Teriakan
beberapa penumpang membangunkan Setyo. Ia lalu mengucek mata dan mengedarkan
pandangannya, menatap wajah penumpang yang panik, menoleh keluar kaca bus yang
ditumpanginya. Mencari musabab terjadinya kegaduhan.
"Tadi
berpapasan dengan bus lain, nyaris tabrakan," Setyo menoleh ke kiri.
Seorang pemuda berambut ikal, hitam manis, dan berkaca mata yang duduk di
sebelahnya menjelaskan tanpa diminta.
Dia
pikir tadinya bermimpi, ibunya mengomel panjang lebar karena pergi tanpa pamit.
Lalu sesuatu mengejutkannya.
Setyo
tidak tahu sejak kapan pemuda itu menghuni kursi di sebelahnya, kantuk yang
menyerang membuat matanya tidak bisa diajak berkompromi.
Setyo
membuka Android, ada sembilan panggilan tak terjawab dari ibu. Dia lalu
mengecek pesan di chat WhatsApp.
"Kamu
sudah di Bengkulu, Yo?" salah satu isi pesan dari Ibu.
"Aku
sudah sampai, Bu," balas Setyo berbohong. Jelas-jelas dia sekarang sedang
menuju ke Yogya berangkat tadi sore naik bus jurusan Manna-Yogya.
Maafkan
aku, Ibu. Bisik hati Setyo. Ingatan tentang ucapan ibu kembali terngiang,
"jangan rusak kebahagiaan keluarga ayahmu, Nak." Hingga tadi terbawa
mimpi. Dia merasa bersalah menentang nasihat Ibu. Tapi rasa penasaran tentang
siapa ayahnya membuat dia nekat, mengikuti instruksi pesan yang dia terima
beberapa hari yang lalu tanpa memberi tahu Ibu. Pesan dari seseorang yang
mengaku bernama Fauzan, anak Ayah.
"Saya
mendapatkan nomormu dari anak Pak Imam Abdul, yang kuliah di Yogya," itu
awal bunyi chat masuk ke gawainya. Lalu mulailah terbuka tabir yang selama ini
melingkupi Setyo, rahasia siapa ayahnya.
"Berangkatlah
besok, tiket sudah saya pesan. Ayah sakit keras. Ada yang ingin beliau
sampaikan kepada anak-anaknya," desak Mas Fauzan. Tidak ada nada marah
atau kecewa dengan sosok sang Ayah, dari interaksi mereka beberapa hari ini.
Atau dia bisa menyamarkannya?
Setyo
sebenarnya ragu. Apalagi dia belum pernah bertatap muka langsung dengan Fauzan.
Pernah satu kali melalui video call,
namun dia tidak terlalu mengenal anak tertua dari istri pertama ayahnya itu.
Namun dia merasakan ketulusan dan juga penerimaan terhadap dirinya.
Setyo
masygul. Ragu. Dia belum pernah berpergian sejauh itu. Apalagi ibu melarangnya.
Setyo
mengeluarkan android dari saku, belum sempat mengetik kode pembuka layar,
lelaki di sebelahnya bersuara lagi, "baru setengah Sembilan," seolah
menjawab alasan Setyo membuka androidnya. Setyo terdiam sejenak. Mengalihkan
pandangan kepada para penumpang yang masih mengucapkan syukur karena terbebas
dari maut, dan sebagian lain sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing seperti
tidak terjadi apa-apa. Bus melaju dengan kecepatan sedang membelah malam.
Seperti
ibu-ibu di belakang mereka, melanjutkan gosip mengenai artis yang mengalami
KDRT, melapor ke polisi, kemudian mencabut laporan itu. Jelas sekali kekecewaan
mereka terhadap sosok sang penyanyi idola. Mereka seolah lupa baru saja
terbebas dari musibah.
"Kita
akan tiba subuh lusa, jika perjalanan lancar," suara lelaki di sebelahnya
menjeda lamunan Setyo. Dia menoleh, memberikan kesan menghormati lawan
bicaranya.
"Abang
juga mau ke Jogja?" Setyo berusaha membalas keramahan teman perjalanannya.
Pemuda itu tersenyum, Setyo tiba-tiba merasa dekat dengan sosok tersebut. Dia
hanya mengangguk. "Ronny, panggil saja Mas Ronny," susulnya lagi.
Setyo menyambut uluran tangan Ronny sambil menyebutkan namanya.
"Mas,
asli Yogja?" tanya Setyo, karena melihat raut wajah Ronny yang memang
seperti orang jawa. Ronny menggeleng, sambil membetulkan gagang kaca matanya.
"Saya
tadi naik di Krui, saat kamu sedang tertidur," Setyo mengangguk.
Mereka
kemudian sama-sama terdiam. Ronny sibuk dengan gawainya. Setyo kembali
memejamkan mata. Merenungi keputusannya ini. Maafkan aku Ibu, bisiknya lagi.
Dia
tahu ini salah. Dia tahu menemui ayahnya akan menoreh luka di dada Ibu. Namun
apakah berdosa jika seorang anak ingin mengenal ayah kandungnya?
"Jangan
kau usik keluarga ayahmu. Ibu sudah berbahagia hidup seperti ini."
Setyo
melihat kejujuran dan keteduhan di wajah Ibu. Kalimat itu kembali bergema di
telinganya.
Lelaki
seperti apa yang membuat ibu menjadi sesabar ini. Setyo semakin penasaran. Walau
hidup tanpa ayah, namun mereka tidak merasa kekurangan. Meskipun tidak bisa
dibilang berlebih. Ibu mengajarkan Setyo untuk hidup penuh syukur. Mensyukuri
nikmat yang dianugerahkan agar nikmat itu ditambah yang maha kuasa.
"Kamu
kuliah di Yogya?" tanya mas Ronny memecah keheningan. Setyo menggeleng,
"terus?" kejar Ronny.
Setyo
masih terdiam. Masih ragu untuk jujur dengan teman sebangkunya. "Kalau
aku, mau bertemu ayah dan keluarganya," Ronny memberi penjelasan tanpa
diminta. “Seorang lelaki yang membuatku ada di dunia ini, namun seolah tiada.
Tidak bertanggung jawab. Orang yang membuat lamaranku ditolak, karena calon mertua
menganggapku anak yang tidak jelas asal usulnya,” Ronny bercerita dengan
emosional. Setyo diam, tidak menyela.
“Orang
yang telah membuatku sengsara. Ibu meninggal saat aku berumur 10 tahun, ibu
tersiksa karena orang yang dia cintai pergi tanpa kabar berita. Kemudian aku
harus hidup bersama nenek yang miskin. Hidup dalam kesederhanaan dan
kemelaratan,” Ronny melepas kaca matanya yang berembun, dan mengucek matanya
yang berair.
Setyo
menatap Ronny, dari tampilannya dia tidak sesederhana atau semelarat yang
diceritakannya. “Saat aku SMA, ada seseorang yang mengaku teman ayah yang
memberikan kami modal untuk membuka warung nasi, kebetulan nenek pandai
memasak. Akhirnya perlahan hidup kami mulai berubah,” Ronny seolah menjawab
keraguan Setyo. “Tapi aku masih membencinya, aku akan membuat perhitungan,”
Ronny mengepalkan tangannya.
Di
belakang mereka duduk, kedua ibu-ibu itu tertawa, jelas mereka tidak mendengar
apa yang diceritakan Ronny kepada Setyo, sehingga tidak ada simpati sedikitpun.
Bus masih melaju dengan cepat, kali ini melewati jalanan rata dan mulus. Setyo
sempat menguping, penyebab ibu-ibu itu tertawa habis menonton video tiktok
tentang ustazah yang berdakwah mengenai poligami, namun setelah pengakuan
seorang jamaah adalah istri siri suami ustazah, membuat ustazah tersebut
mendadak pingsan. Setyo pernah menonton video itu dan ikut tergelitik.
“Kalau
kamu keperluan apa?” tanya Ronny kembali, memecah kebisuan di antara mereka,
menenggelamkan obrolan ibu-ibu tentang mereka yang tidak mau dipoligami. Setyo
terdiam, antara mau berkata jujur atau sebaliknya.
“Main
ke tempat saudara,” kalimat itu yang keluar dari bibirnya. Setyo lega. Ini
bukan kebohongan. Sempat terpikir dengan Setyo kalau ada kemungkinan mereka
saudara. Tapi dia menepisnya. Kok bisa mereka dipertemukan di bus ini?
***
Setelah
perjalanan yang panjang, Bus akhirnya tiba di terminal. Tidak menunggu lama,
ada WA dari Mas Fauzan.
Di
pintu utara, sudah ada yang menunggu, mobil Pajero hitam plat xx. Setyo dan
Ronny saling berpandangan sambil memperlihatkan layar Android masing-masing.
Dalam diam mereka berjalan bersama mengikuti instruksi yang ada.
Mereka
diantar ke rumah sakit, di luar banyak wartawan dan media yang bergerombol
mencari berita, seperti menunggu kabar dari seorang public figure. Setyo
dan Ronny dibawa masuk melalui pintu samping. Mereka tiba di sebuah ruangan
yang bernuansa putih dengan belasan manusia yang berada di dalamnya. Semua
bermuka mendung.
"Ayah,
ini anak Ayah dari Sumatera telah tiba," seseorang yang diduga mas Fauzan
menyambut mereka. Semua mata tertuju kepada Setyo dan Ronny. Tubuh Setyo bergetar
saat menoleh ke sosok yang terbaring di atas dipan yang membuka matanya dengan
perlahan. Beliau adalah seorang ustaz panutan yang sering ia dengar
tausyiahnya.
"Semua
anak Ayah, sudah berkumpul, silakan lanjutkan wasiat Ayah," suara Mas
Fauzan terdengar kembali.
Sang
ustaz mulai bicara, bibirnya bergetar, kepala Setyo mulai berkunang-kunang. Dia
merasa seperti berada di dalam mimpi. Androidnya bergetar, panggilan dari Ibu.
"Ibu, aku sudah bertemu ayah," ujarnya. (*)
Komentar
Posting Komentar