Cerpen: KEMBALI KE FITRI

Apakah ini layak disebut dengan kembali? Kalau dihitung sudah dua puluh tahun aku meninggalkan kampung. Meninggalkan Pasar Bawah. Sejak pergi merantau, mencari kehidupan lebih layak. Meninggalkan istri dan putriku yang belum genap dua tahun.

"Ayah, apakah bisa hadir di pernikahanku nanti?" sebuah tanya masuk ke dalam whatsapp-ku. Butuh waktu, untuk menjawab. Kubiarkan beberapa saat pesan yang sudah tercentang biru itu.

"Ayah usahakan," balasku kemudian.

"Jazakallah. Moga urusan ayah dimudahkan Allah," balas putriku kemudian. Lalu komunikasi tersebut terhenti.

***

Aku bukanlah ayah yang bertanggungjawab. Putriku tidak pantas memanggil ayah. Aku yang sudah nyaris melupakan masa lalu, tiba-tiba sore itu kedatangan seorang yang mengaku sebagai anakku.

"Aku Ziva, dari Manna. Anaknya Fitri Puspita," gadis berkerudung biru muda itu memperkenalkan diri. Sebuah senyum canggung tergores di wajahnya.

Aku terkesiap. Ruang tamu lengang. Istriku dan Bagas-putra kami tersentak. Untuk kemudian, beranjak dari tempat duduk menuju ke kamar masing-masing memendam amarah.

"Maafkan aku jika kehadiranku tidak diharapkan," air mulai menggenang di pelupuk matanya.

Aku masih juga belum beranjak, mengamati dan menelusuri wajah di hadapanku. Aku yakin dia adalah putriku. Sejurus kemudian dia mengulurkan sebuah undangan.

"Bulan depan aku akan menikah, berharap ayah bersedia menjadi waliku," Ziva berusaha menahan tangis. Dia beranjak dari tempat duduknya.

"Menginaplah di sini," tawarku. Ingin menggali lebih jauh sosok putri yang sudah lama kutinggalkan ini.

"Tidak usah, aku menginap di rumah teman, besok akan kembali. Naik bus," dia memutar. Aku tidak berusaha mencegahnya. Hatiku masih bergejolak.

Besok paginya aku pun tidak mencari Ziva. Aku sibuk menenangkan dan meminta maaf kepada istri dan anakku.

Hingga kemudian, muncul WA ini mengingatkan.

Dengan penuh kesabaran aku menceritakan masa laluku pada istri dan anakku. Akhirnya mereka bisa memakluminya. Namun istri dan anakku tidak bersedia ikut ke Manna. Sebuah kota kecil di Bengkulu yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia yang luas.

***

Aku tiba di kampung saat azan magrib mulai berkumandang. Debur ombak di pinggir pantai, menyenandungkan sebuah simfoni. Kenangan. Sudah lama aku melupakan pantai yang indah ini, Pasar Bawah. Di rantau membuat aku mampu melupakan Pasar Bawah. Melupakan kenangan.

Gegas aku menuju warung di persimpangan untuk berbuka puasa, membeli minuman dingin. Dahagaku harus dituntaskan. Hari mulai senja. Siluet kemerahan mengintip di balik rimbunnya pohon cemara. Kendaraan roda empat dan dua lalu lalang di hadapanku. Nampaknya pantai ini masih menjadi primadona. Tempat untuk berwisata dan juga menikmati senja. Seperti yang pernah kami lalui dahulu.

Aku memasuki gang menuju rumah yang pernah kudiami bersama Fitri dan putri kami. Takbir mulai bergema dari masjid kampung, saat aku mengetuk pintu.

Sesosok wanita muda berdiri di ambang pintu, "Ayah," serunya sambil meraih tangan kananku. Aku akhirnya luruh dan memeluknya. Saat Ziva datang ke Jogja, kami hanya bertatapan saja.

"Maafkan ayah, Nak," bisikku.

"Terima kasih Ayah sudah hadir," Ziva menyeka air matanya.

"Di mana ibumu?"

Ziva mengajakku duduk,”Ibu sudah berpulang lima tahun yang lalu.” Kemudian setelah aku duduk, Ziva melanjutkan, “ayah tiriku setahun sebelumnya juga sudah dipanggil Yang Maha Kuasa. Aku tinggal berdua bersama Rina, adikku.”

Innalillahi, aku betul-betul terkejut. Tiba-tiba kenangan muncul ketika kami masih bersama.

Mataku menyapu ruang tamu yang sederhana ini. Sofa yang mulai kusam, beberapa foto terpajang di dinding. Ada foto keluarga, sepasang suami istri bersama dua orang putri mereka. Aku menebak lelaki itu adalah ayah tiri Ziva. Sedangkan putri kecil yang di tengah, adiknya yang terpaut sekira 10 tahun. Aku melirik Rina yang duduk bersebelahan dengan Ziva.

Air mataku menggenang.

***

Aku pergi meninggalkan rumah karena sudah tak ada lagi ketentraman dan ketenangan. Selalu diomeli mertua. Dibilang lelaki pemalas, tidak bertanggung jawab. Memang kemampuanku dalam menangkap ikan minim. Tubuhku juga lemah, tidak setangguh para nelayan yang ada di sekitarku. Pun beberapa usaha yang kurintis juga gagal. Terakhir modal yang berasal dari penjualan kalung istriku, kabur dibawa lari oleh temanku sendiri. Ini akibat kebodohanku, mudah saja percaya dengan orang lain.

Mertuaku murka. Mereka mengusirku dari rumah. Hingga puncaknya, dengan terpaksa aku pergi setelah idul fitri, dua puluh tahun yang lalu.

Dua tahun kemudian, aku berkirim surat kepada istriku. Memintanya agar menyusul ke Jogja, mengingat aku sudah mendapatkan pekerjaan yang cukup layak di sana. Namun rupanya istriku tidak mendapatkan izin dari orang tuanya sehingga setahun kemudian surat perceraianlah yang kuterima.

Memang awalnya hubungan kami tidak direstui oleh orang tua Fitri. Namun berhubung Fitri selalu membujuk, akhirnya orang tuanya luluh. Hanya saja karena kondisi ekonomi kami yang buruk, mertua nampaknya menyesali keputusannya.

Kemudian, melihat ada kesempatan, akhirnya mereka memaksa Fitri untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Itu dijelaskan Fitri di suratnya yang terakhir.

Sejak saat itu hubungan kami terputus. Fitri sudah resmi menjadi mantan istriku. Namun aku lupa, di antara kami ada Ziva. Dia tetap anakku, tidak ada bekas anak.

“Terima kasih kamu tidak dendam sama ayah,” ucapku dengan tulus. “Besok setelah salat id, antar ayah berziarah ke makam ibumu.”

Ziva hanya mengangguk.

***

Dua hari kemudian.

Aku baru saja menjadi wali nikah bagi putriku Ziva Nurkhalifah. Kulihat putriku tersenyum bahagia di samping lelaki yang sekarang menjadi imamnya.

"Semoga kalian langgeng selamanya. Aku titip putriku kepadamu Ihsan,” ujarku sambil menepuk bahu menantuku.

Saat berpamitan pulang, aku berpesan, "Jika ke Jogja menginaplah di rumah, ajak juga adikmu. Kita sudah satu keluarga."

“Bagaimana dengan Ibu dan Bagas?” ragu timbul dari pertanyaan Ziva.

“Mereka akan menerima kalian sebagai bagian keluarga ayah,” jawabku mantap. Sebelum menuju Jogja, kusempatkan untuk berdiri di bibir pantai Pasar Bawah. Memandang ombak yang bergulung dan berkejaran. Menatap samudera yang luas. Melihat awan putih berarak yang menyelimuti langit. Ah. Ternyata, Pasar Bawah masih menorehkan cerita kita.(*)


*) Neto Kosboyo lahir di Tanjung Raman, 8 Januari 1984. Guru kimia di SMA Negeri 6 Bengkulu Selatan ini telah menyelesaikan pendidikan S-1 Pendidikan Kimia Tahun 2007 dan S-2 Administrasi Pendidikan Tahun 2020 di Universitas Bengkulu. Suami dari Zalna Fitri ini memiliki hobi membaca dan bercita-cita ingin jadi penulis. Saat ini sudah menulis 1 buah novel, 2 buah buku cerita anak, dan beberapa buku antologi cerpen. Bersama istri dan anak-anak mereka (Dani Fayyadhi Zhafar, Khanza Alya Ramadhani, dan Nayyara Kamila Ramadhani) tinggal di Perumnas Kayu Kunyit kecamatan Manna kabupaten Bengkulu Selatan. Untuk berkenalan lebih lanjut bisa dihubungi melalui email netokosboyo@gmail.com atau facebook Neto Kosboyo. 

Komentar