kedua-duanya
sudah bekerja. Si Abang kerja di kantor periklanan perumahan Mumtaz Garden Real
Estate, dulu kuliahnya ambil Design grafis, sementara Dedek kerja di
Penerbangan sebagai Pramugari Lion Air. Semua itu sudah sepatutnya disyukuri,
tak sia-sia menyekolahkan mereka berdua.
Masih
dalam lamunannya, ingatan Sita tertuju pada seseorang yang dapat membuat
hidupnya lebih bersemangat, dialah Abu Hasan, ayah dari anak-anak mereka
berdua. Sita menerima pinangan Abu Hasan setelah dua tahun tamat dari SPG,
pulang ka bako, nikah anak Mamak. Meskipun mereka dijodohkan,
tapi Sita merasa bahagia dapat pendamping hidup sebagai imam dalam rumah tangga
yang mengerti tentang agama. Seperti yang menjadi impian Sita selama ini, cukup
sekali menikah untuk satu suami dan seumur hidup. Walaupun dalam mengarungi
bahtera rumah tangga tetap saja ada kendala tapi, Sita dapat mengatasinya.
Setelah
delapan tahun menjadi guru honorer akhirnya Sita diangkat juga menjadi Pegawai
Negeri Sipil, sedikit demi sedikit kehidupan ekonominya mulai membaik. Banyak
suka dukanya selama menjadi guru, di antaranya yang Sita ingat. Awal-awal Sita
mulai mengajar di SD Durian Jantung ada satu orang murid perempuan ketahuan
membawa handphone ternyata di dalam handphone itu ada gambar dan
video yang tak pantas ditonton oleh anak-anak seusia mereka.
"Lusi,
ikut Ibu ke kantor!" imbau Sita sambil membimbing tangan Lusi memasuki
ruang kepala sekolah.
Sita
memberikan handphone itu kepada Pak Zainal selaku kepala sekolah.
Lusi
hanya diam tertunduk malu. Bu Sita lantas membuatkan surat untuk diberikan
kepada orang tua Lusi.
"Berikan
surat ini pada orang tuamu, agar mereka yang mengambil handphonemu di
sekolah." Sita menyodorkan sepucuk
surat ke tangan Lusi.
Lusi
mengambil surat itu terus keluar dari ruangan kantor tersebut.
Besok
paginya SDN Durian Jantung geger oleh teriakan seorang wanita yang mencari Bu
Guru Sita.
"Mana
dia Sita itu, berani-beraninya dia mengganggu keluarga denai!" nada
bicaranya meninggi.
"Tenangkan
pikiran Uni Kas dulu,” bujuk Bu Guru Ani.
"Aden
indak tarimo, kecek anak den guru baru itu mengatakan
keluarga Sikas telah rusak."
Nada
Sikas marah, muncungnya bersungut-sungut.
"Ayo!
Uni Kas awak antarkan ke ruang kepala sekolah,” bujuk Bu Guru Ani.
Siapa
orang yang tak kenal dengan Orgen Tunggal Sikas Elektone. Si Kas dan
keluarganya sebagai pengelolanya, dan anak-anaknya sebagai artis penyanyi.
Untung
kemarahan Sikas dapat diredam setelah melihat sikap Bu Guru Sita cukup
bersahabat.
"Mari
kita bicara dengan hati yang damai, pemikiran yang tenang. Uni Kas telah salah
terima mendapat laporan dari anak Ni Kas."
Melihat
sikap Bu Sita yang tenang akhirnya luluh juga hati Uni Kas dibuatnya.
"Jadi
baa kejadian yang sebenarnya?” tanya Uni Kas.
“Anak
Uni membawa handphone ke sekolah, mereka beramai-ramai dengan kawannya
menonton video dalam handpone itu, hingga membuat ambo curiga, rupanya
mereka sedang menonton video orang dewasa itu sebabnya handpone itu ambo
tahan."
Uni
Kas cuma menunduk setelah mendengarkan penjelasan dari Bu Sita, ada perasaan
bersalah dalam hatinya.
"Uni
Kas! Ndak ado ambo mengatakan keluarga Ni Kas telah rusak, tapi
ambo menasihati anak Ni Kas, mengatakan indak elok awak menonton video orang
dewasa itu nanti rusak awak olehnya,” jelas Bu Sita dengan tenang.
Uni
Kas cuma mengangguk dan dia minta maaf.
"Maafkan
Ambo dan anak Ambo ya Bu Sita,” ucap Uni Kas penuh harap.
"Percayalah
kepada kami, Ni Kas! Kalau di sekolah mereka anak kami, tanggung jawab kami,
kalau di rumah baru tanggung jawab orang tuanya,” jelas Bu Sita, menambah rasa
hormat Uni Kas kepadanya.
Mengingat
semua peristiwa itu Sita cuma bisa senyum dikulum. Sebenarnya banyak lagi
peristiwa yang dia alami selama puluhan tahun menjadi guru. Semua tersimpan
rapi dalam memori di kepalanya. hari semakin senja Matahari kian condong ke
Barat, sebentar lagi kabut menyelimuti malam.
***
Tin
... tin ...tin!
Tiba-tiba
suara klakson mobil membuyarkan lamunan dirinya, ingin melihat siapa yang
datang. Sita pun beranjak turun dari kursi goyang menuju pintu.
"Assalamu'alaikum
Oma! Lihat nih cucu Oma sudah besar," sapa Mona, sambil menyerahkan Nadia
ke tangan Oma dari gendongan Mona.
"Wa'alaikumussalam
... Hem! Buruknya badan cucu Oma, cucu siapa ini... cucu siapa yang cantik ini,”
suara Oma kegirangan menimang cucu.
Sementara
itu Umar dan Abu Hasan mengangkut barang-barang dari mobil membawanya ke kamar.
Sambil lewat Abu Hasan menyapa.
"Begitu
ya Oma! Kalau sudah ketemu Cucu lupa sama suami," ledek Abu Hasan terhadap
sikap Sita yang lupa menyalami suaminya. "Ummi, ikut Abi yuk!"
"Ada
apa, Bi?"
"Ada
deh! Sebentar saja, sini yuk!"
Sita
mengikuti Abu Hasan ke kamar.
"Tutup
mata Ummi dulu, ya!"
"Achk
... pakai tutup mata segala?"
sergah Ummi Sita. "Memangnya ada apa ya?" buat Sita penasaran.
Sita
mengikuti saja saran Abu Hasan berjalan sampai dalam kamar.
“Teng tereng!”
Abu Hasan mengeluarkan dua buah tiket dari
dalam sakunya.
"Lihat
Mi! Apa yang ada di tanganku?”
"Tiket
pesawat! Maksudnya apa Bi?" tanya Sita bercampur kaget.
"Tiket
ini hadiah spesial buat Ummi untuk merayakan hari ulang tahun pernikahan kita,”
jawab Abu Hasan semringah.
"Jadi
juga kita ziarah ke makam Ibu ke Malaysia ya, Bi.”
Sontak
hati Sita menjadi terharu campur girang, hingga tak terasa air matanya pun
jatuh meleleh di pipi.
"Abi
ikut program Wisata Literasi bersama Minangakabawa Tour and
Travel ke Kuala Lumpur to Melaka, nama Ummi sudah Abi daftarkan juga,
dua hari lagi kita berangkat,” jelas Abu Hasan.
"Makasih
ya Bi!" Ummi Sita mencium tangan Abu Hasan.
"Ini
ada satu bait puisi untuk Ummi, dengarin ya!"
Taman
Puisi
Kucari
puisi
Sampai
ke negeri jiran
Kuala
Lumpur
Twin
Tower
Taman
air menari
Melaka
Kampung
Morten
Melayu
asri
Dipeluk
sungai
Tak
ada yang lebih puitis
Dari
bulat matamu
Manis
air liurmu
Dikaulah
kekasih
Sebenar-benar
kucari
Lalu
kutidur pulas dipelukanmu
Taman
paling puisi.
*) Jonson Effendi, Penulis buku Sehimpun Puisi Ya Allah Habibah (2022). Lahir di Palembang 23/09/1968, berdarah Minang, Bukunya telah terbit di antaranya: kumpulan puisi berjudul "Panggilan Hati" penerbit Al-Qalam Media Lestari. Antologi "Wangian Kembang." Konpen 2018 Kelantan Malaysia, Antologi "Satu yang Tumbuh" Antologi cerpen "Mata Cinta" diterbitkan oleh "RoseBook Penerbit." Antologi "Jejak Sajak di Batu Runcing", "Antologi Puisi Kebangsaan, Bendera Sepenuh Tiang", "Antologi Asap Riau Duka Serantau", "Antologi Surat Cinta Untuk Peneroka". Rumah Seni Asnur. Puisinya juga pernah dimuat pada Majalah Online Neokultur, pilarbangsanews.com, Media Online Travesia.com. Jonson Effendi juga pernah belajar di Teater Katak TVRI. Untuk lebih lanjut menghubungi beliau silakan kontak Hp: 085357353345 (WA), Email: jonsoneffendiani1991@gmail.com, FB: Jonson Effendi, FB: Rumah Baca Ajo Piaman, IG: @abiummiumarandini, IG: @rumahbacaajopiaman, Beliau juga sebagai anggota Forum Lingkar Pena Sumbar.
Komentar
Posting Komentar