Cerpen: PENYAKIT ANEH YANG SEMBUH DI TANGAN ORANG ANEH

 

Sudah enam bulan Amin sakit. Sakit yang aneh, bahkan sangat aneh. Semua dukun dan tenaga medis yang menanganinya tak bisa menyimpulkan perihal apa nama penyakit yang diderita Amin. Hal itu pun berdampak pada tak ditemukannya obat dan jamu yang tepat untuk mengobati penyakit aneh itu.

    Penyakit Amin disebut aneh karena kadang ia kehabisan seluruh tenaganya, ia hanya bisa telentang lemas dengan mata terbelalak ke atas seperti menghitung rusuk rumahnya satu per satu, lalu ia menggetarkan bibir dan berurai air mata. Tapi sebaliknya, kadang ia malah seperti kelebihan tenaga secara tiba-tiba; meloncat-loncat, berlari kencang, berputar sambil berteriak, memecah batu dan benda keras lainnya hanya dengan telapak tangan kirinya, meninju tanah hingga menyisakan lubang yang dalam.

Satu hal yang sama terjadi pada Amin saat tak punya tenaga atau saat kelebihan tenaga; ia pasti menyebut nama Rinda dan cecak putih, biasanya ia ucapkan sambil melirik ke sekitar, kemudian tertawa.

***

            Cecak itu selalu muncul di daun pintu rumah Amin menjelang magrib, ketika sisa surya menyisakan sapuan warna oranye di ufuk barat. Warnanya putih, sangat putih, lebih cerah dari laburan kapur dinding di sebelahnya. Sepintas tampak menggemaskan dengan tekstur tubuh yang lembut dan kenyal. Beda dengan suaranya yang karat dan seperti sesak berat—sangat menjengkelkan, suara itu seperti mantra sihir yang mengundang kematian untuk yang punya rumah.

            Suna, ayah Amin selalu mengincar cecak itu setiap waktu untuk ia habisi.

            “Coba kau tampak sepintas saja, akan kuhaluskan tubuhmu serupa debu!” ancamnya dengan wajah merah, gigi bergemeretak sambil mengepalkan tangan.

            Sudah beberapa kali Suna meluncurkan sabetan, pukulan, dan lemparan ke cecak itu, tapi sia-sia. Kecuali hanya menyisakan bekas gencetan dan retakan pada pintu dan dinding. Cecak itu tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Membuat Suna menggeleng dan semakin marah.

            “Sihir anjing!” pisuhnya.

            Sedang Murti, ibu Amin yang lumayan memiliki cara yang lembut dalam kemarahannya, mengoleskan bahan perekat di daun pintu yang biasa ditempati cecak putih itu. Ia berharap agar tubuh cecak itu rekat dan mengakhiri hidupnya—atau setidaknya terperangkap tak berdaya—di bahan perekat tersebut.

            Berminggu-minggu Suna dan Murti menunggu cecak itu bernasib malang di daun pintu, tapi bermingu-minggu pula mereka kecewa karena cecak itu tetap hidup. Ia masih aktif muncul di daun pintu pada bagian yang lain, masih dengan suara khasnya yang sekarat. Setiap kali mendengar bunyi cecak itu, Amin akan tertawa nyaring sambil menyebut cecak putih dan nama Rinda. Kadang diucapkan dengan tenaga yang berlebih sambil menonjok-nonjok tembok. Kadang diucapkan dalam keadaan lemah tak berdaya.

            “Cecak putih itu. Rinda itu,” getar bibir Amin berulang-ulang.

            “Hewan sihir itu, perempuan sihir itu,” sambung Suna dengan nada penuh amarah.

            “Tidak! Keduanya tak ada hubungannya dengan sihir,” balas Amin sembari melirik ke wajah Suna.

            “Lalu kenapa selalu kau sebut nama hewan dan manusia itu?”

            Amin hanya tersenyum dalam ketidakberdayaan. Senyum yang tumbuh di antara dengkulan tulang-tulang.

***

            Rinda bisa dipastikan selalu melintasi jalan setapak yang membentang di samping rumah Amin setiap tanggal tua bulan hijriah. Jalan itu sebenarnya sudah tak digunakan lagi; disampiri rumput dan semak berduri, sebagian dipenuhi batu-batu dan kerikil tajam. Hanya saja, entah karena maksud apa nenek tua itu tetap selalu berusaha memaksakan diri untuk lewat di jalan itu. Biasanya ia lakukan saat menjelang magrib, sambil lalu ia gendong kain kafan yang di dalamnya berisi barang bawaan sebagaimana penjual jamu menggendong dagangannya.

            Pekerjaan aneh yang dilakukan Rinda rutin tiap bulan itu membuat keluarga Amin mulai curiga, terutama sejak Amin menderita penyakit aneh dan kerap menyebut namanya. Suna mengambil tindakan untuk hal itu. Ia mulai menanyakan Rinda perihal apa yang ia lakukan. Rinda menjawab dengan jujur bahwa dirinya harus mencari kayu bakar ke hutan Bun yang jalan terdekat dan termudahnya hanya bisa dilalui di jalan itu.

            “Tapi  mengapa harus dilakukan setiap menjelang magrib? Mengapa dilakukan hanya sekali dalam sebulan pada saat tanggal tua? Dan mengapa selalu membawa gendongan kain putih di punggungmu?” Suna berwajah merah. Tak ada senyum sedikit pun saat bicara.

            “Itu hanya bagian dari kesenanganku saja, kalau menjelang magrib udara lebih sejuk. Diambil setiap tanggal tua sebulan sekali, karena pada saat-saat itulah banyak kayu yang sudah bergelimpangan di tanah. Sedang kain putih itu wadah bekal makanan dan minumanku.” Rinda menjawab dengan tenang. Sesekali jemari keriputnya merapikan juntai uban yang mencuat dari tepi kerudungnya. Kedua matanya begitu cerlang, menyiratkan sebentuk kejujuran.

            “Kalau diambil menjelang magrib justru itu waktu yang tak masuk akal, kamu kan bisa kemalaman di hutan. Terus yang kedua, aku tak pernah melihat kepulanganmu di jalan ini lagi dan aku yakin kamu pasti tak akan mampu membawa kayu yang banyak,” sergah Suna.

            Rinda terdiam. Mulutnya menganga, menampakkan gigi depannya yang tinggal sebiji dengan polesan warna hitam. Kedua matanya melirik ke atas, seperti berpikir.

            “Aku curiga, jangan-jangan kamu lewat jalan ini hanya untuk sebuah ritual sihir,” suara Suna lantang. Wajahnya semakin memerah. “Jika itu yang kau lakukan. Awas kau!” Suna menuding lurus, jari teluknya nyaris menyentuh mata Rinda.

***

            “Rinda, cecak putih. Rinda, cecak putih.”

            Amin terus menjerit sambil terpejam. Tangannya diangkat ke atas, sesekali dilambaikan, seperti tengah memanggil dua hal yang disebutnya. Tapi dirinya hanya tergolek tak berdaya di atas kasur. Tubuhnya semakin kurus; seperti hanya tinggal tulang yang mendengkul di beberapa bagian yang diselimuti kulit tipis.

            Kembali dua mata Murti melinangkan air bening. Mata yang bengkak itu tampak merah dan beku. Padu dengan pipi yang mulai menyusut dalam bingkai wajah yang senantiasa muram dan kusam. Ia cium kening anaknya. Ia belai rambut kusamnya. Lalu seperti yang selalu ia lakukan; kedua tangannya erat menggenggam tangan Amin dan diciumnya dalam waktu lama.

            “Bu! Katakan ke cecak putih itu, katakan juga kepada Rinda. Aku ingin segera sembuh,” ucap Amin dalam ketidaksadaran.

            Murti hanya bisa terisak dan memeluknya dengan erat.

            Lantas Suna datang. Berdiri dan mematung. Ada lelehan basah di pipinya. Ia mulai berpikir untuk membuang daun pintu rumahnya agar cecak putih itu tak muncul lagi. Ia mulai berpikir untuk menanami jalan di samping rumahnya dengan pohon agar Rinda tak lewat lagi.

***

            Setelah Suna menyebarkan kabar kepada tetangganya bahwa Rinda seorang penyihir, semua tetangganya tidak percaya. Dalam pandangan mereka, Rinda adalah nenek tua yang baik bahkan sangat baik.

Ia selalu membantu setiap orang yang membutuhkan; menyapu halaman, mencuci, menyiram bunga, mencabut rumput, bahkan tak jarang ia bergabung dengan para lelaki untuk membantu gotong-royong perbaikan jalan hingga membersihkan selokan. Yang lebih membuat banyak orang empati kepadanya; Rinda selalu menolak jika diberi uang sesudah ia bantu-bantu. Orang yang ingin memberinya uang harus memaksanya dengan dalih-dalih yang bisa mengubah isi hatinya, tapi jarang yang berhasil, kecuali hanya orang-orang tertentu. Ia tak menggunakan kesempatan membantu orang untuk kepentingan dirinya mendapat uang. Ia lebih memilih mencari kayu ke hutan dan menjualnya ke pasar meski harus dilalui dengan tertatih-tatih dan napas tersengal.

“Jadi mana mungkin orang berhati mulia seperti dia tiba-tiba tega mau menyihir orang.”

“Benar! Nyai Rinda sejak dulu memang terkenal orang yang penolong. Tak mungkin seperti itu.”

Semua warga menolak keras pernyataan Suna. Bahkan sebagian mengecam Suna sebagai penyebar fitnah. Suna seperti seorang pendekar yang sudah gagal menyerang dan sebaliknya malah kena tendang dari banyak penjuru.

“Tapi saya melihat dengan mata saya sendiri. Di tiap tanggal tua bulan hijriah, nenek itu pasti lewat di jalan yang tak dipakai di dekat rumah. Bahkan meski jalan itu sudah ditanami pohon, nenek itu masih tetap saja lewat, sambil membawa buntalan kain kafan. Ayo kalian nanti ke rumah jika tidak percaya,” bela Suna dengan suara yang lantang. Orang-orang terdiam dan saling melirik.

***

            Kali ini Amin melompat-lompat sambil menyebut nama Rinda dan cecak putih. Ia sedang kelebihan tenaga. Beberapa tinju telah membuat dinding rumahnya retak. Suna dan Murti cuma bisa mengintip di celah pintu sambil menangis.

Beberapa saat kemudian, Amin kehilangan tenaganya. Ia ambruk dengan bunyi tulang-tulang yang menghantam lantai. Saat Suna dan Murti mendekat. Ia menunjuk ke daun pintu; seekor cecak putih kembali merayap sambil berbunyi sekarat.

“Tangkap dia, Yah!”

Ayahnya kian meteskan air mata karena ia tak pernah berhasil menangkap cecak ajaib itu.

“Aku akan sembuh jika cecak itu berhasil ditangkap.” Bibir Amin yang pucat semakin gemetar. Ayahnya mencoba berdiri dan melangkah untuk menangkap cecak itu meski hatinya sudah yakin; cecak itu akan sama seperti hari-hari sebelumnya; hilang seketika.

Baru memulai langkah tiga kali, tiba-tiba dari luar pintu ada tangan yang begitu entengnya menangkap cecak itu hingga si cecak lemas tak berdaya dalam jimpitan orang itu.

“Nyai Rinda?” Suna terkejut, beberapa kali ia mengucek mata, untuk memastikan bahwa ternyata Rindalah yang bisa menangkap cecak putih itu.

“Terima kasih, Nek! Akhirnya kaulah yang bisa menangkap cecak penyebab datangnya penyakit dalam tubuhku,” ucap Amin seketika, suaranya tegas, seperti sudah sembuh total, membuat Suna kebingungan antara mau percaya atau tidak. Kedua matanya alih menatap hanya pada dua arah; ke wajah Amin dan ke wajah Rinda yang sedang tersenyum.

“Dia itu penyihir, Min.”

“Tidak! Dia bukan penyihir, Yah!”

Amin dan ayahnya sama-sama menatap seekor cecak putih di jemari Rinda yang meronta-ronta seperti ingin lepas. Lantas Rinda dengan santai menyantap cecak itu, dikunyah-kunyah lalu ditelan seperti sedang menikmati makanan lezat.

“Aneh! Dia pasti penyihir, Min.”

“Tidak. Meski aneh dia bukan penyihir, Yah!” (*)

 

 

A.Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media  antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah FEMINA, dll. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra.  Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020). Sedangkan buku puisinya yang berjudul “Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” memenangkan lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura.

Komentar