Tidak tahu tepatnya sejak kapan, tapi Kin punya kemampuan khusus yang membuatnya mampu melihat bagaimana dan dengan cara apa seseorang akan menghadapi kematian. Tujuh hari atau kurang dari itu, sebelum seseorang akan meregang nyawa, jika Kin secara sengaja atau tidak, menatap mata orang tersebut, ia akan tahu dengan detail segala sesuatu yang menyertai kematiannya. Karena itulah, sebisa mungkin, Kin mengisolasi dirinya sendiri dari dunia luar. Ia tinggal di salah satu rumah di sebuah kota yang dicap sebagai tempat paling tidak disukai. Ia sengaja datang ke sana, membeli rumah yang katanya seratus persen angker dan mengerikan, lalu bertahan hidup dengan bekerja sebagai animator di internet dan sesekali mengurus beberapa hal di luar, sambil mengenakan kacamata hitam dan berupaya keras tidak menatap mata siapa pun ketika terpaksa harus berbicara.
Dulu, ketika masih
sangat muda, Kin berpikir bahwa kemampuannya adalah imajinasi semata. Ia kerap
menceritakan semua yang ia lihat kepada orang tuanya dan mereka hanya
mengangguk-angguk, lalu menyuruhnya diam ketika sudah terlalu banyak mengoceh.
Mereka berpikir bahwa Kin kecanduan menonton film horor.
Namun, pada akhirnya
orang tuanya menyadari bahwa memang ada yang salah. Mereka mulai membawa Kin
kepada ahli jiwa dan ia diberikan pengobatan yang kemudian tetap tak mengubah
apa-apa. Ibunya percaya bahwa Kin menerima karma dari dosa leluhurnya di masa lalu,
sedangkan sang ayah berpikir lebih logis dan menganggap bahwa Kin memang sakit.
Kedua orang tuanya kerap bertengkar, sampai mereka pun memilih berpisah.
Ketika tinggal bersama
sang Ibu, Kin menjadi lebih tersiksa. Ibunya selalu membawa orang yang dianggap
pintar dalam tanda kutip, ke rumah mereka. Kin selalu diberikan air yang sudah
dibacakan mantra-mantra, dan tak lupa, ritual-ritual aneh terpaksa harus
dilakukan olehnya. Semua atas dasar keinginan sang ibu supaya Kin tak lagi
punya kemampuan bisa melihat bagaimana orang akan mati.
Berbulan-bulan
kemudian, Kin memutuskan untuk berbohong. Ia mengubah sikap menjadi lebih ceria
dan berkata hampir setiap hari kalau ia sudah tak lagi mendapatkan penglihatan
apa pun ketika menatap mata seseorang. Kin menahan diri untuk tidak bercerita
setiap kali itu terjadi. Tidak mudah tanpa seseorang yang bisa dijadikan tempat
berbagi, tapi Kin tahu ia akan merasa lebih baik setelah itu.
Tepat sekali, apa yang
Kin lakukan ampuh membuat ibunya mengizinkan Kin pergi merantau. Meskipun
sebenarnya itu hanya akal-akalan Kin, karena dua tahun setelah itu, setiap kali
ibunya menelepon dan menyuruh pulang, Kin selalu berdalih bahwa ia tak diizinkan
pulang karena terlalu banyak pekerjaan. Kabar baiknya, sang ibu sudah menikah
lagi.
Namun, ada yang
diam-diam menggerogoti Kin setiap malam. Ingatan demi ingatan tentang hal-hal
yang tak pernah bisa ia lupakan di masa lalu. Bagaikan pisau dingin nan tajam
yang tak disangka-sangka memotong jari telunjuk ketika tengah asyik mengiris
daging, menimbulkan perih yang merambat hingga ke perut. Kin merasakan itu
selalu dan yakin akan berakhir menjadi orang gila yang bertelanjang di jalanan
suatu hari nanti.
17 Januari, 2018
Asisten rumah tangga
bernama Mbak Sumi yang sudah sepuluh tahun tinggal dan bekerja dengan keluarga
Kin sedang pergi ke pasar. Saat sedang memilih sayuran, sebuah truk pengangkut
beras yang remnya blong kehilangan kendali dan berbelok ke beberapa kios di
pinggir jalan. Di antara bangunan kios yang rapuh dan kepala truk, tubuh Mbok
Sumi terhimpit, beberapa pelanggan juga jatuh tersungkur, tapi mereka masih
bisa bangkit berdiri. Mbok Sumi tidak bisa ke mana-mana. Hanya tangannya yang
terus meronta-ronta, mencoba meminta pertolongan, sedang matanya terbuka lebar,
menahan nyeri di sekujur tubuh. Respons sekitar yang lambat, membuat mobil truk
baru bisa dimundurkan setelah Mbok Sumi memuntahkan banyak darah.
Kin mengunci diri di
kamarnya. Sehari, dua hari, tiga hari, lalu memberanikan diri meminta Mbok Sumi
untuk tidak pergi ke pasar.
“Lho, Ibu yang nyuruh.
Memangnya kenapa?”
Kin menahan diri, ia
sudah bercerita kepada ibunya, tapi sang ibu mewanti-wanti agar ia tidak
bercerita kepada Mbok Sumi.
Lalu, tiga hari
kemudian, itu benar-benar terjadi.
4 Februari, 2020
Seorang sahabat lama
bernama Bella datang dari jauh menemui Kin. Awalnya, Kin sangat antusias. Ia
yang sedang pusing-pusingnya berkuliah, merasa bahwa gadis manis itu akan mampu
mengalihkan sejenak pikirannya dari tugas-tugas yang membuatmu hampir mati
gila.
Sayang, saat Kin
akhirnya berada di hadapan Bella, ia justru merasa harus mundur dan mengambil
seribu langkah dari tempat mereka seharusnya makan malam bersama.
Bella akan tiada,
dengan cara yang tak pernah Kin bayangkan. Semula, ia berkali-kali mengirim
pesan kepada gadis itu agar jangan pergi berwisata ke salah satu destinasi kota
yang sedang populer. Namun, Bella mengabaikan pesan itu. Bagaimana tidak?
Meninggalkan seorang gadis di restoran secara tiba-tiba, tentu ia memang layak
diperlakukan demikian.
Kin mencoba. Ia
berkeyakinan bisa mengubah takdir. Namun, sekeras apa pun ia berupaya, hasilnya
tetap sama.
Bella pergi. Ditemukan
di dalam koper cokelat di salah satu sungai pinggir kota, tiga hari
kemudian.
7 Desember, 9 April, 28
Mei, 10 September, dan banyak hari-hari lainnya. Hingga kini, semua penglihatan
itu masih sering pulang dan pergi di kepala Kin, seolah-olah kepala Kin adalah
rumah bagi kenangan buruk yang kapan saja bebas untuk kembali.
Malam ini, Kin
berbicara sendiri. Sudah lama ia tak mengobrol dengan siapa pun. Ia takut
tiba-tiba menjadi bisu. Itu mengerikan. Beberapa menit kemudian, Kin mulai
bersenandung, sementara waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Setelah
mimpi-mimpi buruk yang tak ia harapkan, sulit baginya untuk dapat tertidur
lagi.
Kin mencoba memikirkan
segalanya, lalu tertawa, berpendapat bahwa sungguh ironi ketika ia bahkan masih
hidup hingga detik ini. Ia selalu berharap, ia akan punya kesempatan bisa
menatap mata seseorang, siapa pun itu, dengan hati yang tenang tanpa harus melihat
bagaimana seseorang itu akan pergi selamanya.
Menjelang pagi, Kin
benar-benar tak lagi memejamkan matanya. Ia memutuskan untuk membasuh dirinya,
setelah ingat bahwa tiga hari terakhir ini, ia tidak mandi sama sekali.
Saat sedang merapikan
diri di depan cermin, Kin menatap dirinya sendiri dan tersenyum. Ia sudah
menjadi lebih tua, dan ya, tak ada pencapaian apa apa pun yang bisa
dibanggakan. Ia juga sendirian sekarang dan mungkin selamanya akan begitu.
Lama, Kin terus menatap
cermin, menatap wajahnya, dan menatap matanya sendiri. Kilatan cahaya tiba-tiba
datang, lalu membuatnya seketika menggosok kedua matanya, dan sesuatu yang tak
pernah terlintas di pikirannya, baru saja terjadi.
Kin melihat kematiannya
sendiri.
Mundur beberapa
langkah, Kin berharap itu hanya imajinasi liar hasil olah pikir dari kejadian
yang sudah-sudah. Ia pun memberanikan diri menatap matanya kembali di hadapan
cermin tadi.
Seorang laki-laki
dengan topi warna cokelat, masuk ke rumah Kin, membawa pisau daging,
menyerangnya tanpa ampun, memotong tubuhnya menjadi beberapa bagian.
Kin berteriak.
Menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berkali-kali, menyangkal apa yang mungkin
akan ia hadapi segera. Kin teringat satu hal. Tanggal 14 Februari. Kin sadar
hari ulang tahunnya akan segera tiba, dan ia pun mulai menghubungkannya dengan
takdir yang kemungkinan besar akan ia alami. Kelahiran dan kematian? Di tanggal
yang sama?
Sebentar, tanggal
berapa sekarang? Kin hendak mengambil ponselnya. Namun, tepat pada saat itu, ia
menerima sebuah panggilan telepon.
“Halo, Nak.”
Kin berusaha
menyembunyikan getar di dalam suaranya, sebelum menjawab, “Iya, Bu?”
“Kau baik-baik saja?
Suaramu sedikit aneh.”
“Ya, aku, baik. Ada
apa?”
“Ibu hampir lupa.
Selamat ulang tahun dan selamat hari kasih sayang. Jangan lupa pulang.”
Kin mematikan
teleponnya. Ia pergi ke kamar, berpikir keras, kembali mengingat apa saja
detailnya. Ruang tengah, dapur, kamar mandi. Benar, itu. Itu semua adalah
tempat yang ia lihat. Kin yakin ia akan mati di antara ketiga tempat itu.
Terlalu sulit baginya jika harus kembali menatap matanya di cermin, ia tidak
bisa memastikan seberapa tepat perkiraannya saat ini.
Akan ada yang datang.
Berapa jam lagi? Atau berapa menit lagi?
Kin tak bisa
menghilangkan rasa cemasnya. Satu detik berlalu, kecemasannya semakin
bertambah. Apakah ia hanya harus menunggu? Bodoh. Kin bergegas. Ia akan pergi
dari rumah. Benar, keputusan itu yang baginya adalah yang paling cerdas. Ia tak
lagi peduli bagaimana hasil akhir, ia hanya ingin berupaya untuk mengubah
takdir lebih keras dibandingkan sebelum-sebelumnya.
Sial, pintu rumahnya
seperti mata-mata. Tahu segalanya, tahu pergerakan Kin. Mengapa? Seseorang baru
saja mengetuk pintu rumah Kin sebanyak tujuh kali.
Kin melihat ke arah
jendela. Ia hampir naik dan kabur, tapi seseorang yang mungkin adalah si
pengetuk pintu, sudah tepat berada di belakangnya. Tangannya membawa pisau
daging dengan ukuran paling besar.
“Dipelihara oleh
orang-orang penting negara sebagai anjing yang menggigit siapa saja, tanpa
kecuali. Tidak punya identitas yang tetap, dan terlatih. Kin, kau tahu seberapa
muaknya mereka terhadap gambar-gambar sialanmu itu? Kalau hanya punya satu
nyawa, harusnya kau punya rasa takut ketika hendak memojokkan para pejabat.
Kini, kau harus bertemu dengan salah satu anjing itu.”
Kin paham sekarang. Ia
tak lagi secemas tadi, walaupun tahu tubuhnya akan berakhir memeluk pisau
daging, atau menari-nari bersamanya di akhir cerita ini. Kin hanya tak mau
menyerahkan dirinya begitu saja. Jika ia akan mati, ia akan mati dengan sedikit
bahagia, sebagai orang yang tak henti berjuang untuk dirinya sendiri.
Kin bukan orang yang
bisa berkelahi. Jadi, belum sampai sepuluh detik, ia sudah hampir saja
benar-benar mati. Ia sedang mengunci dirinya di dalam kamar mandi, sembari
meringis, sebab bahunya sempat terkena sabetan pisau.
Pisau daging mulai
membelah pintu. Kin meringis kesakitan di sudut, memegangi bahunya yang terus
berdarah. Ia tidak mengira lukanya cukup dalam.
Pisau itu terus
menghancurkan, menimbulkan suara-suara yang membuat Kin tak bisa memikirkan
cara apa-apa lagi. Kin tahu ini akan segera berakhir. Ia akhirnya berdoa,
setelah sekian lama, berdoa agar luka di bahunya segera membuatnya mati. Ia tak
sanggup menanggung beban memikirkan apa yang akan terjadi lagi selanjutnya.
Pendengaran Kin mulai
beranjak pergi, kesadarannya juga perlahan menghilang. Samar-samar, suara mobil
polisi terdengar di kejauhan. Dan kepalanya menagih Kin untuk semua kenangan
indah yang mungkin sekali saja pernah hadir.
Saat ia masih
anak-anak, saat ia mengejar capung di halaman, saat ia menangisi kucingnya yang
mati, dan sang ayah memeluknya dengan erat, sembari berkata dengan lembut,
“Semua yang diberikan hidup, juga akan diberikan kesempatan mati. Tidak ada
yang dapat mengubahnya. Mau Ayah carikan kucing yang baru?”
Kin, pada saat itu,
hanya mengangguk.
Tasikmalaya, 2025
Komentar
Posting Komentar