SUDAH
begitu
lama, semenjak terakhir kali Barman pindah pesantren, lalu pindah rumah, lalu
pindah kota, dan seterusnya – dia tidak pernah lagi mendengar soal kabar
temannya dahulu, Alif, yang kini sekonyong-konyong datang dan mempertampilkan dirinya
dengan bangga, semata-mata hanya untuk melamar adik kandungnya. Ketika dia ucuk-ucuk
menghampiri Barman di mimbar dalam suatu kajian minggu lusa kemarin. Tanpa salam,
tanpa surat undangan. Dan pulang dalam kondisi senyum berseri-seri. Entah
kenapa. Padahal Barman tidak mengiyakan atau bahkan mengatakan apapun perihal
permintaannya itu.
“Jadi, bagaimana, Bang?” Nur tetap
sabar menunggu kepastian dari Abangnya itu. Ya, mau berbuat apa? Barman hanya
satu-satunya harapan. Satu-satunya anggota keluarga yang masih dia punya.
Satu-satunya yang bisa menjadi walinya saat pernikahan kelak.
Barman
terdiam di pelataran rumah. Masih menenggak kopinya yang sudah tersisa ampas
sedari pagi. Tatapannya kosong menuju perkebunan pisang yang berada di hadapan
rumah mereka. Namun, tampak dalam pupil matanya yang semakin besar – dalam
lorong kegelapan bola matanya yang tak berujung – terbayang-bayang olehnya
wajah si Alif ketika pulang dari kajian itu. Wajahnya yang berseri-seri dengan
gigi-gigi kuningnya, seolah-olah senyuman itu – Barman merasa – seperti
senyuman yang mencemooh. Senyuman dalam citra yang begitu hina.
Cawan
kopi yang dipegang Barman tanpa sadar bergetar. Gagangnya lalu dicengkeram kuat-kuat,
sebagaimana dia membayangkan sosok Alif dahulu ketika masih satu kehidupan
dengannya tengah dicengkeramnya kuat-kuat pula. Lekas, dicekiknya sampai
regang.
“Bang?”
Nur tergelagap. Perlahan-lahan meja di mana cawan itu bertempat, ikut bergemetar,
ikut terguncang-guncang. Semakin keras, semakin keras…
“Abang!” Nur berteriak, lantas
memegang kedua bahu Barman. Sontak, cawan yang dicengkeramnya menggelinding
dari tangan lalu jatuh lalu pecah. Tahu-tahu jantung Barman yang sudah tua
poros-porosnya itu berdenyut begitu cepat. Kepalanya mendadak pening. Kakinya pula
terasa kebas.
Sesaat Barman mengangkat sarungnya
dan lekas-lekas balik ke dalam kamarnya yang terbungkus kelambu rombeng, Nur
tahu lelaki kolot itu tidak bakal membuka pintu kamarnya lagi. Pasti, dan Nur
yakin sekali. Sampai Tuhan mencabut rasa
dendamnya yang masih mengakar dalam hati.
Di atas ranjangnya, Barman terisak-isak.
***
“Aku
mau jadi kusir! Aku mau jadi kusir!”
Suara itu bergemuruh dan hampir
merubuhkan atap kamar mereka yang reot semenjak badai tahun baru. Di malam
hari, anak-anak yang satu lantai berada dengan mereka lantas buru-buru
berkumpul dalam satu kamar. Begitupula dengan lantai-lantai yang lain. Total
ada empat lantai dalam satu gedung asrama. Sehingga keempat-empatnya itu tengah
sibuk bergumul bersama markas mereka masing-masing yang dari jauh hari sudah
ditentukan, siapa, kapan, dan di mana misi mereka akan berlangsung. Tentunya,
saat para pengurus asrama dan ustad-ustad mereka sedang memiliki rapat di
masjid.
“Ayo, buat formasi!” Zulfikar, teman
Barman yang satu tingkat ranjang dengannya, memang sudah piawai untuk mengelola
jalannya permainan. “Cepat berbaris!”
Orang-orang yang sudah dipecah
menjadi dua tim, lantas berpisah. Yang perannya terpilih menjadi kuda, segera
menungging dan membentuk huruf ‘L’, lalu masuk ke dalam bokong kuda-kuda lain.
Yang terpilih menjadi penunggang, bersiap-siap di belakang barisan, mengatur
strategi. Sedang yang menjadi penyangga, orang paling depan untuk menahan
kuda-kuda – biasanya disebut kusir – harus mempunyai caranya tersendiri agar
bisa mendapatkan posisi tersebut. Mengingat, peran kusir adalah peran yang
terenak. Tidak membutuhkan tenaga atau pikiran sama sekali. Hanya menonton
jalannya permainan dengan muka cengengesan sembari menertawakan para kuda dan
penunggangnya yang jatuh-jatuhan, lalu kesakitan.
“Aku mau jadi kusir!” Sulaeman
membentak.
“Aku duluan yang mau jadi kusir!” Serta-merta
Alif membusungkan dadanya, dan menendang lemari.
Sudah terbiasa dengan kondisi begini,
Zulfikar menyiapkan rencana lain. Yakni seleksi khusus berupa adu panco.
Meski Alif bertubuh kecil dan tampak
seperti kerempeng, namun bukan berarti tenaganya tidak sebanding dengan
Sulaeman yang menggandrungi sabuk hitam dalam pencak silat. Apalagi Alif itu
dipuja-pujakan karena dikenal sebagai ‘jagoan’ oleh seluruh penghuni asrama.
Pula, seluruh santriwati. Jika bukan karena bapaknya, anak itu pasti sudah
tidak ada lagi bentuknya. Bisa jadi sudah diarak oleh anak-anak asrama.
Dan tak usai-usainya permainan kuda
tomprok itu dalam tiga tahun ke depan, terhitung saat mereka masih menduduki
bangku SMP, tetap menjadi bagian dari rutinitas wajib selain salat. Juga, tak
usai-usainya Alif menjabat sebagai kusir, lalu Barman dan kawan-kawan, kumpulan
orang-orang lemah serta tak ada pendirian, membudak seperti kuda yang dipecut bokongnya
memakai keegoisan dan keserakahan masa-masa remaja pubertas tanpa pengawasan.
Dari langit-langit kamarnya, Barman mendengar
samar-samar bunyi derap kaki kuda, pun ringkikannya, celatukan tali pecut, gesekan
roda delman, teriakan kusir yang berkata: “Ngyihhaaa!!!”
Hal
itu membuat Barman semakin terisak-isak…
***
Tiga
jam berlalu dan Nur mendapati suara panggilan Barman dari dapur. O, ini tidak
sesuai ekspektasinya. Nur kira, abangnya yang sungguh sensitif itu, bakal
murung tiga tahun.
Diangkatlah kakinya menuju ruang
belakang dengan langkah yang sengaja dipelan-pelankan. Di sana, tampak Barman
duduk di meja makan sembari menggado gula merah dari kulkas. Pakai tangan,
masih dalam kondisi mentah, dan asyik sendiri. Bahkan, kehadiran Nur tidak
dianggapnya sama sekali.
Nur
lalu menelan ludah. Sekujur tubuhnya tremor. “Bang…” Dia mendekati Barman,
berjongkok-jongkok agar terasa lebih sopan dan menghormatinya yang sedang tidak
baik-baik saja. “Bang… Maafkan Nur ya, Bang… Nur sudah bersikap terlalu lanc–”
“Kapan
Alif mau melamar?”
Nur
terdiam. Dapur itu seketika menjadi lengang. Seperti ada yang datang-datang
menimpuk dadanya dengan batu proyek, Nur sungguh tercengang. Jantungnya
mendadak berhenti berdetak.
“Kapan
Alif mau melamar, Nur!”
“Be-besok,
Bang! Besok!”
Alih-alih
merespon jawaban adiknya, Barman malah sibuk menjilat satu per satu jarinya yang
tersisa remah-remah gula merah. Dan dicium-ciumnya sesaat.
Gegas,
Nur keluar dari dapur. Di kamarnya, dia melompat ke atas kasur, membenamkan
wajahnya dalam bantal, lalu berteriak amat girang.
***
Dia
datang saat khataman bulanan tanpa membawa kitab. Lekas, berakhir dijadikan
tontonan seluruh santri di depan masjid dengan nasihat yang berbalut hinaan
pula candaan yang kurang senonoh oleh pengurus mereka sendiri selama setengah
jam lebih sampai acara tutup pada Magrib. Ya, dialah Sulaeman, yang mencetak
rekor pertama kali dalam sejarah berhasil mengalahkan Alif dalam adu panco
ketika berebut kembali soal peran kusir kemarin. Hari kamis, pukul sebelas.
“Kitabku disembunyikan olehnya…”
“Ini tidak bisa kita biarkan!”
“Aku ingin mencekiknya! Tapi, pasti
dia akan melapor ke bapaknya, lalu boleh-boleh aku bernasib dipenjara!”
“Kita bisa lakukan rencana lain!
Rencana licik!”
“Betul! Kita harus melakukan sebuah
revolusi. Semacam penggulingan pemerintah! Seperti yang Ustad Rudi bilang di
kelas. Kalian masih ingat? Ketika suatu negara yang memiliki asas demokrasi,
namun rakyatnya malah dibikin depresi. Pula, didiskriminasi. Maka, sudah
sepatutnya rakyat wajib melakukan revolusi! Begitu juga dengan kita. Yang lemah
dan diasingkan terus menjadi kuda, yang lumayan terpandang dan pintar berhak
menjadi penunggang, lalu yang paling kuat dan punya bekingan boleh menjadi
kusir – peran idaman semua orang. Oh, ketidakadilan macam apa ini? Penindasan
macam apa ini!”
“Ya, benar-benar!”
“Kita sedang ditindas! Diinjak-injak!”
“Ayo, semuanya! Kita lancarkan aksi
kudeta!”
Di dalam pojokan kamar itu, di belakang
semua orang dan segala sorak-sorai, Barman termenung. Tertegun.
***
Malam
cepat untuk tiba. Namun, sosok yang membuat Barman menghela napas itu, rupanya
lebih cepat lagi. Rapih betul Alif datang. Tidak seperti dulu ketika dia masih
menjadi bocah asrama yang hobinya kabur lewat sawah, dan pulang-pulang
ditangkap pengurus dalam kondisi bermandikan becekan.
“Nur!” Sekonyong-konyong, Alif
menyapa Nur yang sengaja disembunyikan oleh tubuh gempal Barman supaya
laki-laki itu tidak seenaknya seperti kera pada adik kandungnya. Maklum, tabiat
Alif dulu masih terbayang dalam otak Barman. Jadi, Barman agak sulit
mempercayainya. Kendati Barman sudah memiliki keberanian yang telah diasahnya kini,
semenjak berpindah kota.
Minyak
wangi Alif menguar ke mana-mana. “Halo, kawan!”
“Ha-halo…” Barman merasa hidungnya
tercekik. “Maaf, bisa minggir sedikit?”
“Oh, tentu-tentu.” Alif melepaskan
pelukannya dari Barman. Canggung. “Woah, baru kali ini aku mendengarmu dengan
nada seperti itu, kawan! Rasanya masa-masa kita dalam asrama telah berlalu begitu
cepat.”
“Ya, ya, ya…”
“Dan, perihal kejadian malam itu… Sebenarnya
kau tahu? Bukan aku pelakunya, Man. Maaf, aku baru memberitahumu sekarang...”
Barman terdiam. Suasana menjadi
sangat canggung dan beku.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi
pada Zulfi–”
“Ayo kita masuk. Sebentar lagi azan
Isya berkumandang. Tidak baik berlarut-larut di luar.”
Alif menutup mulutnya. Setetes bulir air mata lalu turun
dari matanya, perlahan-lahan.
***
Kali
ini mereka akan memainkannya dengan maksud terselubung. Aktor-aktor telah sedia
di tempatnya masing-masing. Kecuali Barman, dia termenung di pojokan.
“Aku mau jadi kusir!”
Seperti biasa, Alif lalu menjalani perannya
selaku kusir. Sejauh itu, masih lancar. Sampai-sampai Sulaeman berteriak. Keras
sekali.
Pengurus-pengurus asrama seketika
terbangun.
“Ada apa ini?”
“Alif, dia mendorongku! Sehingga
ketika Zulfikar melompat, punggungku terbentur sakit sekali! Oh, pedih sekali!”
Sigap, pengurus-pengurus asrama membuka
baju Sulaeman dan menemukan terdapat beberapa luka memar yang telah dia buat-buat
tadi sore dengan kain kerik juga sapu lidi.
“Ti-tidak! Aku tidak melakukan itu!
Dia fitnah! Kalian fitnah! Akan kulaporkan kalian semua pada bapakku!”
“Cukup!” Pengurus asrama yang paling
tua membentak. Lantas, menoleh ke arah Barman di pojokan.
“Barman… Apakah itu benar?”
Dalam mimik wajah yang begitu lugu
dan seringkali dijadikan bahan olokan oleh kakak kelas maupun teman-temannya sebagai
wajah yang tampak bodoh, Barman berbisik-bisik. Hanya pengurus asrama, Barman,
dan Tuhan saja yang tahu apa yang dia katakan pada malam itu.
“Dia pula menarik kerah bajunya dan
menendang Sulaeman tepat di dada. Dia pula yang memaksa kami untuk melakukan
permainan ini…”
Malam berikutnya, Barman memilih untuk pindah
kota.
Dan
sampai sekarang, rasa malu masih tertanam dalam hatinya. Bukan rasa dendam. Isakannya
menandakan ada rasa penyesalan, sekaligus sakit yang tertahan.
“Aku
merestuimu, Alif…” Sejurus kalimat itu keluar, masa lalu mereka tinggallah sebagai
memori belaka. (*)
*) Gagah Pranaja Sirat, lahir dan
menetap di bogor 12 Desember 2007. Sekarang, tengah menempuh pendidikan SMA
jenjang kedua di sekolah Boash Ashokal Hajar. Di 1 tahun awal menulisnya, dia
sudah mendapat lebih dari 50 juara dan prestasi dalam lomba kepenulisan fiksi
serta non-fiksi. Baru-baru ini dia telah memenangkan dua cabang lomba sekaligus
dengan sama-sama juara pertama pada cabang lomba cerpen dan cabang lomba puisi
dalam rangka Festival Kenduri Sastra Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, serta
cerpennya ‘Mondar-Mandir’ memenangkan juara kedua pada Bulan Bahasa Universitas
Gadjah Mada. Profil prestasi tentang dirinya sudah diterbitkan dalam Majalah
Inspiratif oleh Duta Inovatif Indonesia dan Youth Idea Community. Lihat ia
lebih lanjut melalui instagramnya: @gahpraja.
Komentar
Posting Komentar